Minggu, 27 November 2011

CINTA FATAL (puisi oleh Nurzilla)

Maafkan aku meninggalkanmu dalam tangis,
 Kisah kita memang tragis,
Tapi perbedaan fatal membuat cinta ini batal,
Dan aku hanya tokoh dalam skenario Tuhan.

Ini mungkin belaian terakhir,
 Ini mungkin dekapan terakhir,
Tak kan ada aku yang akan membisik kata itu di telingamu,
 Hanya kamu dan bayang semu.

Aku tak pernah meminta Tuhan menjadikan aku seperti aku,
 Aku tak pernah meminta Tuhan membuat cerita yang berakhir pilu,
Namun Tuhanlah sutradara dalam semua itu,
 Tuhanlah yang paling tau.

 Kata maaf tak kan menghentikan isak tangismu,
 Aku tau,
Tapi, kata apa yang pasti aku untaikan selain itu?
Lepaskan cinta yang bersarang di hatimu,
Buka hatimu untuk pengisi hati yang baru,
Ikhlaskan aku berlalu,
 Mencari kehidupan yang ku mau.
Lanjutkan=>

KUIL CINTA MEMBUSUK

Masih terlalu pagi tuk mengurai air mata,
Mentari saja belum terbangun,
Hanya rembulan yang setia terjaga,
Bersama beningnya embun di tiap bibir daun.

Aku merunduk memeluk lutut,
Kudengar kembali lafaz perpisahan itu,
Sengaja kurekam dalam ingatan agar ku mampu membencimu,
Lantas hilanglah semua ingatan tentangmu.

Euphoria cinta tak lagi kurasa,
Hanya pedih yang terus menikam,
 Awal yang manis,
Akhir yang sadis.

Air mataku menggantung,
Cinta ini terkatung-katung,
Harapanku terlucut dari langit-langit mimpi,
Kau telah memilih untuk pergi.

Kuil cinta hanya tinggal memori penuh dusta,
Sumpah setia hanya sebatas angin lalu belaka,
Kau kenangan terburuk yang membuatku jatuh terpuruk,
Biarlah cinta ini tetap disini hingga habis membusuk.

oleh: Nurzila Binti Sahir
Lanjutkan=>

Cinta yang mati (puisi oleh Nurzilla)

Entah air apa ini,
mengalir begitu saja d pipiku,
menetes lembut ke pangkuanku,
dan aku hanya terpaku membatu.

aku bak bunga yg layu,
tak tersiram dr waktu ke wktu,
tak terurus dari hari ke hari. .
Kau membiarkanku mati sblm mekar,
gugur sblm brkmbang.

Kau blm menikmati persembahan cntaku ini.
Dan kau terlalu angkuh tuk ku rengkuh.
Maka matilah cinta ini,
sblum mampu menyentuh dinding hatimu yg keras.
Tiada bekas kebahagiaan, hanya luka tak tertahan.
Lanjutkan=>

Cinta masa lalu (puisi oleh Nurzilla)

Jgn tahan aku, biar syap rapuh ini trbang menjauh, dgn cinta d tiap helai syapnya, dgn rindu d tiap kepakannya. 0h. . Jgn slah, cinta ini bkn utkmu pria kesepian, cinta ini utk dia yg tak memikirkanku, namunku hbskan wktuku tuk memikirkannya. Kamu ! Prgilah ! Aku bkn utkmu.. Walau kau berikan sluruh hdupmu utkku, aku takkan mau. Tinggalkan aku sndri dgn cnta xg tak prnh mati, cnta utk masa laluku, masa suramku.
Lanjutkan=>

IKHLAS (puisi oleh Nurzilla)

oleh Cilla Cii Zilla pada 25 Januari 2011 jam 9:39

Jika cinta yg hilang dari hatimu,
Carilah di dalam hatiku,
Jika kasih syng yg kau btuhkan,
Tengoklah ke dalam sanubariku,
Jika rindumu tak berbalas,
Rasakan kalbuku memblas rindumu.

Aku mgkin terdiam,
Seolah aku tak mengenal sosokmu yg terpendam,
Tapi aku peduli walau kau tak menawari,
Aku menanti walau kau takkan kembali,
Aku sadar,
Bumi terus berputar,
Masaku kian memudar,
Tapi rasa ini kan tetap mekar,
Walau hati ini akhirnya hrus terbakar.

Aku ikhlas,
Walau seketika aku menuntut kau membalas,
Tapi aku tak kan memelas,
Hingga cinta ini pupus di akhir nafas.
Lanjutkan=>

Mata dan Rasa (Puisi oleh Nurzilla)

Jika dunia brtanya kmu siapa ?
Biar mata ini yg menjawab..
Bibir ini trlalu munafik utk bersuara,
hti ini trlalu pngecut utk jujur,
tapi prcyalah,
mata ini pancarkan kisah yg nyata,
bahkan saat mataku tertutup,
aku msih mmpu mlihat snyummu,
bahkan saat mataku tak mampu trbuka,
aku masih bisa merasa rasa itu ada..
Cukup kau di sampingku,
dan aku merasa hidup ini lebih adil dr sblumnya.
Cukup mndengar suaramu,
aku mrasa takdir ku tertata smpurna...
Kau segalanya bgiku yg bukan apa2.. ;D
Lanjutkan=>

ITU HIDUPMU (puisi Nurzila)

entah berapa banyak sumpah serapah,
entah berapa lama wajah memerah,
kesumat di dada masih terpendam,
kapal kerinduan tenggelam, karam.

fantasiku berputar-putar,
langkahku lunglai,
kutelusuri ruang kehampaan bersama
sayatan luka yang masih terbawa,
ingin rasanya kuteguk air kematian.

Tamat sudah riwayat kisah kita,
disini langkahku terhenti,
bawa kakimu berlari jauh,
sayang, aku takkan mengejar bahkan menahan.
bahagialah kau disana,
luka ini khusus untukku,
ini hadiah Tuhan untukku,
itu hidupmu sekarang......
Lanjutkan=>

Sabtu, 26 November 2011

Kerikil di Dermaga Hati (cerpen Nurlaelan Puji Jagad)

Fi masih termangu dengan sebuah rasa yang tetancap dalam palung jiwanya. Sebuah rasa yang akhir-akhir ini menemani setiap alunan langkahnya. Rasa itu semakin memberatkan langkahnya tuk melanjutkan fase kehidupan selanjutnya. Dia benar-benar ingin keluar dari sekat-sekat yang telah menghalangi pandangannya. Dia sandarkan kepalanya di kursi angkot yang ia tumpangi. Sesekali ia menutup wajahnya dengan telapak tangannya agar tehindar dari bias-bias mentari yang menembus kaca angkot. Kadang juga ia menunduk, tapi udara dalam angkot begitu panas dan sesak. Rasanya ia ingin muntahkan semua isi perut dan isi hatinya yang terus bergejolak. Tak ayal ia melongokkan kepalanya ke luar jendela angkot. Sang bayu lembut menyapa wajahnya yang mulai memucat. Ia mencoba menutup matanya dan menarik nafas dalam-dalam berharap angin lembut itu menyusup ke lorong-lorong jiwanya. Rasa itu tiba-tiba hadir kembali. Ia tersenyum kecut. Rasa itu membentuk sebuah bayangan yang bergelantungan di setiap bangunan yang ia lewat bak barang yang menunggu pembeli. Ia segera menyelamatkan wajahnya ketika pancaran matahari matahari menampar wajahnya. Ia mendesah. Ingin segera ia keluar dari angkot yang menyesakkan paru-parunya dan keluar dari perasaannya yang berceceran di setiap ruang hatinya. Jalan-jalan lubang yang tak mampu dihindari sopir membuat tubuhnya bergoyang-goyang layaknya penari dangdut. Lubang-lubang itu semakin melubangi hatinya membentuk sumur duka. Betapa ingin ia hentikan perjalanan yang membosankan ini. Jiwanya memberontak. Rasa itu benar-benar telah merenggut keceriaannya. Hari-hari yang ia lewati terasa tak punya arti. Kini, ia tersesat dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia mencoba untuk kembali ke dunia nyata, tapi rasa itu telah berubah menjadi terali-terali besi yang menembus bumi. “Mau?” tawar seseorang di samping Fi. Ia tersentak dan menoleh ke orang itu. Dia dapati sesosok ibu paruh baya yang tersenyum lembut sambil menyerahkan biskuit kepadanya. Fi diam mematung menatap tajam kepada ibu itu. Pandangan mereka bertemu dalam satu gelombang dan getaran yang tak terbaca. Fi terhenyuk menatap bola mata ibu itu yang sayu. Garis-garis yang membentuk keriput di wajah ibu itu menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang tegar dan tangguh. “Mau?” tawar ibu itu lagi memecahkan kesunyian setelah sekian detik mereka beradu pandangan. “Hah! Nggaak, Bu. Makasih,” ucap Fi malu-malu. Dia segera melemparkan pandangannya dari ibu itu. Pikirannya menerawang jauh dan membentuk sesosok wanita yang bisa ia panggil ibu. Matanya terasa hangat. Butiran-butirn bening mengalir di pipinya. Terasa perih dan menyengat tubuhnya yang kurus kering. Dirinya serasa tak bernyawa lagi walaupun masih jelas ia rasakan debar jantungnya. Angkot yang Fi tumpangi berhenti mendadak di perempatan kota tempat ia mengais-mengais rezeki. Otaknya kembali pada satu titik bahwa ia harus bekerja di sini. Dia menenteng tas usangnya keluar angkot. Udara panas buatan gedung-gedung industri telah siap menyapa alat pernafasannya. Teman-temannya sudah berkeliaran di jalan-jalan besar itu. Fi berlari kecil menghampiri mereka. Terdengar suara mereka menjajakan koran beradu dengan deru mesin kendaraan yang memadati jalanan itu membentuk sebuah parade kehidupan yang misterius. *** “Fi...! Fi...!” panggil Bapak Fi dari kamar. Suaranya begitu lemah. Bapak Fi berkali-kali memanggilnya akhirnya berhasil membangunkannya dari goresan-goresan mimpi yang sedang ia ukir. Dengan langkah sempoyongan dan mata yang terkatung-katung Fi menemui bapaknya. “Ada apa sih, Pak? Malem-malem gini gangguin aku tidur aja,” ucapnya dengan rasa jengkel. “Anterin bapak ke kamar mandi, Nak!” pinta bapak Fi dengan wajah memelas. Ada guratan letih yang terpancar dari wajah bapaknya. “Bapak ini gimana sih. Mau ke kamar mandi aja pake dianter segala. Seharian aku kerja. Capek. Bapak ngertiin aku dong,” keluh Fi dengan mimik yang sangat menyakitkan. Bapaknya terdiam sejenak. Dengan tenaga seadanya Bapak Fi mendorong kursi roda yang telah menyatu dengan tubuhnya. Fi menyadari ada pemandangan kecewa di wajah bapaknya yang telah Fi lukis dengan kata-katanya sendiri. Tetapi rasa kantuknya telah membawa ia menjadi sosok yang tak peduli dan tak mengenal bapaknya. Ia kembali melanjutkan ritual tidurnya dan berharap bisa bertemu dengan sesosok yang terjebak dalam lilitan rasanya walau hanya di mimpi. *** Panas matahari menyengat tubuhnya siang itu. Riuhnya bunyi kendaraan seperti celotehan jalanan di gendang telinganya. Kulitnya yang gelap semakin tak karuan warnanya. Sesekali ia menyeka keringatnya yang bercucuran. Dunia seakan memanggang hatinya menjadi arang. Ia segera menjauh dari hiruk pikuk yang penuh dengan kekalutan itu. Ia duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Pohon itu adalah satu-satunya yang ia temukan di jalanan gersang ini. Ia bersandar pasrah di batang pohon yang sudah tua itu. Ia menatap tumpukan koran yang masih belum terjual. Ya Allah, sampai kapan seperti ini terus? Bisiknya dalam hati. Ia melihat segerombolan anak-anak SMP pulang sekolah di persimpangan jalan. Getaran hebat terjadi di sungai matanya membentuk mutiara-mutiara berjatuhan di pipinya. Tubuhnya menggigil. Ia semakin erat memeluk koran-koran itu. Betapa Fi merindukan tempat yang ia biasa ia sebut madrasah. Ia merindukan seragam-seragam dan teman-temannya. Ia merindukan semuanya. Merindukan setiap sudut madrasahnya. Akan tetapi, masa lalu tetap menjadi masa lalu. Kenangan tetap menjadi kenangan. Madrasah, seragam, teman-teman Fi telah menjauh pergi dari atmosfer hidupnya. Masih terekam jelas saat Fi menangis pilu meronta kepada bapaknya tuk melanjutkan sekolah, tapi sayang bapaknya tak mampu mewujudkan mimpinya itu. Kondisi keluarganya takmampu mengantarnya menjadi pelajar SMP. Terlebih lagi bapak Fi semakin renta dan sakit-sakitan. Kecelakaan lima belas yang lalu telah merenggut kedua kaki Bapak Fi. Kakinya terlindas truk seusai kerja. Sejak itu Bapak Fi di PHK. Bapak Fi frustasi. Saat itu Fi belum lahir dan Bapak Fi tak mau membicarakan tentang itu. Biarkan hanya Bapak Fi saja yang tau betapa inginnya ia mati saja waktu itu, tapi Allah masih memberikan Bapak Fi kesempatan untuk bertahan sampai sekarang walau satu sisi Bapak Fi sering menangis dalam sudut malam. Menangisi dirinya yang tak berguna untuk Fi. Bapak Fi tak tega menyaksikan Fi menikmati masa kanak-kanaknya di jalanan bertemankan ganasnya mentari. Mengingat itu Fi menangis dalam diamnya. Diam ikhlas atau tidak. Tetapi, ia menganggap bapaknya telah menukar madrasahnya dengan jalan itu. Setiap pagi orang-orang sibuk ke madrasah, tapi ia malh sibuk di jalan. Akhirnya Fi putuskan menjadikan jalan itu sebagai madrasahnya. Madrasah kehidupan yang telah mendidiknya menjadi setangguh karang di tepi lautan. Jalan raya itu jalanyang sama di mana kudapatkan selang demi selang eretan angkutan dan orang berlalu lalang. Fi tak tahu tahun ke berapa ia menghuni jalan itu beratapkan kecemasan dan beralaskan rindu. Jalan bisu yang misteri bagi Fi. *** Wajahnya bersinar-sinar mengalahkan cahaya cakrawala pagi itu. Senyumannya merekah. Matanya berbinar-binar ketika pandangannya jatuh di halaman depan koran itu. “Sepuluh TKW akan dipulangkan ke Indonesia”. Berarti sosok yang Fi nanti akan kembali pulang. Ia tak sabar ingin memberi tahu bapaknya. Berita bahagia akan datangnya sosok yang sedang menuju dermaga hatinya. “Bapak...! Bapak...!” teriak Fi girang dan menyelinap masuk ke kamar memeluk bapaknya. “Lo ada apa ini? Kok ada acara pelukan segala?” tanyak Bapak Fi heran meski guratan-guratan wajahnya menunjukkan Bapak Fi bahagia melihat Fi seceria itu. Fi menyerahkan koran itu kepada bapaknya. Guratan-guratan bahagia di wajah Bapak Fi berubah kusam dan gelisah. “Berarti kita harus siap-siap dong,” ungkap Bapak Fi dengan ekspresi bahagia yang dibuat-buat. “Ya dong. Kira-kira ibu sampe rumah kapan?”tanya Fi semangat. “Biasanya sih dua minggu baru sampe. Kira-kira hari Senin,”ungkap Bapak Fi datar. “Yo...yo...yo...! Sekarang aku punya ibu,” teriak Fi sambil melingkari tangannya di tubuh bapaknya. Bapak Fi semakin erat memeluk tubuh Fi yang semakin kurus dan terurus. Maafkan bapak, Fi,” jerit Bapak Fi dalam hati. *** Pagi-pagi sekali Fi berangkat. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktunya. Ia harus mendapatkan uang minimal Rp 50 ribu untuk membelikan baju untuk ibunya. Tetapi, hari itu tak bersahbat dengan Fi. Hujan mengguyur jalan bisu itu. Ia bersandar di emperan toko memeluk kakinya sendiri dan membenamka kepalanya. Terdengar jelas jantungnya beretak lebih cepat. Ia merasakan desiran halus yang mengharu biru dalam lubuk hatinya. Semuanya membara dalm kedinginan yang terbungkus rindu. Hujan belum juga jemu menangisi jalan ini. Fi masih terpekur di sudut toko itu. Ia teringat dengan sol sepatu di rumahnya. “Kenapa aku tak jadi tukang sol sepatu juga? Mungkin bisa menambah penghasilanku untuk beli baju buat ibu,” ungkap Fi pada dirinya sendiri. Fi memutuskan tuk pulang dan berharap mentari akan menyapanya besok pagi. *** Hasil penjualan koran Fi hari ini lumayan banyak. Ia tak menyangka akan dapat uang Rp 40 ribu. “Alhamdulillah,” Fi mengucap syukur. Ia butuh uang tinggal sepuluh ribu lagi. Hari ini profesinya sebagai loper koran bermetarmorfosis menjadi tukang sol sepatu. Fi mendapatkan penghasilan lebih dari yang ia harapkan. Fi berhasil mengumpulkan uang Rp 80 ribu. Ia membelokkan langkahnya memasuki toko baju. Dia terpesona dengan gaun-gaun indah yang bergantungan pada setiap sudut toko itu. Fi berkhayal seandainya ia membeli semuanya untuk ibunya. Pasti sangat membahagiakan. Fi merapat ke bagian baju yang sesuai dengan uang yang ia punya. Fi bingung tak tau ukuran tubuh ibunya, karena Fi tak pernah meihat ibunya. Bapak Fi bilang kalau ibunya pergi Malaysia ketika Fi beumur satu tahun. Fi tak punya bayangan lekuk tubuh ibunya, wajah ibunya, tapi Bapak Fi bilang ia sangat mirip dengan ibunya. “Apa ukuran ibuku sama dengan ukuran ibu yang pernah menawarkanku biskuit di angkot dulu?” tanyanya penasaran. Pandangannya jatuh pada sebuah baju bermotig bunga. Sangat cantik dan modis. Warnanya biru cocok untuk kulit ibunya. Ia mengambil baju itu dan menyerahkannya ke kasir. Sampai di rumah, Fi membungkus baju itu dalam bingkisan cantik. Bapak Fi tersenyum pahit menyaksikkan semangat Fi. *** Seminggu lebih berlalu Besok adalah hari bahagia untuk Fi. Ingin ia tukar malam ini dengan pagi yang berhiaskan mentari. Kini ia dirilis kerinduan hingga waktu terasa begitu lambatnya. Ia membuk jendela kamarnya. Ia sengaja membiarkan angin malam berhembus mengisi kamarnya yang kecil dan sederhana. Temboknya yang memucat dipenuhi kata ibu. Ia merapat ke daun jendela. Bias-bias cahaya rmbulan mengalahkan cahaya lampu kamarnya. Fi masih terdiam memendam kerinduan. Ia merasakn sang bayu membelai wajahnya. Ia terus mendekam dalam rindu seperti kesunyian menjadi sugesti sebuah pertemuan. Ukuran jarak terus menerawang mencari jalan. Hela nafas langkahnya tertahan. Hatinya merong-rong. Jiwanya yang hampa tak terdiam. Malam semakin larut dalam kesunyian. Debarnya merobek jantung. Fi tak ingin meninggalkan malamnya. Ia biarkan semuanya terlelap dan tenggelam dalam mimpi indah mereka. Malam ini adalah miliknya. “I...bu! I...bu!” Fi mencoba menyebutkata ibu. Fi menertawakan dirinya sendiri. Esok akan ada sosok yang akan menemani dan mendengarkan keluh kesahnya. Esok akan ada sosok yang akan menjadi tempat merebahkan tubuhnya. Esok akan ada yang menemaninya menatap cakrawala. Sosok ibu yang tak pernah Fi lihat wajahnya. Fi tenggelam dalam rindunya yang terus bermekaran di taman hatinya. *** Mentari pagi menyapa gubuk sederhana itu. Burung-burung bernyanyi meramaikan penghuni gubuk itu. Awan membentuk senyuman untuk anak adam yang menanti sosk bidadari. Fi sudah duduk di kursi tua sambil menatap bingkisan cantik untuk ibunya. Bapak Fi tak bergeming menyaksikkan Fi dalam penantian panjang yang tak pernah usai. Hari suah siang, tapi sosok yang Fi nanti-nanti tak kunjung datang. Fi resah. “Pak, kita jemput ibu saja. Mungkin gak ada angkot buat ke sini,” ajak Fi semakin gelisah. “Tidak, sayang. Di koran bilang mau dianter sama petugas,” bapak Fi mencoba menenangkan Fi. “Atau mungkin ibu lupa jalan ke rumah. Ibu kan udah sepuluh tahun di sana,” Fi meyakinkan bapaknya. Bapak Fi tak membalas komentarnya. Bapak Fi menangis pilu di sana. Tak ada satu pun jalan keluar di otaknya untuk mengakhiri penantian Fi. Dua hari berlalu dari hari yang Fi nantikan. Penantian ini terasa melelahkan baginya. Jarak yang melelahkan perjalanan panjang dari makna asa yang terselimuti gelap pada dinginnya hawa pekat. Lima hari berlalu dan menguap bersama harapan Fi. Wajahnya muram. Untuk menggerakkan bibirnya membentuk sunggingan senyum teras berat untuknya. Fi tak mau bicara. Ia hanay diam mematung i depan bingkisan yang semakin usang. Fi mendengar suara samar-samar di teras rumahnya. Ia mengintip dari balik tirai. Bapak Fi sedang berbicara dengan Pak RT. Wajah mereka pucat pasi. Mereka berbicara sangat pelan dan hati-hati. “Kenapa Pak RT ke sini? Apa yang sedang mereka bicarakan?” tanyanya penasaran. Fi menempelkan daun telinganya di tembok. “Kenapa bapak setega ini sama Fi?” tanya Pak RT. Fi terkejut mendnegar Pak RT. “Memang apa yang bapak lakuin sama aku?” Fi galau setengah mati. “Tak baik membohongi anak terus menerus. Fi sudahbesar. Dia berhak tau yang sebenarnya,”petuah Pak RT yang bijaksana. “Saya gak tega, Pak. Saya sangat menyayangi Fi walaupun Fi bukan anak kandung saya. Memang dulu saya tak mau menerimanya. Saya gak tega melihatnya sedih,” Bapak Fi sesenggukan. Tubuh Fi bagaikan tersengat listrik. Tubuhnya gemetar. Wajahnya memucat. Ia tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia bukan anak kandung Bapak Fi. Amarah Fi memuncak. Ia mebuka pintu dengan kasar. Pak RT dan Bapak Fi kaget dengan kedatangan Fi. “Apa maksu semua ini? Apa yang bapak sembunyikan dariku?” tanya Fi menangis. Bapak Fi tak bergeming. Ia tak kuasa mendengar rintihan Fi yang menusuk ulu hatinya. “Pak, jawab!” berontak Fi. “Baik bapak akan ceritakan. Tapi kamu harus kuat. Sebenarnya kamu bukan anak kandung bapak. Lima tahun ibumu meninggalkan bapak di sini sendiri. Sehari sebelum ibumupulang, bapak mengalami kecelakaan yang mengharuskan bapak harus duduk di kursi roda ini. Bapak tak percaya telah kehilangan dua kaki. Bapak frustasi waktu itu. Dan di tengah kefrustasian itu, ibumu pulang dari Malaysia dalam keadaan hamil besar hasil perselingkuhannya dengan majikannya di sana. Bapak bemar-benar kalut waktu itu. Serasa semua roda kehidupan ini berhenti. Semuanya terasa sesak dan menyakitkan. Dua hari setelah itu, ibumu melahirkan kamu dan saat itu juga ibumu meninggal dunia. Kamu tidak tahu betapa remuk redamnya jiwa bapak. Bayangkan berapa tahun bapak memendam rindu kepada ibumu, tapi ibumu malah membawa bingkisan nestapa untuk bapak. Saat itu bapak ingin mati saja. Serasa semuanya telah berakhir. Tidak ada lagi fase kehidupan yang telah menanti.Bapak benar-benar tak kuat. Bahkan bapak menyalahkan Tuhan kenapa beban ini harus diberikan kepada bapak. Tetapi Tuhan telah membuka hati bapak untuk menerima kamu apa adanya. Maafkan bapak baru sekrang memberi tahumu. Bapak benar-benar tak kuat. Maafkan bapak telah memasungmu dalam derita bapak...,” Bapak Fi tak melanjutkan kata-katanya. Suaranya tertelan oleh suara tangisnya yang menyayat hati. Fi diam seribu bahasa. Tak ada satu patah kata pun yang ia ucapkan. Semuanya buntu. Pikirannya membatu. Betapa malunya ia setelah ia tahu siapa dia sebenarnya. Dia hanyalah insan yang tak pernah diharapkan di gubuk ini. Dia adalah penyebab Bapak Fi memilih mati. Ia telah menghancurkan hidup Bapak Fi. Dunia semakin menyempit dan menghimpit tubuhnya. Wajahnya memucat. Kebencian tiba-tiba menerobos masuk ke dalam hati Fi. Ia membenci ibunya. Penantian itu menguap terbang bersama angin membentuk awan tebal. Tidak ada sosok yang akan menemaninya, mendengar keluh kesahnya. Memang tidak akan pernah ada sosok yang akan ia panggil ibu. Selama ini ia hanya menanti bayangan-bayangan semu tak ada arti. Air matanya membungkam mulut. Malam semakin larut. Bulan semakin memucat. Ia tak kuasa menahan rasa malu, bemci, dan kecewa yang bersarang di hatinya. Fi beranjak dari peraduannya dan berlari menembus malam. “Fi...! Harfi!” teriak Bapak Fi kepadanya. Ia tak pedulikan panggilan Bapak Fi. Ia terus berlari membawa duka dan benci. Ia pergi sejauh-jauhnya sampai suara Bapak Fi hilang tertelan suara malam yang mencekam. Bayangan Fi lenyap di jalanan lengang nan pekat itu.
Lanjutkan=>

Minggu, 08 Mei 2011

CERPEN "FEBRY" KARYA NURZILLA

TENTANG FEBRY

Pagi itu seperti biasa aku bersama Septi berjalan beriringan menuju ke sekolah. Udara desa Janapria di pagi hari benar-benar membuat bibirku tak henti-hentinya mengukir senyuman. Sesekali kulirik Septi yang sedari tadi memonyongkan bibirnya. Sepertinya dia masih marah besar dengan keputusan Mamak untuk menjodohkannya dengan anak Kepala Desa yang playboy itu. Aku mencoba menggoda kakakku dengan mencubit bahu kirinya dengan harapan dia akan tersenyum. Ternyata dugaanku salah, dia malah melemparkan kerlingan tajam ke arahku. Aku mati gaya dan spontan membuang pandangan ke hamparan sawah yang terbentang di kiri dan kanan jalan. Tampak banyak tanaman palawija warga yang tumbuh dengan subur. Butuh waktu kurang-lebih 20 menit untuk sampai di sekolah, dan selama 20 menit itu juga aku dan Septi membisu seribu bahasa.
Namaku Baiq Febri Wulandari. Terlahir dari sebuah keluarga keturunan bangsawan Selaparang yang tinggal di desa Janapria. Almarhum mamiqku bernama Lalu Yudha Pratama, sedangkan mamakku bernama Lilis Muliati. Aku memiliki seorang kakak perempuan bernama Septi Arumi. Kami bersekolah di sekolah yang sama bahkan kelas yang sama. Opsss... jangan salah. Aku dan Septi bukanlah saudara kembar. Septi adalah kakak tiriku. Mamaknya yang kebetulan orang jawa dan bukan keturunan bangsawan Lombok telah bercerai dengan suaminya, kemudian menikah dengan mamiqku yang kebetulan sedang menduda. Mamak kandungku bernama Baiq Sekar Wulansari telah menghadap Sang Maha Kuasa semenjak aku duduk di bangku SD dulu. Bertahun-tahun mamiqku dibelenggu kesepian hingga akhirnya beliau berjumpa dengan sesosok wanita bernama Lilis Muliati dari Jawa Timur. Mereka pun memutuskan untuk menikah. Setelah membangun rumah tangga selama lima tahun, mamiqku meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas saat ingin mengambil rapotku dan Septi di sekolah.
Air mataku mengalir begitu saja tatkala mengingat kejadian dua tahun yang lalu itu. Kejadian ketika aku dan Septi masih sama-sama menduduki bangku kelas X SMA. Miq, Mak, tiang kangen. Tiang kepengen peluk Mamiq sama Mamak. Mamiq sama Mamak sedang apa di sana? rintihku dalam hati. Suasana hiruk pikuk dan suara sound yang berdentum keras dengan lagu Avenged Sevenfold tak sedikitpun membuatku bergeming dari rasa kerinduan dan kesepian. Kelas XII BAHASA 2, yaitu kelasku ini memang selalu seperti itu ketika ada guru yang tidak masuk mengajar. Sedangkan di pojok kelas, tampak Septi yang sedang mengecat kuku jari-jemarinya yang lentik sambil di temani dengan geng gosipnya.
“Febri...!”
Aku tersentak. Suara itu seketika membuyarkan lamunan akan kedua orang tuaku. Aku celingak-celinguk mencari sumber suara yang memanggil namaku tadi. Ternyata Roby, wakilku sebagai ketua osis di SMAN 4 Janapria.
“Eh, Bu ketua OSIS. Maksud kamu apa ngirim SMS kayak gitu tadi malem?” bentak Roby tiba-tiba.
Suasana kelas menjadi beku dan aku pun membatu. Tidak ada yang bersuara dan melakukan aktivitas lain selain menyaksikan aku dan Roby.
“SMS yang mana maksud kamu?”tanyaku dengan memasang wajah santai.
“Ini..!! aku bacain sekarang..!” kata Roby sambil mengeluarkan ponsel Blackberry mahalnya.
Aku pun kembali membatu. Tetapi mataku dengan lincah memperhatikan gerak-gerik lelaki tampan di hadapanku itu. Beberapa saat kemudian Roby pun bersuara.
“Kepada wakilku terhormat, harap untuk lebih disiplin dalam menjalankan tanggungjawab Anda sebagai wakil ketua OSIS. Karena jika tidak, saya mempunyai wewenang untuk melaporkan Anda ke pembina OSIS. Terima kasih”
Roby menutup ponselnya kemudian menatap mataku tajam seolah ingin menerkam. Lagi dan lagi aku memasang wajah santai walaupun sebenarnya aku sangat ketakutan. Roby maju tiga langkah sehingga wajahnya tinggal beberapa senti jaraknya dengan wajahku.
“Oh.. SMS itu maksud kamu. Ya, aku memang sengaja ngirim SMS itu ke kamu, sebagai teguran aja kok. Soalnya kalok aku perhati’in, kamu makin males buat ngerjain kewajiban-kewajiban kamu. Kenapa? Apa gara-gara kamu masih belum bisa nerima aku sebagai ketua OSIS sedangkan kamu jadi wakilnya? Aku rasa itu bukan suatu masalah yang harus selalu kamu permasalahin dan kamu perdebatin ama aku. Intinya kita kan ada dalam sebuah organisasi yang sama, mempunyai visi dan misi yang sama dan mempunyai tugas yang sama. Jadi, aku harap kita bisa bersama-sama untuk ngejalanin kewajiban dan tugas-tugas kita itu.”
“Enggak! Sampe kapan pun aku gak mau kerja sama ama kamu, apalagi jadi wakil kamu! Mau ditaruh di mana muka aku? Masak cewek yang jadi ketua sedangkan cowok jadi wakilnya? Gak kebalik tu?! Derajat cowok kan lebih tinggi daripada cewek...! Hahaha.. lagipula, emangnya kamu bisa apa dalam organisasi ini? Palingan juga ngabisin uang kas OSIS buat beli jajan terus jalan-jalan ke pasar malem, ya kan?! Aku akuin kamu pinter dan selalu dapet peringkat tiga besar di kelas, tapi aku juga akuin kalok kamu tu lebih pinter cari muka di depan para pembina OSIS dan temen-temen yang lain, sampe-sampe kamu yang kepilih jadi ketua OSIS, bukan aku!! Bravo..!! hebat non..!! hahaha...”
Suasana kelas yang semulanya hening menjadi agak riuh. Sepertinya ada pihak yang pro dan kontra terhadap kata-kata Roby itu. Sedangkan Septi tetap di posisi awalnya dan tak bergeming sedikit pun. Aku lemah melihat perlakuannya. Jujur, di saat-saat seperti ini aku benar-benar membutuhkan dia untuk membelaku. Tapi sayang, itu takkan mungkin terjadi. Aku menghela nafas panjang dan menghipnotis diriku sendiri untuk tidak gentar apalagi meneteskan air mata. Kukumpulkan kekuatan melalui doa yang kubaca dalam hati hingga akhirnya aku pun kembali bersuara.
“Oh... ternyata kamu benar-benar belum bisa menghargai aku sebagai ketuanya. Heran. Kok ada ya cowok yang seegois dan seangkuh kamu di dunia ini. Kamu kira mentang-mentang aku cewek lantas aku gak bisa berbuat apa-apa? Gak bisa bertanggungjawab? Gak bisa lebih baik dari kamu? Oh... jangan salah!! Maaf, aku gak bermaksud buat sombong, tapi kenyataannya aku memang lebih baik dari kamu yang cuma bisa ngabisin duit orang tua buat foya-foya ama koleksi cewek kamu! Kamu kaya, pinter, keren, tapi sayang kamu gak bisa memanfaatkan karunia tuhan itu dengan baik. Hati kamu terlalu keras buat menghargai orang-orang di sekitar kamu. Hati kamu terlalu keras sampe-sampe menyakiti diri kamu sendiri!”
Aku berbicara panjang lebar dengan intonasi yang tetap tenang. Kutatap Roby yang masih berdiri tegak di hadapanku. Dia tak terusik sedikit pun dengan kata-kataku tadi. Bibirnya malah mengukir sebuah senyuman sinis yang mengiris hatiku. Beberapa saat kemudian tawanya membelah keheningan kelas.
“Hahaha..... tau apa kamu dengan hidup aku? Jangan sok tau kamu jadi cewek! Walaupun kita udah bareng kelas selama kurang-lebih tiga tahun, aku gak pernah mau tau semua tentang kamu, hidup kamu!! Tapi aku gak nyangka, kamu bisa sok tau tentang masalah hidup aku! Hahaha..... cewek lembek kayak kamu jangan sok mau ikut campur urusan aku deh. Satu lagi, jangan coba-coba kamu nyuruh aku buat respect ama kamu! Gak bakalan..!!”
“Roby!! Kalok kamu emang gak bisa respect ama aku, fine..!! aku gak apa-apa. tapi kita udah disumpah buat ngelaksanain tanggung jawab kita dalam OSIS selama setahun ke depan!! Aku mohon banget ama kamu, please.... aku minta kerja sama kamu Roby..”
“Whatever......!!! hahahaha....”
Roby tertawa sendirian. Suaranya bagaikan panah panas yang menembus genderang telingaku. Seketika bulir air mataku jatuh juga. Hatiku sakit, bahkan teramat sakit untuk menghadapi sosok pria yang keras di hadapanku itu. Aku pun menyeka air mataku sebelum terlihat oleh Roby.
“Roby, kamu perlakuin aku seolah-olah kamu bukan terlahir dari rahim seorang perempuan. Seolah-olah kamu hidup di dunia ini bukan karena kasih-sayang seorang perempuan. Dulu kamu pernah bilang ke aku, perempuan itu sesuatu yang berharga dan harus dijaga. ‘Perempuan tercipta bukan dari ubun-ubun seorang laki-laki untuk dipuja dan dipuji, bukan pula dari telapak kaki untuk dihina dan dicaci maki, tetapi perempuan tercipta dari rusuk kiri yang dekat dengan tangan untuk dilindungi, dekat dengan hati untuk disayangi dan dicintai.’ Apa kamu udah lupa ama kata-kata kamu sendiri? Apa kamu perlakuin mamak kamu kayak gini juga?”
Roby berhenti tertawa. Dia memasang wajah garangnya lagi. Kali ini tatapannya semakin menakutkan. Aku mengenggam kedua tanganku dengan erat sebagai upaya menghilangkan rasa takut. Sedangkan mataku tetap tenang bak air sungai yang tak beriak. Kutatap mata Roby dalam-dalam, mencoba membaca semua rahasia jiwanya, menembus otak dan relung hatinya. Aku tau, Roby memiliki sisi lain yang tak pernah dia tampakkan akhir-akihi ini. Dan aku akan terus berusaha untuk mengeluarkan sisi aslinya itu. Beberapa saat kemudian, dahi Roby berkerut, tatapan matanya perlahan-lahan semakin melembut. Aku meraih tangannya. Dia tak melawan dan tetap membisu menatap mataku.
“Aku kenal kamu lebih dari tiga tahun. Kita saling kenal sejak kecil Roby. Hanya saja kita baru bareng kelas selama kurang-lebih tiga tahun terakhir ini. Aku tau, ini bukan Lalu Roby Kurniawan. Ini sisi Roby yang masih terguncang gara-gara ditinggalkan mamiqnya tiga tahun yang lalu. Kamu sulit buat percaya ama cewek, karena ibu kamu yang ngerusak kepercayaan almarhum mamiq kamu kan? Mamak kamu pasti punya alasan tersendiri Roby, aku yakin mamak kamu sangat nyesel sekarang. Kenapa kamu sulit banget buat maafin mamak kamu sendiri? Kenapa harus cewek-cewek lain yang jadi tempat pembalasan dendam kamu? Termasuk aku yang selalu care ama kamu? Mamiq kamu pasti sedih ngeliat kamu kayak gini sekarang.”
Dengan intonasi rendah aku mengatakan semua itu. Roby tetap tak bergeming menatap mataku yang sedari tadi sudah basah karena meneteskan air mata. Suasana kelas masih membeku. Tak ada suara kursi dan meja yang bergeser, tak ada suara sound yang berdentum keras, tak ada suara bisik-bisik pro dan kontra, dan tak ada aroma cat kuku yang menyengat. Cat kuku? Aku teringat akan Septi yang ternyata sudah tidak ada di dalam ruangan kelas. Mataku pun liar mencari-cari sosok kakak tiriku itu. Ke mana dia bersama geng gosipnya?
“Febry....!”
Suara Roby yang lembut membuatku melupakan Septi seketika. Aku kembali menatap matanya yang benar-benar beda. Lembut, benar-benar lembut. Pancaran kasih sayang yang hilang selama tiga tahun kembali aku rasakan dalam matanya. Aku sempat sesak nafas melihat sorot matanya.
“I..iya....?” kataku tersendat-sendat.
“Menurut kamu, apa Mamakku bener-bener nyesel dengan perbuatannya?”
“Iya, pasti. Tapi aku gak tau apa alasannya. Maka dari itu, lebih baik kamu nanya baik-baik ama Mamak kamu. Selesaikan secara kekeluargaan. Bagaimanapun juga, beliau kan mamak kamu.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Yakin.”
Sifat Roby yang keras kini perlahan-lahan mulai mencair. Dia menjadi lebih lembut sekarang. Mungkin kata-kataku telah berhasil mengetuk hatinya. Roby pun menunduk seketika. Entah apa yang dipikirkan. Beberapa saat kemudian, dia mengangkat kepala dan menatapku dengan tatapan yang memancarkan kehangatan.
“Makasi.”
“Buat?”
“Semuanya..”
“Semua apa?”
Bibir Roby mengukir senyuman yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kini tangannya yang memegang tanganku. Warna pipiku merah merona bak buah delima. Dan aku hanya mampu menatapnya dengan sedikit rasa malu.
“Febry....”
“I..iya Rob..?”
“Aku gak nyangka, kalok kamu satu-satunya orang yang bener-bener kenal aku selama ini. Tiga tahun waktu yang sangat lama untuk larut dalam benci dan dendam. Aku dah ngabisin waktu selama tiga tahun buat nyakitin orang lain bahkan nyakitin diri aku sendiri. Gak pernah ada satu orang pun yang bisa ngerti aku dan jalan pikiran aku selain kamu. Aku kira, kamu udah benci ama aku. Ternyata aku salah, kamu memang sahabat sekaligus bidadari dari surga yang dikarunia Tuhan buat aku. Maafin semua kesalahan aku selama ini
ya Feb.”
“Tanpa kamu minta maaf, aku udah maafin kok Roby. Gak usah berlebihan gitu kali, aku jadi malu.”
“Cewek memang hebat. Lembut banget..! tapi dengan kelembutannya bisa meruntuhkan kerasnya hati seorang cowok...”
“Makanya, jangan ngeremehin cewek dong!”
“Maaf deh, aku kan khilaf. Hehe...”
“Hmm.... terus, gimana ama mamak kamu? Masak tiga tahun mau marahan melulu? Aku yakin mamak kamu pasti nyesel udah khianatin mamiq kamu. Percaya deh ama aku. Maafin dia ya....”
“Iya..... ntar pulang sekolah aku langsung ngomong ama mamak. Tapi ama kamu ya. Hehe.. udah tiga tahun kita kan pernah main bareng. Ntar sekalian main-main di rumah aku ya. Oya, kalok masalah jabatan di OSIS, kayaknya aku memang harus mulai belajar buat respect ama kamu deh. Cewek emang gak bisa diremehin. Cewek adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan begitu indah. Mereka begitu peka dengan keadaan di sekitarnya, lembut, penuh kasih sayang, tegar dan.......... He..”
“Stop..!! gak usah ngelantur. Lebay ah....”
“Hahaha.. sorry deh.”
“Oke dah. Mulai sekarang kita akur ya. Kita majukan sekolah bersama-sama. Dan please, stop diskriminasi kaum hawa dengan kaum adam ya. Cowok ama cewek punya hak masing-masing di dunia ini. Inget tu....!”
“Enggih Bu Ketua!! Aduh, galak banget. Bu Megawati aja lewat. He...”
“Hahaha....”
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Suasana kelas pun mencair ketika bel pulang sekolah berbunyi. Para siswa berhamburan keluar kelas untuk meninggalkan sekolah. Aku dan Roby pun berkemas untuk segara pulang. Tiba-tiba........
“Febry... Febry...!!!”
Tina tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas sambil menjerit tak karuan memanggil namaku. Aku dan Roby terkejut bersamaan.
“Ada apa Tina?” tanyaku heran.
“Septi!! Septi Feb....!” kata Tina dengan nafas turun naik.
“Kenapa? Ada apa ama Septi?”
“Dia di rumah sakit sekarang. Tadi dia ama geng gosipnya berantem di Laboratorium Kimia, trus gak tau gimana matanya kena ama cairan HCL!!”
Seketika tubuhku bergetar. Cuaca siang itu sangat terik, tapi entah mengapa aku merasa seperti ada petir yang menyambar seluruh tubuhku. Jantungku terasa berhenti berdegup, darahku berhenti mengalir, dan nadiku berhenti berdenyut. Septi, kakak tiriku sedang terbaring lemah di rumah sakit. Bagaimana keadaannya? Tuhan, semoga dia baik-baik saja di sana. Tapi apakah mungkin? Ahh.... pandanganku mulai buram. Wajah Tina dan Roby semakin memudar di hadapanku. Ruangan kelas terasa berputar dan bumi seakan membenamku jauh ke dalam. Dan akhirnya gelap, hanya kegelapan.
Satu jam, dua jam, tiga jam, dan entah berapa jam aku tak sadarkan diri. Saat aku membuka mata, aku berusaha keras untuk melihat siapa saja yang ada di ruangan bercat putih itu. Di samping kiri ada Mamak dan Roby. Sedangkan di samping kanan tak ada siapa-siapa melainkan sebuah tempat tidur dan seseorang terbaring lemah di atasnya. Mmmm... siapa dia? Tiba-tiba, tampak seorang dokter dan suster yang terburu-buru masuk ke dalam kamar tempatku terbaring. Kedua orang insan berjasa yang memakai seragam putih bersih itu menatapku seraya memberikan sebuah senyuman. Aku membalasnya lemah.
“Sukurlah kamu sudah sadar. Bagaimana perasaan kamu Febry?” tanya dokter Azmi yang sudah kukenal sejak SMP itu.
“Alhamdulillah baik.”jawabku singkat.
“Febry...”
Suara lembut Roby mengalihkan tatapanku yang semula terpaku oleh keramahan senyum Dokter Azmi. Aku menatap Roby yang tampak sangat gusar. Bibirku mengukir senyum yang agak dipaksa.
“Kamu sakit apa Feb? Kenapa gak pernah cerita ama aku? Tadi waktu kamu pingsan,
hidung kamu ngeluarin darah banyak banget.”
“Kamu tenang aja Rob, aku cuma panas dalam kok. Bentar lagi juga sembuh. Maafin aku ya, aku gak pernah cerita ama kamu. Abisnya kita kan diem-dieman selama ini. he..”
Lagi-lagi kupaksa bibirku untuk tersenyum dan tertawa. Sebenarnya, aku menahan sakit yang teramat sangat di kepalaku. Sakit yang seolah-olah mengoyak-ngoyak benakku, membongkar isi otakku dan mengubrak-abrik pelajaran serta kenangan yang ku simpan di dalamnya. Tetapi senyum mamak di sampingku benar-benar obat yang mujarab. Walaupun beliau hanyalah mamak tiriku, tapi aku sangat mencintainya seperti aku mencintai mamak kandungku. Mamak tahu bahwa aku sangat kesakitan, dari itu dia tak henti-hentinya menggenggam tangan kiriku.
“Kamu yakin kalok kamu cuma panas dalam? Gak usah bohong Feb. Aku tau kamu nyembunyiin sesuatu. Mamak pasti tau apa penyakit kamu, tapi kenapa Mamak gak mau ngasi tau aku? Apa aku orang asing dalam hidup kamu Feb? Apa aku gak boleh tau penyakit sahabat yang udah kayak sodara aku sendiri?”
Roby menangis. Sudah lama aku tidak melihat air matanya. Terakhir kali dia menangis saat aku mengambil permen karetnya waktu SD dulu. Mamak yang semulanya tegar dan terus mengukir senyum kini ikut larut dalam tangis. Suara tangis Roby dan mamak bercampur bagaikan melodi kematian yang terus memanggil namaku. Hatiku benar-benar teriris. Di saat usiaku tinggal beberapa hari lagi, aku tidak mampu berbuat apa-apa yang bisa membuat orang-orang di sekitarku bahagia, melainkan menguras air mata orang-orang yang kucintai.
“Umurku tinggal beberapa hari lagi Rob. Aku mohon ama kamu. Jangan nangis kayak gitu di depan aku. Aku mau sebelum aku pergi semua orang berbahagia dan kalian ngelepas aku dengan senyuman. Mamak, tiang mohon Mak. Jangan nangis. Mamak sudah janji ama tiang, Mamak gak bakalan nangis kan..”
“Apa maksud kamu Feb? Kamu sakit apa? kamu mau pergi ke mana? Mak, Dokter, Suster, Febry sakit apa sebenarnya?”
Tangis Roby makin menjadi-jadi. Mamak dengan sulit mengatur nafasnya sambil menyeka air mata. Dia sudah berjanji untuk tidak menangis, dan dia harus menepati janjinya itu. Sedangkan Dokter Azmi menatapku sambil tersenyum dan mulai bersuara.
“Febry mengidap penyakit Leukimia atau lebih dikenal dengan penyakit kanker otak. Dia berada di stadium empat dan tidak bisa diselamatkan lagi. Penyakit ini sudah menggerogoti tubuhnya sejak SMP, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena dia tidak mau saya melakukan apa-apa. Sebenarnya, faktor ekonomilah yang membuat Febry pasrah pada nasibnya. Sekarang, Septi mengalami kebutaan akibat cairan HCL yang merusak saraf matanya. Febry, pasien yang tidur di samping kirimu itu adalah Septi. Dia sudah sadar tapi masih terpukul.”
Dokter Azmi menunjuk ke arah pasien yang terbaring di sebelahku. Jarak antara tempat tidurku dan dia hanya kurang-lebih satu meter saja. Aku tidak bisa mengenali wajahnya karena mata dan setengah hidungnya masih tertutup perban. Aku berusaha tegar untuk menatap kakak tiriku itu, tapi apalah daya, sungai kecil mengalir begitu saja. Isak tangisku semakin menjadi-jadi ketika melihat suster membuka perban mata Septi perlahan-lahan. Mamak pun berlari ke arah tempat tidur Septi dan kembali menangis di sana. Di saat itu aku merasakan tangan Roby yang lembut membelai rambutku. Dia masih menangis. Dan kami pun menangis. Aku mengisyaratkan Roby untuk mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Dia menurut.
“Roby, waktuku bukan beberapa hari lagi, melainkan beberapa menit lagi. Tolong panggilin Mamak ya.”
Roby bergegas mendekati mamak tiriku, dan saat itu juga perban mata Septi sudah selesai dibuka. Roby berbisik di telinga mamak, tetapi mamak tidak langsung mendekatiku melainkan berbisik ke arah Septi. Beberapa saat kemudian, suara tangis Septi terdengar. Pilu dan menyakitkan. Aku semakin tak terkendali. Menangis dan terus menangis.
“Febry....! Mak, tiang pengen pegang tangan Febry. Mana dia? Mak..!!!”
Jerit Septi mengagetkan seisi ruagan. Mamak pun meraih tangan kiri Septi dan mengaitkan dengan tangan kananku. Aku dan Septi pun berpegangan tangan sambil terus menangis menjadi-jadi. Robi dan mamak menundukkan wajahnya yang memerah akibat terus menangis. Sedangkan dokter Azmi dan susternya hanya menyaksikan dengan wajah penuh haru.
“Febry, kamu harus kuat, kamu harus hidup. Jangan tinggalin aku ama Mamak Feb. Walaupun aku buta, aku yakin kamu mau jadi mata aku. Ya kan Feb...?” kata Septi dengan suara terisak-isak.
“Iya Septi. Aku mau jadi mata kamu. Jangankan mata kamu, kaki, tangan, telinga, bahkan semuanya pun aku mau Sep. Tapi maafin aku, aku harus pergi. Ini sudah menjadi takdir aku Sep.”
“Gak! Kamu gak boleh pergi! Kalok kamu pergi, aku ama sapa? Sapa yang mau jadi mata aku? Lebih baik aku ikut kamu aja Feb. Gak ada gunanya aku hidup!”
“Kamu jangan ngomong gitu Septi! Masih ada Mamak, Roby dan semua teman-teman kamu. Perjalanan hidup kamu masih panjang, kamu masih punya masa depan. Kamu pintar Sep! Kamu punya cita-cita buat kuliah di Jakarta kan? Kejar cita-cita itu Sep! Walaupun ekonomi keluarga kita gak mampu, tapi aku yakin kamu bisa dapet beasiswa! Pokoknya kamu jangan nyerah Sep! Demi aku, Mamak dan semuanya!”
“Percuma Febry! Aku gak punya mata buat belajar! Buat ikut Ujian Nasional pun udah gak mungkin! Aku gak punya masa depan! Hidup aku sampe di sini Feb!”
“Gak! Kamu salah! Banyak orang cacat di luar sana yang bisa sukses! Gak peduli cewek atau cowok, cacat atau enggak, semua orang punya hak untuk jadi orang sukses dan hidup di dunia ini!! Jangan karena kamu cewek, kamu jadi lemah!! Tunjukin kalok kamu bisa tegar, kuat dan berguna bagi semua orang! Kamu harus tetep sekolah. Aku akan ngasi kedua mata aku buat kamu!”
“Apa?? kamu bejoraq kan Feb..?”
Tiba-tiba Mamak angkat bicara. Sepertinya beliau kaget dengan kata-kata yang terlontar dari bibirku tadi.
“Enggak! Tiang gak bejoraq Mak. Ambil saja mata Febry buat Septi. Tiang ikhlas demi masa depan Septi. Dia harus sekolah, dia harus menjadi orang sukses dan berguna buat semua orang.”
Semua orang di ruangan itu terkejut dengan kata-kataku. Ya, aku akan memberikan mataku untuk Septi. Walaupun aku mati, tapi ada organ tubuhku yang masih bisa hidup di tubuhnya. Aku bisa bersama Septi selamanya. Aku bisa melihat apa yang dilihatnya, menyukai apa yang disukainya, dan tidak menyukai apa yang tidak disukainya. Aku ikhlas, karena bagiku masa depan Septi masih bisa diselamatkan, sedangkan masa depanku sudah tidak ada harapan lagi.
“Mamak, jaga Septi baik-baik. Tiang mau dia tetep sekolah, bagaimanapun caranya. Didik dia jadi anak perempuan yang kuat, tegar dan pintar kayak Mamak. ”
Mamak terdiam mendengar kata-kataku itu. Dia memeluk tubuhku yang terbaring lemah. Aku masih dapat merasakan kehangatan cinta dan kasih sayangnya. Roby pun mendekatiku, meraih dan mencium tangan kiriku yang kian memucat. Ada cairan hangat yang menetes di tanganku. Air mata Roby kian tak tertahan.
“Roby, aku titip Septi, sayangi dia kayak kamu sayang ama aku. Jaga dia buat aku. Maaf ya Rob, aku gak bisa nemenin kamu buat ngomong ama Mamak kamu di rumah. Aku gak bisa maen-maen ke rumah kamu. Aku gak bisa bantu kamu memajukan sekolah kita melalui OSIS. Aku gak bisa jadi Ketua OSIS yang baik buat kamu. Maaf ya. Tapi kamu harus janji ama aku, ada atau gak adanya aku, kamu tetep harus ngomong ama Mamak kamu. Ada atau gak adanya aku kamu harus tetep aktif di OSIS. Lanjutin perjuangan kita ya.”
“Enggih, aku janji bakalan lanjutin perjuangan kita. Aku bakalan ikutin suara kata-kata kamu Sep. Tapi aku mohon, kamu jangan pergi......”
“Udah gak bisa Rob, aku harus pergi... maafin aku. Dokter, Suster, makasi ya buat semuanya. Kalian udah baik banget ama aku........... ukhukk.. uhukkk....”
“Iya, itu memang sudah menjadi kewajiban kami....”kata Dokter Azmi sambil tersenyum.
Cairan merah pekat mengalir dari hidungku. Sepertinya waktuku telah habis. Rasa sakit yang menyiksa kepalaku membuat aku sulit mengeluarkan kata-kata terakhir yang ingin sekali aku katakan. Seandainya bisa, aku ingin sekali memninta dispensasi kepada malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawaku. Tapi itu tidak mungkin. Di sisa nafasku, aku berhasil mengatakannya.
“Dok..ter, am.... ambiill.. ma...mat..mata..ku..!”
Aku melepaskan tanganku dari genggaman tangan Septi. Tanganku bergantung lemah, tak ada darah, saraf, maupun otot yang masih berfungsi. Semua orang di ruangan itu menatapku penuh haru. Mamak menggoncang-goncangkan tubuh kakuku, tapi sayang, tidak ada respons apapun. Roby masih memegang tanganku, air matanya pun masih mengalir dengan hangat. Sedangkan Septi terus menangis sambil menatap langit-langit rumah sakit. Pandangannya gelap, hatinya pun kalap. Ya, aku pergi, kecuali kedua belah mataku yang akan tetap hidup di tubuh Septi. Jiwaku telah terlepas dari ragaku. Aku pergi meninggalkan duniaku tercinta menuju ke kehidupan yang abadi. Kehidupan yang tidak akan ada matinya lagi. Memang berat, tapi inilah takdirku. Aku yakin, takdir Septi akan lebih baik daripada aku. Selamat tinggal Mamak, Septi, Roby, semuanya.............
Lanjutkan=>

PUISI METAMORFOSIS WAKTU BY NURZILA ^^

Ini ceritaku yang tertindas sepi,
Hingga tak kata dan tawa walau hanya dalam mimpi,
Memori itu terkatung-katung di udara,
Aku malas untuk mengenangnya.

Aku tau,
Yang lalu itu bermetamorfosis menjadi benalu,
Dan aku kini berkalung belenggu,
Berusaha menggeliat melepas beban yang membatu.

Masa lalu itu menyekat jalanku,
Rasa sakit waktu itu menampar-nampar kalbu,
Kepahitannya berleleran di benakku,
Dan aku terlalu rapuh untuk bergelut dengan semua itu.

Langkahmu sudah sangat jauh,
Dan kisah itu sudah sangat lusuh,
Tapi aku masih menjaganya dengah utuh,
Walau berkali-kali harus terjatuh.

Kau sudah pergi,
Namun cintamu tertinggal disini,
Menggerogoti hatiku hingga berlubang,
Menciptakan panas yang meradang.

Debu hanya diam melihatku merunduk,
Menangis dalam sepi yang menusuk,
Otakku bekerja keras melupakan masa lalu,
Namun hatiku melawan keras melakukan itu.

Aku harapkan kenangan itu terlucut dari ingatan,
Dan aku menarik nafas bebas sambil tertawa ringan,
Berlari ke segala ufuk mencari kebahagiaan,
Berharap bersua gerbang menuju masa depan.
Lanjutkan=>

PUISI LUKA SEMESTA

Aku kalut dipelukan kabut,
Tak terasa hangat mentari saga,
Tak terasa sejuk semilir angin,
Mati rasa aku diribaan pagi.
Kutatap ranting pepohonan merunduk,
Sang raja hijau kering tak bergoyang,
Gunung tetap bisu terpaku,
Memendam amarah kulit terkoyak.
Mata bergenang hati bergeming,
Pedih pilu menatap embun yang pergi,
Ketika sang langit runtuh bergemuruh,
Ketika mentari saga menyembunyikan raga.
Lengang sunyi suara tercekat,
Tak ada lagi kata yang membentuk suara,
Hanya diam menahan remuk redam,
Menatap semesta yang mulai meradang.
Sebelum hari ini,
Bias mega menghangatkan raga,
Sungai tenang tak beriak,
Ombak bergulung menyerak buih,
Semua apa adanya.
Hari ini,
Bias mega menghanguskan raga,
Sungai meluap menghanyutkan semesta,
Ombang bergulung naik menggunung,
Ada apa dengan semua ini??
Hanya menuai tanya tak ada jawabnya,
Hanya berpendapat namun tak bertindak,
Hanya melihat namun enggan mengerti,
Persetan masa depan yang penting hari ini.
Entah bagaimana semesta di hari depan,
Hari ini saja tampak begini,
Meletus sana-sini,
Menyeruak ganas tak berperi.
Manusia menengadah pada semesta,
Malah mengoyak perut bumi tak terperi,
Monggores luka di tubuh bumi bulat ini,
Jika kelak bersua bencana,
Terpontang-panting menyelamatkan diri.


karya : Nurzila ^^
Lanjutkan=>

SALAHKAH RASA

Angin siang itu mengibas-ngibas rambut panjangku. Mengebas debu yang bertebaran di jalanan kota Praya yang lengang. Dedaunan pun meliuk-liukkan tubuhnya ketika angin mengajaknya menari. Langit tampak memucat. Mungkin awan akan menangis sebentar lagi. Dengan mata berkilauan, kutatap semua yang mampu tertangkap oleh mata sipitku. Beberapa orang siswa SMAN 1 Praya tergopoh-gopoh meninggalkan sekolah karena takut bersua hujan. Sedangkan aku hanya duduk santai di post satpam sekolah bersama Stev. Keringat dingin mengucur di keningku. Setelah sekian lama aku haus akan cinta, kini aku dapat merasakan gejolak itu kembali. Stev masih betah memainkan tangan kananku. Raut wajahnya memancarkan sejuta kebahagiaan. Bagaimana tidak, beberapa menit yang lalu aku memutuskan untuk bersedia mengisi kekosongan hatinya, menambal lubang serta mengobati luka hatinya yang teramat parah. Awalnya aku sangat ragu. Aku sendiri belum mampu mengobati luka hatiku, bagaimana mungkin aku mengobati luka hatinya? Ahh... biarlah, toh dia memberiku waktu yang cukup lama untuk menyelami hatinya.
“Aku sayang kamu Melin..”kata Stev setengah berbisik di telingaku.
“Aku juga.”jawabku seadanya.
Beberapa guru yang kebetulan lewat di hadapanku dan Stev mendadak menghentikan langkah. Ekspresi wajah mereka beragam. Ada yang tertawa, sinis, terkejut, garang dan sebagainya. Aku mulai risih dengan semua itu.
“Kamu yakin dengan hubungan kita ini?”tanyaku memecah kesunyian.
“Iya, kenapa tidak? Kita kan saling mencintai.”jawabnya sambil menatap mataku tajam.
“Tapi......”
Belum selesai aku berkata-kata, Stev dengan sigap menutup mulutku dengan tangan kanannya. Mataku terbelalak kaget.
“Sssssttt... sudahlah. Terserah orang mau bilang apa. Yang penting kita saling cinta.”kata Stev meyakinkanku.
Tak ada kata yang mampu kuucapkan lagi. Hanya sebuah anggukan sebagai petanda bahwa aku menyetujuinya.
“Kita pulang yuk. Bentar lagi hujan ni. Aku anterin kamu ya.”ajak Stev sambil mengenakan tas ranselnya.
“Ayok....”jawabku singkat.
Stev menaiki sepeda motor kesayangan miliknya itu. Tanpa berpikir panjang aku pun mengikutinya. Dengan posisi duduk yang sangat dekat, aku memeluk tubuh Stev dari belakang. Terlihat sangat mesra. Apakah aku benar-benar mencintainya? Jujur, aku belum bisa melupakan masa laluku. Stev hanyalah pelampiasan sekaligus penghapus sepi dan rasa rinduku. Aku belum bisa mencintainya dan sangat sulit untuk mencintainya. Beberapa menit kemudian, kami tiba di rumahku yang terletak tidak terlalu jauh dari sekolah. Aku turun dari sepeda motor dan membelai pipi Stev sambil mengucapkan terima kasih yang mendalam.
“Terima kasih ya udah anter aku pulang.”
“Sama-sama sayang. Aku mau langsung pulang ni. Kamu masuk gih. Jangan lupa makan ya.”
“Siipppph sayang. Hati-hati di jalan ya.”
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, Stev bergegas meninggalkan rumahku. Sepertinya dia takut kehujanan. Warna langit semakin hitam pekat dan suhu di sekitar pun menjadi sejuk yang mencekam. Aku pun berlari memasuki rumah. Tampak kedua orang tuaku sudah menunggu di dalam. Entah mengapa ada yang berbeda hari ini. Ekspresi wajah mereka seperti memikul beban yang teramat berat. Ada sesuatu yang bergolak di dada kedua orang tuaku itu. Aku yakin.
“Assalamualaikum...”ucapku dengan lemah lembut.
“Waalaikumussalam... baru pulang?”tanya Ibuku dengan nada agak tinggi.
“Iya Buk. Maaf agak telat.”jawabku sambil menunduk lemah.
“Kenapa? Ada kegiatan ekstrakurikuler baru? Ekstakurikuler pacaran di post satpam? Tadi wali kelasmu yang menelpon Bapak. Ternyata begitu kelakuanmu di sekolah.”
Bapakku angkat bicara. Intonasinya agak membuat jantungku tersentak. Nafasku turun naik sekarang. Ingin sekali rasanya aku mengeluarkan sepatah kata untuk membantah. Namun suaraku tercekat di tenggorokan.
“Kenapa diam? Gak bisa jawab?”tanya Bapakku dengan nada seperti mengadili seorang pencopet.
“Aa... anuu.. Pak... aa...”
Spontan aku tak mampu menyusun kata demi kata untuk membentuk sebuah kalimat yang bisa dimengerti. Arrgghh..... kenapa begini? Padahal aku mengambil jurusan Bahasa di sekolah, tapi mengapa aku kaku dalam berkata-kata jika di hadapan Bapak?
“Bapak sama Ibuk gak mau mendengar alasan apa pun. Bapak sudah tau semuanya. Kamu mulai berani bertingkah diluar batas sekarang. Sudah berani pacaran! Pacaran dengan...... dengan..... hah.. sudahlah. Hati Bapak sakit membahas masalah ini...! Bapak gak nyangka, kamu jadi begini sekarang? Apa ada yang salah dengan cara mengasuh Bapak dan Ibuk selama ini? Kenapa nak? Kenapa kamu jadi begini?”
Bapak mengkhotbahiku panjang lebar. Genderang telingaku terasa memanas bak tersiram air timah panas. Aku sudah menduga, pasti Bapak dan Ibuk tidak akan merestui hubunganku dengan Stev. Padahal aku sedang berusaha mati-matian untuk mencintainya.
“Melin, apa kamu dengar kata-kata Bapakmu itu?”tanya Ibu tiba-tiba.
“Nggech Buk, tiang denger. Tapi kenapa? Kenapa Bapak sama Ibuk gak mau ngedengerin penjelasan tiang? Tiang mohon, izinkan tiang bicara.”
“Silahkan....”kata Bapak dengan sinis.
“Tiang cinta sama Stev Pak, Buk. Dia anaknya baik kok. Dia tulus mencintai tiang, terima tiang apa adanya, selalu ada buat tiang... bukannya Bapak dan Ibuk menginginkan tiang pacaran dengan orang seperti itu?”
“Bukan seperti dia Melin!! Bukan! Carilah laki-laki yang baik, jangan dia!”
Ibu membentakku dengan kasar. Sepertinya beliau benar-benar naik darah dengan kata-kataku tadi. Aku mendengus lemah di dalam hati. Ini benar-benar skenario hidup yang paling tak sukai. Bapak mendekatiku, benar-benar dekat. Bibirnya hanya beberapa senti dari daun telingaku. Beberapa saat kemudian, beliau mulai bersuara.
“Bapak tidak mau tau. Kamu harus menyudahi hubungan haram kamu dengan dia. Titik..!”
“Tapi Pak.....”
“Tak ada tapi-tapian...!! Ini sudah menjadi keputusan bulat Bapak dan ibuk..!! Mengerti?”
Tak ada kata yang membentuk suara. Lidah terasa beku dan mati. Nafasku terasa menggantung di udara hampa. Hampa. Aku dan Stev baru memulai hubungan spesial ini beberapa jam yang lalu, tetapi orang tuaku telah mencekalnya dengan keras. Tolonglah Tuhan, aku sedang menanam pohon cinta di hati Stev yang gersang dan berlubang. Izinkanlah aku melihat pohon cinta yang tumbuh berkembang dan menghasilkan bunga-bunga cinta yang mempesona. Jangan biarkan pohon cintaku mati sebelum aku bisa mengecup tiap-tiap kelopak indahnya. Memetik kuntum-kuntum kasih sayang yang menyebarkan aroma semerbak yang mengghairahkan. Haruskah aku mencabut pohon cinta di hati Stev secepat ini? Aku tak mau menyisakan lubang yang lebih dalam lagi di hatinya. Aku juga tak mau menciptakan lubang-lubang kekecewaan di hati kedua orang tuaku. Lantas apa yang harus aku lakukan?
“Melin, Ibuk sama Bapak sangat menyanyangi kamu. Makanya kami melarang keras kamu dan Stev berpacaran. Ibuk tau, jauh di dalam lubuk hati kamu, kamu sebenarnya belum bisa melupakan Fery. Kamu masih terluka karna Fery meninggalkan kamu demi perempuan lain. Tapi Ibuk yakin, di luar sana masih banyak cowok yang lebih baik dari Fery. Percaya sama Ibuk.”
“Nggech Buk. Tiang tau. Tapi tiang sudah mulai cinta sama Stev.”
“Jangan bohong sama perasaan kamu sendiri Melin. Hapus rasa itu.”
“Tapi tiang kasian sama Stev Pak, Buk...”
“Tapi Bapak sama Ibuk juga kasian sama kamu sayang. Kamu mengerti kan maksud Bapak?”
“Nggech Pak, tiang ngerti.”
“Bapak mau, besok pagi kamu sudahi hubungan kamu dengan Stev. Berjanjilah untuk Bapak....”
Kalimat itu menusuk hatiku yang rapuh. Ku tatap mata Bapak yang berisi pancaran harapan dan terselip sedikit kekecewaan. Berbeda dengan mata Ibu, sepertinya beliau sudah terlanjur kecewa dengan perbuatanku. Matanya merah dan setetes air bening menggantung di ujung matanya. Dadaku sesak. Keriput di sekitar mata lembutnya membuatku semakin tak kuasa membendung cairan bening yang memaksa untuk keluar. Beberapa saat kemudian, hati dan otakku memberi pemerintah kepada organ tubuhku untuk merengkuh tubuh Ibu yang rapuh. Sungai kecilpun mengalir bebas di pipiku. Dapatku rasakan getar dalam dadanya, gejolak cintanya, denyut nadinya, dan desah nafasnya. Semuanya membuatku merasa menjadi anak paling durhaka sedunia.
“Maafin tiang Bu....”
“Iya.. Tanpa kamu minta maaf, Ibu sudah memaafkan...”
Kurasakan tangan kasar Bapak mengusap sungai kecil di pipiku. Tangan kasar milik bapak yang banting tulang untuk menghidupi aku dan Ibu. Mata Bapak sendu. Kutatap dalam-dalam mata itu. Kuharapkan tak ada lagi berkas kekecewaan di dalamnya. Bapak merengkuh tubuhku sekaligus tubuh Ibu. Terasa hangat dan penuh dengan balutan cinta dan kasih sayang. Sebagai anak tunggal, wajar saja apabila orang tuaku sangat over protektif kepadaku. Aku mengerti mengapa mereka seperti itu.
“Pak, Buk, tiang janji gak bakalan ngecewain Bapak dan Ibuk...”kataku dalam pelukan mereka.
“Ya sayang, Bapak percaya. Lakukan yang terbaik ya..”
“Nggech Pak...”
“Ibuk dan Bapak sayang kamu. Sekarang kamu ganti baju gih. Trus istirahat.”
“ Nggech, tiang istirahat dulu ya Pak, Buk...”
Aku berlari-lari kecil memasuki kamar. Kulempar tas ransel yang rasanya menyulitkan gerak tubuhku ke atas tempat tidur. Andai kubisa, ingin sekali rasanya kulempar juga rasa yang yang memporak-porandakan hatiku ini. Entah rasa apa, cinta? benci? kasihan? takut? atau apalah. Tiba-tiba handphone di dalam saku rok putih abuku bergetar. Sepertinya ada pesan singkat yang masuk. Aku segera membuka pesan itu.
Dari:
Yuli ^^
“Sumpah aku gag nyangka kamu pacaran ama Stev. Kamu udah gila? Apa kamu ga bisa dapetin pacar yang lebih baik selain dia? Please,, aku sebagai sahabat kamu gag mau ngeliat aku tersesat lebih jauh. Tolong,, sudahi hubungan kamu ama Stev...”
Aku merunduk memeluk lutut. Kali ini aku menangis sendiri meluapkan kesedihan dan kegalauan dalam sunyi. Pesan singkat dari sahabatku itu terasa menampar-nampar dinding hati yang masih belum sembuh dari luka lampau. Aku memaksa otak untuk berpikir lebih keras. Apa hubunganku dengan Stev benar-benar salah? Apakah salah jika aku belajar untuk mencintainya seperti dia yang sangat tulus mencintaiku? Dia tau aku bahagia tanpa aku harus tertawa, dia tau aku bersedih tanpa aku harus menangis, dan dia mengenal aku tanpa menuntutku untuk mengenalnya juga. Arrrgghhh..... dia begitu baik laksana insan pilihan dari Tuhan yang dihadiahkan untukku. Salahkah kami? Salahkah cinta suci anugerah dari Tuhan ini?
Lagu group band Vierra yang berjudul “Seandainya” tiba-tiba terlantun merdu dari handphoneku. Ada yang menelpon. Aku pun segera memencet tombol “Yes” untuk memulai pembicaraan dengan si penelpon.
“Hallo...”sapaku lembut.
“Hallo Melin, ini Fery.”
Aku tercengang seketika. Mimpi apa aku semalam? Fery, lelaki yang masih kucintai namun telah menjadi mantan kekasihku itu kini sedang menelponku. Aku agak sulit mengatur nafas, namun aku berusaha agar fery tidak mengetahuinya.
“I,,iyaa, ada apa Fer? Tumben...”
“Iya ni Mel, aku sengaja nelpon kamu karna aku khawatir ama kamu. Aku kaget denger kamu jadian ama Stev. Jujur Mel, aku gak ikhlas kamu jadian ama Stev. Kamu bisa dapetin yang lebih baik dari dia. Percaya dah ama aku.”
“Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Gak da yang lebih baik dari dia! Dia tu anugerah dari Tuhan buat aku...”
“Kamu salah! Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, cewek ama cowok.... sedangkan kamu........”
Aku langsung menutup telpon sebelum Fery sempat menghabiskan kata-katanya. Darahku terasa mendidih dan jantungku ingin meledak menghancurkan semua rasa. Sepertinya aku memang salah telah menerima Stev sebagai pengisi kekosongan hatiku. Ya, aku salah. Rasa ini salah. Manusia diciptakan berpasang-pasangan, lelaki dan perempuan.....!! Jodoh itu di tangan Tuhan. Tuhanlah sutradara yang terbaik dan tau cerita apa yang tepat untuk kita. Aku pun terlelap setelah pikiranku lelah terbang menerawang.

Ruangan kelas 12 Bahasa hari ini benar-benar berbeda. Tegang dan mencekam. Mataku lebih memilih untuk menatap lantai berlama-lama daripada harus melawan kerlingan tajam dari mata Stev yang duduk di sebelahku. Teman-teman kelasku yang lain sudah meninggalkan sekolah sedari tadi, sedangkan aku dan Stev masih tertahan disini. Pak Jun melarang kami untuk pulang karna ada sesuatu yang harus dibicarakan. Aku tau apa yang ingin dibicarakan oleh guru yang terkenal killer itu. Pasti tentang hubunganku dengan Stev.
“Stevani Amira Dewi dan Melinda Puteri, apa kalian tau mengapa Bapak menahan kalian disini?”kata Pak jun memulai pembicaraan.
“Rasanya saya tau Pak. Pasti Bapak ingin melarang hubungan kami. Bukan begitu?”jawab Stev dengan santai.
“Pinter. Lantas, apa kamu tau apa yang harus kamu lakukan?”
“Maaf, saya tidak bisa mengakihiri hubungan ini Pak, saya mencintai Melin.”
Aku tersentak mendengar jawaban yang keluar dengan entengnya dari bibir Stev itu. Ekspresi wajar pak Jun pun berubah menjadi garang.
“Kalian itu sesama jenis! Tidak mungkin kalian bisa terus berpacaran atau menikah suatu saat nanti. Apa kata dunia?! Allah pasti murka dengan tindakan kalian ini. Banyak teman-teman bahkan orang tua kalian kecewa dengan tindakan tidak masuk akal kalian ini. Bapak harap kalian mengerti..”
“Saya mengerti Pak. Dan saya memang sudah berniat untuk mengakhiri semua ini. Rasa ini memang salah. Ini bukan rasa cinta sebagai kekasih, tetapi sahabat. Saya terlalu nyaman berada di dekat Stev, makanya saya keliru dengan rasa di hati saya sendiri. Saya rasa Stev juga begitu. Di usia kami ini, kami masih sangat labil untuk mengerti lebih dalam tentang cinta yang sebenarnya. Saya mohon maaf Pak.”
Dengan segumpal keberanian aku berkata seperti itu. Stev memicingkan matanya menghadapku. Raut wajahnya memancarkan kekecewaan, sama seperti raut wajah kedua orang tuaku kemarin.
“Bapak tau kalian itu anak-anak yang baik dan pintar. Kalian hanya salah mengartikan rasa. Maklum, anak muda.”
“Melin, kamu mau kita pisah? Apa kamu gak mikirin perasaan aku? Hidup aku?”
Suara Stev terdengar lirih dan menusuk genderang telingaku. Aku meraih tangannya, menatap matanya, dan membiarkan senyum lembutku menyapa wajahnya.
“Kamu cinta ama aku sebagai sahabat, percayalah. Kita salah. Manusia itu sudah di tentukan jodohnya, yang cewek ama cowok, yang cowok ama cewek. Bukan cewek ama cewek, ataupun cowok ama cowok. Percaya ama aku, suatu saat akan ada cowok yang bisa menambal lubang di hati kamu, menanam pohon cinta yang lebih indah di hati kamu, merawatnya, memetiknya, dan gak bakalan ngebiarin hati kamu gersang ataupun terluka lagi. Aku akan selalu ada di samping kamu, karna kita sahabat.....”
Terlihat bulir air bening terjatuh dari kelopak indah matanya. Mengalir lembut menyusuri pipi lembutnya kemudian terjatuh di pangkuan. Dengan sigap aku menghapusnya, berharap kesedihannya akan ikut terhapus. Ku lihat dia mulai tersenyum. Pancaran matanya yang lembut meneduhkan tiap jiwa yang menatapnya. Senyumnya benar-benar menghanyutkan kesedihan yang menempel di dinding hati, menenggelamkan timbunan masalah yang melanda, membenamkan semua rasa gundah yang ada.
“Pak, saya minta maaf nggech. Saya mengerti sekarang, ternyata saya salah mengartikan rasa ini. Saya merasa malu Pak, saya bodoh!”kata Stev dengan menyesal.
“Ya Stev, Bapak mengerti. Yang penting sekarang kalian sudah sadar dan bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini. Bapak tidak mau ini terulang kembali.”
“Ya Pak, kami janji.”
Aku menjawab dengan nada meyakinkan. Akhirnya permasalahan salah rasa ini terselesaikan. Aku merasa seperti terlahir kembali, lahir sebagai perempuan normal, lahir sebagai sahabat untuk Stevani, bukan kekasihnya. Terima kasih Tuhan karena memberikan akhir yang menyejukkan. Sekarang tuntun aku dan Stevani untuk menemukan laki-laki pengisi hati yang gersang ini.
Kami ingin menanam bibit cinta di yang hati baru..!!


karya : Nurzila ^^
Lanjutkan=>

Minggu, 24 April 2011

KADO TERKHIR karya Tiffany Atika

Dinginyna malam tak bisa dihindari lagi serta nyanyian para jangkrik yang bagaikan dipandu oleh seoarang drijen yang profisional, serta nyanyian para jangkrik yang bagaikan dipandu oleh seoarang drijen yang profisiona, menambah makna dari malam ini, sungguh malam yang menggugah pikiran, sebuah switer yang Aku kenakan agaknya bisa sedikit menghangatkan badan.
Ya, switer ini, switer ini adalah satu – satunya kenangan yang ditinggalkan oleh Dito. Laki – laki yang bernama Dito adalah seoarang yang sempat mengisi kekosongan hatiku.Namun, laki – laki yang sangat Aku cintai itu kinai telah berada di alam yang berbeda denganku. Ya,Dito sudah lama meninggal dunia, dia meninggal dunia dengan cara yang tak pernah Aku duga sebelumnya. kejadian itu tidak saya inginkan dan tidak saya harapkan ,
Empat tahun sudah berlalu….
Empat tahun yang lalu..,.tepatnya tanggal 27 Januari Dia menyatakan perasaannya padaku dan menyatakan kalau dia ingin jadi pacarku, tepat di belakang skolah,suasananya sangat sepi,tak ada orang satu pun yang menyaksikannya. Aku masih ingat kata-katanya yang mengatakan “Din…kita kan dah lama kenal, kita pun sudah melakukan pendekatan,bagiku itu sudah cukup,dan hari ini Aku ingin menyatakan perasaanku padamu,,,Aku sudah lama suka sama kamu,Aku syang sma kamu,,dan aka pun yakin kaluk kamu juga suka sma aku,jadi apakah kamu mau menjadi kekasihku?”. Saat itu aku merasa sangat bahagia karna bukan Aku saja yang bmerasakan gejolak cinta ini. Ternyata Dia pun merasakan hal yang sam dengaku. Tanpa rasa ragu, aku pun menerima cintanya dan mengatakan “ Sebenarnya Aku juga suka dan sayang sama kamu,, Aku terima kamu sebagai kekasihku”, “sungguh?”, “ya Dit”, “terima kasi ya Din” . aku tersenyum padanya. Tak lama kemudian bibirnya hampir melintas di keningku,namun Aku langsung berbalik arah dan berusaha supaya dya tak jadi menciumku ,dan akhirnya dia tak dapat menciumku.
“lhooo…kenapa Din?.kan sekarang kita dah resmi pacaran boleh donk aku sekedar mengecup keningmu??”
“Dittt,,aku tahu sekarang kita sudah menjadi sepasang kekasih,tapi apa harus kamu mencium keningku? Kita kan baru jadiann!
“maafkan aku din,,tadi aku hilaf,sebab aku tak bisa menahan rasa bahagiaku karna kamu telah menerima cinta ini.”
“ya sudah, tak mengapa”
Selepas kejadian itu, Dito pin mengajak aku pulang dan menawarkanku untuk mengantarku ke rumah. Kami pun beranjak pergi dari tempat itu. Sebelum dia mengantarku, dia mengajakku ke parkiran untuk mengambil mobil yang akan kami kendrai,,sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kami tadi. mobil yang berwarna merah delima bak warna darah merah sungguh membuatkau terpukau, Dito memang tergolong laki-laki yang tajir, tak heran setiap minggu dia selalu mengganti mobil yang ia gunakna. Kan kali ini tampaknya dia sengaja menggunakan mobil berwarna merah itu,karna dia tahu kalau Aku sangat menyukai warna merah. Dia pun membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk bak seorang sopir pribadi yang sedang melayani majikannya. Kami pun beranjak dari tempat itu menuju rumahku,selam adi perjalanan kita banyak ngobror panjnag lebar,,tak tahu ynambung apa tidak,tak tahu penting atau tidak,,namun yang pasti aku sangat nyaman berada di dekatnya. Dan akhrinya dengan menempuh perjalan yang cukup melelahkan,kami nsmapai di rumnahku. Ditto pun bergegas pergi dan meengucapkan “I LOVE YOU DINDA”. Bayangan ditopun tak terlihat lagi.
Esokpun tiba,,pagi-pagi sekali Ditto menjemputku untuk berangkat bersama kesekolah.
“selamat pagi sayang!”
“pagi juga Dito!”
“kamu tampak cantik hari ini” puji Dito
“ahh kamu ini..suka bencanda aja,,bikin aku jadi geer”
“lhoo emnang bner, kamu itu tampak cantik dan manis hari ini aku jadi semakin sayang sama kamu”
“ Dittooo Dittoo…jadi kalu aku gak cantik kamu bakalan gak sayang sama aku ?”
“ bukan gitu juga kali din,Aaku sayang sama kamu bukan hanya karna parasmu yang sangat cantik,melainkan karna kebaikan hati kau juaga,kamu juga sangat bisa bikin aku mabuk kepayang jika aku melihat senyummu yang sangat menawan.Hanya kamu yang mampu melakukannya.
Memang hari itu aku sengaja berpenampilan yang tak seperti biasa,,aku mengurai bebas rambut panjangku,yang iasanya kau selalu mengikatnya.
“kamu bisa aja, ya sudahh…kita berangkat yuk!”
“come on sayang”
Sesampainya di skolah, dito memakir mobilnya di tempat biasa ia parkir. Dan kemudian membukakan piintu untukku, dan itu dilakukannya setiap hari.
Tiga bulanpun sudah berlalu,,saat umur pacaran kita sudah memasuki bulan ke-4, dia mengajakku ke rumahnya, dan akupun tak menolah ajakannya.
Samapinya di rumahnya,aku sungguh kagum melihat kemewahan rumah itu, sungguh nampak seperti istana, di setiap sudut rumah itu di tanami bunga yang beraneka ragam warnanya, yang lebih membuatku kagum adalah ketika aku melihan deretan mobil mewah yang terparkir di bagaisi rumahnyanya, tampak seperti barisan semut yang sangat rapi, tertata rapi dan terlihat indah,. Namun, tak ada seorangpun yang berada di rumah itu selain aku, ditoo dan seorang pembantunya,ditto adalah anak tunggal.
“ Ditt...papa mama kamu dimana?, kok aku gak pernah liat dari tadi?”
“oowwhhh…mereka ada di Londen, kebetulan kami punya perusaan di sana dan papa mama aku tinggal disana mengurus perusahaan kami.”
“Ooowwhhh, sudah berapa lama dia disana?”
“sudah dua tahun, tiap tiga bulan sekali mereka pulang menggunakan garuda”
“ apa kamu tidak kangen dengan beliau?”
“ kangen sihh,,tapi mungkin karna aku sudah terbiasa tanpa mereka.”
Dito pun mempersilahkan ku duduk di sofanya, terasa empuk ketika aku mendudukinya.
Tak lama seorang perempuan paruh baya membawakan kau segelas minuman.
“Permisi Non, silahkan!”
“Terima kasi Bik!”
“ya non, permisi non”
Tiga jam berlalu aku pun meminta dito untuk mengantarku pulang ,kami banyak ngobrol dan sesekali dito melontarkan kalimat – kalimat romantisnya kepadaku.
Hari demi hari,bulan dan tahun kami menjalani hubungan itu,tanpa terasa satu hari lagi kami resmi berpacaran tiga tahun lamanya. Dan setiap tanggal 27 Agustus tepat pada hari jadi kami, kami selalu merayakannya, kami tak pernah melewatkan hari bahagia kami,,walaupun hanya sekedar makan malam berdua dan tukeran kado hal yang wajib kita lakukan. Tak lupa kami selalu mengunjungi tempat bersejarah kami yaitu di belakang sekolah, tempat dito menyatakan persaannya padaku.
Kami sudah berencana, besok kami akan merayakan hari jadi kami yang ketiga dengan pergi ke sebuah tempat yang sangat tak asing buat kami berdua, pantai, kami sangat senang mengunjungi pantai, kami memang banyak memiliki kesamaan. Entah itu dalam bidang apa,,warna,makanan,hobby,tim favorit dan masih banyak lagi.
Hari yang kami nanti pun tiba juga, hari itu tepat tanggal 27 Agustus..
Dia menjempuku pada jam dua siang. Kami pun berangkat dengan hati gembira. Tak lupa kamu telah menyiapkan kado masing-masing yang akan kami tukarkan. Sampainya di pantai, ternyata Dito diam – diam telah menyiapkan tempat yang sangat romantis untuk kami berdua. Momen itu yang tak bisa aku lupakan sampai detik ini. Dengan di iringi gesekan biola kami menikmati saat- saat itu, kami sangat bahagia ,kebahagian itu sungguh tak bisa di gantikan oleh apapun. Di temani dengan suguhan menu makanan yang membuat suasanya menjadi lebih hidup, semua sudah siap kecuali sekuntum bunga mawar, tampaknya Dito tak ingat, atau mungkin dia senagja, entahlah.
Namun kebahagian itu tak berlangsung lama,ketika itu kami di hampri oleh seorang wanita yang bernama Angel yan mengaku pacarnya dito, dan wanita itu mengaku bahwa dia sudah menjalin hubungan dengan dito selama empat tahun lamnya. Sungguh, tak bisa di gambarkan perasaanku waktu itu,hatiku hancur berkeping-keping,bagai pecahan kaca yang sudah tidak mungkin bisa di satukan lagi . Persaan marah,sedih,terharu,kecewa,perassan yang tak pernah menyangka dito seperti itu tercampur menjadi sebuah kemasan bak permen yang tak mengandung pemanis buatan maupun alami, Aku sungguh tak percaya dengan kejadian itu. Saat itu aku tak bisa berkata apa-apa,bungkam tanpa bahasa,bungkap tanpa kata.
“Din…Aku bisa jelaskan...Aku mohon dengarkan Aku!,wanita itu bohong”
“Ditoo…kamu yang bohong,dasar laki-laki pembohong,penghianata kamu…!” ucap Angel dengan nada sedikit tinggi.
“lalu..apa buktinya?”
“baik..aku bisa kasi bukti sama kamu”
Tak lam Angel lalu mengambil sebuah benda dari dalam tasnya,
Ternyata itu adalah sebuah dompet,
“ini,,kamu lihat ini!, ini foto kita saat kita sedang berada di tempat ini,pantai ini dito, ternyata tepat sekali aku kesini, kamu tega bersama wanita ini, kamu sudah beberapa hari ini hilang tanpa kabar,maka dari itu aku kesini,karna Aku tahu kamu berada disini”
Aku pun semakin tak menduga dan tak bisa percaya bahwa kejadian ini terjadi dalam kehidupan percintaan ku. Aku selalu percaya dengan ucapan dito, kan kepercayaanku itu hanya sebuah isapan jempol semata. Dito yang selam ini aku kenal ternyata seorang laki – laki pembohong besar . Aku ternyata adalah selingkuhannya dito, aku hanya dijadikan pelarian semata, namun aku sudah terlalu sayang sama dito,cinta sama ditoo..
“kamu..dasar cewek tidak tahu malu, bisa- bisanya merebut pacar orang, dasar wanita kegatelan, gak tahu apa dito sudah punya pacar juga”
Pikiranku sangat ruet¸dan untuk menghindari keruwetan pikiranku,Akupun lari dari tempat itu melalui jalan raya,entah kemana tujuanku,aku tak peduli,akan tetapi aku hanya ingin menghindar dari mereka. Tak lama ditto meninggalkan angel dan mengejarku, saat dya akan mengejarku tak jauh terlihat sebuah kendaraan raksasa yang searah dengan kami,jarak ditto dengan aku tak terlalu jauh,dia hampir dapat menggapaiku..jarak kendaraan itu semakin dekat dengan ditoo,,,
Dan 3 2 1…..
..sssssssssssssssssrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrttttttttttttttttttbrrrrrrraaaaakkkkkkk!!!!!!!!!!!!!!!
Terdengar suara yang sangat menggelegar, ketika aku menghadap belakang, ternyata itu adalah suara puso yang telah menabrak seorang yang sangat aku cintai, namun sudah bikin hatiku hancur .
“DITTTTTTTTTTTTOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!”
Aku berterik memanggil namnya saat aku melihat bahwa diasudah tak berdaya.
Akupun berlari menghampirinya, dan ternyata itu benar ditto,dia sudah tak berdaya lagi,namun 1 menit sebelum dia pergi,dia sempat mengucapkan kalimat “I LOVE YOU FOREVER ADINDA”
Aku semakin hancur,terlebih ketika ia sudah tak bisa mebghirup udara lagi dan pergi untuk selama-lamanya.
Akupun mengambil kado yang telah ditto siapkan untukku sesudah ia dibawa kerumah skait untuk diotopsi.
Ketika aku membukanya,ternyata isi kado nitu adalah sebuah switer yang sangat cantik,berwarna merah, sungguh indah.
Karna itulah,mengapa sampai saat ini aku masih menggunakn dan menjaga switer ini,walaupun dia pernah menyakiti hatiku, namun bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari kehidupanku serta mengisi ruang hampa di ahtiku,kejadian itu tidak saya inginkan dan tidak saya harapkan ,akan tetapi sekarang warnanya agak sedikit memudar,namun cinta suci yang telah aku berikan kepadamu tak tak pernah memudar, selamanya aku padamu.
Lanjutkan=>

Minggu, 17 April 2011

CINTA TAK HARUS MEMILIKI karya Nurzila Binti Sahir

Mata Viona menatap lurus ke depan. Sesekali mata indah itu meneteskan bulir-bulir air mata dan tangannya pun dengan cepat menyekanya. “Cengeng..!!”ujarnya pada diri sindiri. Sejauh mata memandang hanya kegelapan yang tergambarkan. Gelap dan dingin mencekam tubuhnya. Malam itu Viona sulit memejamkan mata dan memutuskan untuk merenung sendirian di teras depan rumahnya. Tanpa ia sadari, sepasang mata dari tadi memperhatikan gerak-geriknya di balik pintu.
“Sampai kapan lo mau kayak gini Vi?”
Suara lembut Ayu membuyarkan lamunan Viona. Ayu melangkah mendekati sahabatnya itu.
“Eh Ayu… lo ngagetin gue aja. Kok lo belom tidur sih?”tanya Viona mengalihkan pembicaraan.
“Apa gue bisa tidur tenang tanpa si tuan rumah ini di samping gue…? Kebangetan lo Vi, masak gue ditinggal sendirian di kamar.”kata Ayu mendumel geram.
Ayu duduk di samping Viona sambil membuang pandangannya jauh ke depan.
“Maaf Yu, gue gak bisa tidur makanya gue keluar.”
“Yayaya… maaf diterima. BTW, nyokap bokap lo berapa lama lagi bakalan balik ke sini? Lama banget sih mereka di Jawa..?!”
“Tiga hari hari mungkin…”
“Berarti gue nginep di sini tiga hari lagi dong..?!”
“Yuuupzz.. that’s right..”
Mereka berdua terdiam sejenak dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Ayu membenarkan cara duduknya kemudian menatap tajam mata Viona.
“Udah cukup basa-basinya. Gue mau nanya sesuatu ama lo. Sampe kapan lo mau kayak gini Vi?”
“……….” Viona terdiam mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Jawab Vi…!!”
“Sampe dia sadar ama perasaan gue Yu.”
“Viona, lo tu yang harus nyadar. Gio tu gak mungkin bisa balik lagi ama lo. That’s imposible. Nyadar dong Vi..!!”
“Gue gak pernah berharap dia bisa balik lagi ama gue Yu. Gue cuma mau dia tau tentang perasaan gue ke dia selama ini. Itu aja udah cukup..!!”
Viona meneteskan air mata. Ayu mulai jengkel melihat tingkah sahabatnya itu.
“Lo sadar gak sih, apa yang buat Gio gak mau balik lagi ama lo..?!”
“Ya, gue sadar. Gue tau Yu. Dulu gue udah nyia-nyiain dia. Gue berpaling dari dia cuma buat Steve. Padahal dia tu cinta banget ama gue. Steve cowok brengsek yang awalnya sayang ama gue, ternyata ujung-ujungnya selingkuh juga ama Tia, sahabat kita. Lengkap sudah penderitaan gue Yu.”
Viona tak mampu melanjutkan kata-katanya. Suaranya tenggelam dalam isak tangis. Ayu hanya menatapnya tanpa reaksi sedikitpun.
“Gue nyesel Yu. Nyeseeeelllll…….. gue tau ini karma dari tuhan buat gue…”
“Percuma Vi. Penyesalan lo gak bakalan berpengaruh apapun buat Gio. Dia udah benci banget ama lo. Percaya deh ama gue..!!”
“Gue gak peduli. Gue bakalan tetep cinta ama dia. Gue mau nunggu dia sampai kapan pun..”
Suara tangis Viona tambah jelas. Ayu luluh kemudian memeluk tubuh sahabatnya itu dengan erat.
“Lupain Gio. Lupain dia Viona..!!” bisik Ayu di telinga Viona.
“Gak. Gak bakalan Yu..”
“Please Vi. Gue mohon ama lo..”
“Please Yu. Jangan paksa gue buat ngelupaen dia.”
Mereka berdua larut dalam perasaan masing-masing. Viona terus-menerus menangisi penyesalannya. Sebuah harapan besar ia sematkan dalam hati.
harapan untuk bisa meraih hati Gio kembali. Ayu hanya mampu pasrah menyaksikan penderitaan sahabatnya itu. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengabulkan harapan Viona. Biar waktu yang menjawab, apakah harapan itu akan menjadi kenyataan suatu hari nanti?

Siang itu mata Viona terasa amat berat. Bagaimana tidak, semalaman dia begadang bersama Ayu. Viona terus berusaha untuk mencerna pelajaran yang di berikan oleh Ibu Riri, guru pelajaran Fisika. Namun , tak ada satu rumus pun yang mampu singgah di otaknya.
“Vio…Viona….”
Terdengar suara lembut setengah berbisik memanggilnya dari belakang. Viona pun menoleh perlahan.
“Ada apa?”
“Ntar pas pulang sekolah gue mau cerita sesuatu ama lo. Ini tentang Gio.” kata Tia berbisik.
Persahabatan Viona, Ayu, dan Tia berjalan baik-baik saja dan tak akan pernah berakhir. Walaupun dulu Tia telah terbukti merebut Steve dari Viona. Bagi mereka, hilang pacar lebih baik daripada hilang seorang sahabat.
“Tentang Gio?? Kenapa dengan Gio??” tanya Viona penasaran.
“Viona..!!!”
Sekonyong-konyong tubuh Viona langsung bergetar dahsyat. Dia amat kenal dengan suara garang itu. Suara guru killer yang sedang mengajarnya.
“Maju kamu..!!!” bentak Ibu Riri.
“Ii..iya Bu’..”
Viona melangkah gontai ke depan. Terdengar bisik-bisik iseng dari teman-teman sekelasnya. Entah hukuman apa yang akan menimpanya sekarang.
“Kerjakan pertanyaan nomer 1 sampai 3 di papan..!!”
“Haaaaa..??” Viona ternganga.
“Haa…hee..haa..hee.. cepat kerjakan..!!”
“Iya Bu’…”
Viona mengerjakan soal-soal Fisika yang terpampang di papan tulis. Untuk murid sejenius Viona, hanya butuh waktu 5 menit untuk menjawab semua pertanyaan itu. Viona memang di kenal dengan kejeniusannya, walaupun dia sering malas memperhatikan gurunya yang sedang mengajar di kelas.

Bel pulang sekolah berbunyi. Viona dan Tina memasukkan buku pelajaran mereka ke dalam tas masing-masing. Kelas sudah sepi, hanya ada mereka berdua di sana.
“Ceritain gue sekarang..”pinta Viona sambil menarik tangan Tia untuk duduk di sampingnya.
“Yayaya… gak sabaran banget sih lo…”
“Ihhh.. bawel. Cepetan..”
“Gini, tadi malem gue SMS-an ama Gio. Gue nanya-nanya tentang kuliahnya di Jakarta gitu deh. Mmmm… gue juga nanya masalah kisah asmaranya…”
“Trus..truss.. kapan dia mau balik ke Bandung? Sapa pacar Gio sekarang?”
“Dia mau pindah kuliah ke Bandung katanya..”
“Wooww.. asiiikkkk… Gio pindah ke Bandung. Yes.. Yes.. gak jarak jauh lagi deh..!! truss…. Sapa pacarnya??”
“Katanya… dia… dia…mmmm…….”
“Dia kenapa Tia?? Sapa pacarnya? Cepetan kasi tau..!!”
“Dia lagi PDKT ama anak sekolah kita Vi..”
“Haaaaa??? Anak sekolah kita? Sapa? Bukannya dia udah punya pacar di Jakarta? Kalok gak salah namanya tu Wiliy..”
“Dia udah putus ama Wiliy. Gio bilang, Wiliy tu cewek matre..”
“Hahaha.. kasian Gio..”
“Kok lo malah ketawa sih Vi. Seharusnya lo sedih dong..”
“Ngapain gue harus sedih?”
“Gio kan lagi PDKT ama anak sekolah kita Vi..!!”
“Oooo…..”
Viona hanya menjawab singkat. Dia tersenyum sendiri mendengar kekhawatiran sahabatnya itu. Hatinya pun berkata…..
“Hahaha.. addduhhh.. lo bego amat sih Tia..!! Gio tu lagi PDKT ama gue kale. Gue udah lama SMS-an ama Gio, tapi gue gak tau apa dia sadar ama perasaan gue ke dia selama ini. Gue juga bingung. Ayu bilang kalok Gio udah benci banget ama gue, tapi kenapa sikap Gio baik-baik aja ke gue..?? ahhh.. bodo..!! yang penting gue bisa lancar SMS-an ama dia. Yah,, walaupun di tiap SMS-nya tu selalu ngebahas masalah pacarnya, gebetannya, kenalan barunya dan banyak lagi, huuuhh… dia gak nyadar kalok itu semua nyakitin perasaan gue banget. Tapi di satu sisi gue bersyukur, setelah 6 bulan gue putus komunikasi ama dia, akhirnya semenjak sebulan yang lalu gue ngeberaniin diri buat SMS dia duluan, oh my god…!!! Gio ngerespon SMS gue..!! gue seneng bangettttt….”
“Viona..!!”bentak Tia yang mulai merasa aneh di tinggal melamun oleh Viona.
“Aaaa.. iya..?”tanya Viona kaget.
“Lo kok bengong sih??”
‘Ooo.. gak ada. Gue cuma…Cuma… mmmm… gak jadi deh..!!!”
“Kenapa sih lo? Gila??Tambah aneh aja lo..!!”
“Biarin… hehe..”
“Idiiihhh.. sahabat gue kok stress gini sih? Apa gara-gara Gio??”
“Mmmm….may be..”
“Ihhh..nyebelin banget sih lo?!”
“Masak???”
Viona berlari ke luar kelas. Tia mengejarnya sambil menjerit memanggil nama Viona dengan keras.

Kamar Viona tak pernah rapi semenjak Ayu menginap di rumahnya. Buku, bantal, selimut, dan boneka berserakan tak karuan. Viona yang sedang asyik membaca novel di kursi belajarnya tiba-tiba terperanjat mendengar suara Ayu yang tertawa cekikikan.
“Ayuuuuu..!!”bentak Viona dengan wajah sebelnya.
“Mmmm.. iya..? kenapa?”tanya Ayu kebingungan.
“Lo kenapa sih ketawa-ketiwi gak jelas kayak gitu?? Gila lo ya?? Asik banget baca SMS-nya..!!”
“Sorry..sorry… ya nih. Asik banget SMS-an ama anak nih. Gokil dan gombal banget tau gak..!!”
Tak henti-hentinya jari-jemari Ayu mengetik kata demi kata di tombol-tombol handphone-nya. Setiap ada pesan yang masuk, suara tawa Ayu langsung membelah kesunyian rumah Viona.
“Emang lo lagi SMS-an ama sapa sih?”
“Ada deh Vi.. rahasia..”
“Huuuuh,,, ya udah. Gue mau SMS-an juga ahh..!!”
Viona langsung meraih handphone-nya yang tertindih di bawah bantal. Tangannya mulai mengetik dengan cepat.
Viona
Malem Gio..!! >_<
Pesan itu terkirim dengan cepat. Viona tersenyum kemudian meraih novelnya yang di lepaskannya tadi.
“Lo SMS-an ama sapa Vi?” tanya Ayu membelah kesunyian.
“Ada deh. Rahasia..!”
“Dasarrrrr…!!”
Beberapa menit kemudian, handphone Viona bergetar menandakan ada pesan singkat yang masuk. Viona langsung membuka pesan itu.
Gio
Sorry Vi, gue telat balesnya. Gue lagi sibuk ngerjain tugas kampus nih. Malem ni kita gak SMS-an gak apa-apa kan Vi?? Maaf banget ya.
Viona
Ya, gak apa-apa kok. Sorry gue ganggu. Lanjutin dah. Semangat yah..!!
Viona berdiri kemudian menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Ayu berbaring terlentang di sampingnya. Mata Viona pun melirik ke arah layar ponsel sahabatnya itu. “Kayaknya gue kenal ama nomer tu. Tapi nomernya sapa yah??”ujarnya dalam hati.
“Buseeeet lo Yu. Kotak masuk di Hp lo isinya dari nomer yang sama semua.”kata Viona terheran-heran.
“Ya iyalah. Gue kan SMS-an ama dia tiep hari Vi. Oh ya, lo gak jadi SMS-an??”tanya Ayu sambil melirik ke arah Viona yang mulai memejamkan mata.
“Gak. Dia lagi sibuk katanya. Gue tidur duluan ya Yu. Pegel banget ni mata.”
“Gila’. Mata lo hebat banget sih Vi. Tumben gue denger mata bisa pegel. Biasanya kan kaki yang pegel..!!”
Viona tak menyahut lelucon dari sahabatnya itu. Matanya terpejam, pikirannya telah menerawang ke alam mimpi. Tinggallah Ayu sendiri di temani Handphone-nya.

Bel berbunyi tiga kali, menandakan sudah waktunya untuk beristirahat. Para murid berhamburan di sana-sini. Murid di kelas IX IPA 2 tersisa hanya beberapa orang.
“Viona…!!”panggil Tika dengan suara yang lantang.
Viona yang baru saja melangkahkan kakinya ke luar kelas langsung menoleh ke arah sumber suara.
“Ada apa?”tanyanya singkat.
“Lo mau ke kantin?”
“Iya..”
“Gue ikut dong..”
“Ayok..”
Mereka berdua melangkah beriringan menuju ke kantin. Tia merasa heran melihat tingkah Viona yang mendadak pendiam hari itu.
“Viona?” sapa Tia.
“Mmmm.. ya? Kenapa?” tanya Viona sambil menatap wajah Tia.
“Hari ini lo kok pendiem banget sih? Lagi ada masalah?”
“Gak kenapa-napa kok. Kita cari tempat duduk dulu yok..”ajak Viona ketika sampai di kantin.
Mereka berdua memilih duduk di meja paling ujung, berhubung hanya meja itu yang belum terisi. Mereka pun memesan dua gelas jus jeruk kepada pelayan kantin itu.
“Tia, akhir-akhir ini lo masih sering SMS-an ama Gio gak??”tanya Viona tiba-tiba.
“Mmmm…gak juga. Terakhir kali gue SMS-an ama dia tu dua hari yang lalu. Emangnya napa Vi?”
“Kok dia gak pernah bales SMS aku ya sekarang? Sesibuk apa sih dia sampe-sampe gak ada waktu buat ngebales SMS gue?!”tanya Viona dalam hati.
“Viona??”sapa Tia sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Viona.
“Oh ya, sorry, gue ngelamun.Hmmm.. ada kabar baru tentang Gio gak?”
Wajah Tia tiba-tiba gelisah. Dia tertunduk. Entah apa yang tengah di sembunyikannya.
“Mmmm… gak ada Vi.”Tia berbohong.
“Serius gak ada?”tanya Viona curiga.
“Iii…iya Vi..”jawab Tia dengan gugup.
“Lo gak lagi nyembunyiin sesuatu kan?”
“Gak kok Vi..!! ngapaen juga gue boongin lo..”
“Okeee.. gue percaya ama lo..”
Viona langsung menyeruput jus jeruknya yang baru di antarkan oleh pelayan kantin. Tia pun melakukan hal yang serupa.
“Oh ya Viona, kok gue gak pernah ngeliat Ayu ya? Dia kemana sih? Ngilang aja kayak siluman.”tanya Tia.
“Palingan juga lagi SMS-an di toilet sekolah.”jawab Viona tanpa ekspresi.
“Haaaa? SMS-an di toilet sekolah? Emang dia udah berani bawa Hp ke sekolah? SMS-an ama sapa tu anak?”
“Yeeee.. emang dari dulu dia udah bawa Hp kale. Mmm… gue gak tau dia SMS-an ama sapa. Rahasia katanya.”
“Ooo.. gitu ya. Dasar tu anak udah mulai bandel..!!”
“Biarin aja lah… tumben ngerasain jatuh cinta tu anak …!!”
“Hehehe.. ya juga sih..!!”

Tidak seperti biasanya, siang itu Viona, Ayu dan Tia memutuskan untuk makan siang bersama setelah jam pulang sekolah. Tia yang kebetulan mendapatkan rejeki nomplok dari orang tuanya itu pun berinisiatif untuk menawarkan makan siang gratis di café untuk sahabat-sahabatnya itu.
“Eh Viona, gue nitip Hp gue bentar ya. Gue kebelet nih. Mau ke toilet bentar.”kata Ayu tiba-tiba.
“Ya udah, gue ama Tia nunggu di café biasa ya. Cepetan gih..!!”ujar Viona.
Beberapa saat kemudian, Viona dan Tia tiba di sebuah café mewah kebanggaan mereka. Tak banyak pengunjung di sana. Mungkin karena masih siang.
“Kita duduk di pojok aja yuk.”ajak Tia.
“Oke-oke aja..”ujar Viona.
Viona menghenyakkan tubuhnya di kursi sambil melepas lelah. AC di café itu benar-benar menimbulkan kenyamanan bagi para pengunjung. Design café yang elegan juga menenangkan pikiran setiap pengunjung yang sedang ruwet.Tiba-tiba Handphone Ayu bergetar.
1 Pesan Singkat
Kalimat singkat itu terpampang jelas di layar Handphone Ayu. “Aduuuuh.. ada SMS nih. Mmm.. gue buka gak ya? Kira-kira kalok gue buka SMS ni Ayu bakalan marah gak ya ama gue? Masak sih dia marah cuma gara-gara hal sepele kayak gini? Ahhh.. gak mungkin..!! gue buka aja ahh..!!”ujar Viona dalam hati.
My HoNeY_GiO
Ayankkkk… lagi dimana tuh yank?? Aku dah di Bandung nih. Ntar malem ayank udah gak nginep di rumahnya Viona kan? Berarti ntar malem kita jadi nge-date dong..!! asiiikkk..!! aku tunggu di café biasa ya sayanggg…. I LOVE YOU mmmmuaachh….. bye..!!
Bagai tersambar petir di siang hari, tubuh Viona bergetar setekah membaca pesan singkat itu. Handphone itu pun terlepas dari tangannya. “Gio? Jadi selama ini Ayu SMS-an ama Gio?!! Ayu pacaran ama Gio tanpa sepengetahuan gue? Gue ngerti kenapa Ayu maksa gue buat ngelupain Gio, ternyata Ayu punya maksud lain dari semua itu. Oh tuhan, apa salahku? Kenapa sahabatku sendiri tega ngelakuin semua ini padaku? Setelah Steve di rebut oleh Tia, sekarang Gio pun berhasil di rebut oleh Ayu. Alangkah baiknya kedua sahabatku itu..!!Tuhan, apakah ini semacam kutukan untukku karna telah menyia-nyiakan orang yang benar-benar mencintaiku dulu??!! Maafkan aku tuhan…masihkah kau membukakan pintu maaf itu untuk hambamu ini??”itulah pinta sekaligus tanya Viona dalam hatinya yang telah hancur. Matanya memanas. Sungai kecil tampak mengalir di pipi mulusnya. Tia kaget melihat sahabatnya yang tiba-tiba menangis histeris.
“Viona , lo kenapa?”tanya Tia khawatir.
Tak ada sepatah kata pun yang mampu terucap dari bibirnya. Dadanya sesak dan tubuhnya pun lemas melihat Ayu yang kini berdiri di sampingnya.
“Lhoh?? Viona? Lo kok nangis? Kenapa?” tanya Ayu kebingungan.
“Maafin gue ya Yu. Gue udah lancang ngebaca SMS lo barusan. Lo mau kan maafin gue? Lo gak marah kan ama gue?”tanya Viona sambil menangis.
“Maksud lo? SMS dari sapa Vi??”tanya Ayu sambil meraih Handphone-nya yang tergeletak di lantai.
“Selamet yah. Lo udah jadian ama Gio. Gue turut bahagia.Gue….. gue titip cinta gue buat Gio ke lo ya Yu. Jagain dia baik-baik. Jangan pernah lo nyakitin dia. Gue gak mau dia sakit gara-gara cinta lagi Yu. Gue percaya, lo lebih paham arti mencintai dan dicintai, lo lebih bisa menghargai dan mengerti, lo lebih, lebih, dan lebih baik dari gue. Dan gue harap, cinta lo ke Gio lebih besar daripada cinta gue ke dia…”
Tak henti-hentinya Viona menangis. Tia yang dari tadi hanya terdiam pun akhirnya mengerti apa yang menjadi pokok permasalahannya sekarang. Sebenarnya Tia telah mengetahui semua itu sejak lama, tepatnya sejak sebulan yang lalu saat Gio dan Ayu memutuskan untuk pacaran diam-diam. Gio lah yang menceritakan semua itu padanya. Namun Tia menyembunyikannya dari Viona dan menunggu saat yang tepat untuk memberitahukan semuanya.
“Viona, maafin gue yang udah ngerahsiain ini dari lo. Gue cuma nunggu waktu yang tepat buat ngungkapin semuanya. Maafin gue..”kata Tia sambil memegang tangan Viona.
“Gue juga pengen minta maaf ama lo Vi. Maaf gue udah ngerampas Gio dari lo. Ini semua karna gue juga sayang ama dia…!! mungkin rasa sayang gue sama besarnya ama rasa sayang lo ke Gio…”
“Ayu..!! jangan pernah bilang “MUNGKIN”…!! Lo harus yakin kalok rasa sayang lo tu sama besarnya ama rasa sayang gue ke dia. Please Yu…. Gue pengen liat Gio bahagia ama orang yang dia cintai. Gue percaya ama lo…!! Dan sekarang gue sadar, cinta tak harus memiliki..!!! gue ikhlas asalkan kalian bahagia…. Gue ikhlas….!!”
Bibir Viona mengukir senyum pahit. Mereka bertiga pun berpelukan. Kata orang, persahabatan itu lebih berharga dari apapun. Benar atau tidaknya entahlah… Walaupun hati Viona telah hancur berkeping-keping, tapi dia tidak akan menunjukkannya pada Tia dan Ayu, bahkan mungkin orang lain. Baginya, kebahagiaan boleh di bagi, tetapi kesedihan cukup di pendam sendiri. Sungguh prinsip yang aneh namun tetap di terapkannya. “Gio, tujuh bulan gue nunggu lo dan ternyata gak ada yang bisa gue dapetin dari lo. Apa butuh waktu tujuh tahun buat lo sadar betapa besarnya rasa cinta gue ke lo??? Atau mungkin sampe gak ada waktu yang tersisa buat gue bilang kalok gue cinta ama lo.. Gue janji, cinta ini hanya buat lo walaupun cinta lo gak bakalan pernah buat gue….!! Gue ikhlas demi kebahagiaan lo..!!”

Jika kebahagiaannya bukan aku yang pantas persembahkan,
Ikhlasku penuh kan merelakannya,
Jika cintaku hanya teteskan air matanya,
Mungkin dengan air mataku dia bisa mengukir senyuman,
Tak mengapa asal dia bahagia,
Tak peduli apakah aku terluka,
karena hanya dengan tawanya,
Aku merasa sedikit bermakna,
Walaupun baginya,
Aku bukanlah apa-apa,
Aku bukan siapa-siapa….
Lanjutkan=>

AKU SAYANG KAMU Karya Nurzila Binti Sahir

Tombol bel dipencet berkali-kali. Namun belum ada tanda-tanda orang yang akan membukakan pintu. Bocah lelaki itu tak mau menyerah. Dia tetap memencet tombol bel itu dengan bersemangat.
“Braaaaakkk…!!!”pintu terbuka.
Tampak seorang gadis tinggi berambut panjang berdiri di balik pintu. Gadis yang kira-kira berumur 17 tahun itu mengenakan t-shirt berwarna pink dan celana pendek berwarna hitam di atas lutut. Mata sipitnya menatap tajam ke arah bocah berpakaian lusuh di hadapannya.
“Kamu lagi, kamu lagi..!! kenapa sih kamu tu gak bosen-bosennya ke rumah aku tiep hari? Sapa sih yang nyuruh kamu?”
“He..he… seperti biasa mbak Bella, saya ke sini mau nganterin bunga lagi.”jawab bocah itu sambil menunjukkan bunga mawar putih yang disembunyikannya di balik punggung.
“Bunga lagi, bunga lagi. Udah 3 minggu kamu datang ke sini, dan udah 3 minggu juga kamu bawain aku bunga. Sekarang aku tanya, sapa yang nyuruh kamu ngelakuin semua ni?”
“Anu mbak,, mmmm,,, ituu,,,anuu,,,”kata bocah itu dengan gugup dan wajah kebingungan.
“Anu itu, anu itu, S I A P A??”
“Aduuuuh mbak, mas itu gak mau kalok saya kasi tau tentang dia ke mbak. Tugas saya kan cuma nganterin bunga ini. Mbak bella, bunganya di ambil dong.”kata bocah itu sambil mengacungkan bunga itu kepada Bella.
“Huhh,, ya udah, aku ambil bunganya. Sekarang kamu cepat pergi. Kalok bisa, gak usah ke sini lagi buat nganterin aku bunga. Ngerti?!”ujar Bella sambil mengambil bunga itu.
“Siiip dah mbak. Permisi…”
Bella menutup pintu setelah memastikan bocah itu telah lenyap dari sekitar rumahnya.
Seribu tanya kembali menghantuinya. Siapakah “Mas” yang dimaksudkan oleh bocah itu? Mengapa “Mas” itu mengiriminya bunga mawar setiap hari? Seperti biasa, selembar kertas terselip di balik bunga itu. Bella sudah bisa menebak isi dari surat itu tanpa harus membuka atau membacanya.
“Bella, aku pengen ketemu sama kamu sebelum waktu itu kan menjemputku… dan aku pengen bilang kalok aku…. CINTA KAMU BELLA.”
Bella melempar surat beserta bunga itu ke dalam bak sampah kemudian menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. “Siapa? Kenapa?” tanyanya dalam hati. Pertanyaan semacam itu setiap hari terbersit di dalam benaknya. Bella mulai bosan untuk memikirkan jawaban dari setiap pertanyaan itu.
“Tok..Tok..Tok….”
“Non Bella…?”ujar Bik Atik di balik pintu.
“Ya Bik, ada apa?”
“Ada mas Randa di bawah.”
“Ooo.. ya Bik. Saya ke bawah bentar lagi.”
Randa, kekasih Bella yang menurut orang-orang di sekitarnya adalah lelaki tertampan seantero Jakarta. Tubuhnya tinggi, kulitnya bersih, penampilannya rapi namun tetap gaul. Randa juga dikenal dengan julukan “The Steller Heart”. Kenapa? Karena dia memang ahli dalam hal mencuri hati para wanita.
Siang itu Randa mengenakan kemeja putih dan celana Levis bermerek andalannya. Dia kelihatan sangat tampan.
“Hey sayang…”sapa Randa sambil mencium kedua pipi lembut Bella.
“Kok gak bilang-bilang sih kalok mau dateng…?”tanya Bella setelah duduk berdekatan dengan Randa.
“Surprise aja sayang. Mmmm…papa mama kamu mana sayang?”
“Mama lagi ngumpul ama temen-temen arisannya. Kalok papa sih masih di Australi ngurusin bisnis.”
“Ooo… berarti kamu di sini cuma berdua ama Bik Atik dong..?”
“Ya iyalah sayangku. Mau sama sapa lagi cobak? Aku kan anak sematawayang.”
“Hmmm… ya juga sih.”kata Randa singkat sambil mencium pipi Bella.
“Duuhh sayang, kamu kenapa sih?”tanya Bella yang mulai risih dengan perlakuan kekasihnya itu.
“Gak ada sayang. Aku cuma kangen aja ama kamu.”
“Oh.. kirain kamu kenapa-kenapa tadi. Oh ya, aku sampe lupa. Kamu mau minum apa sayang?”
“Aku gak haus sayang. Soalnya ada kamu di deket aku sekarang. I LOVE YOU..” kata Randa sambil berbisik di daun telinga Bella.
“I LOVE YOU TOO..”
Mereka bertatapan. Tatapan yang semakin mendekat, sehingga tak ada lagi yang mampu di tatap oleh Bella. Matanya terpejam tatkala bibirnya bersentuhan dengan bibir Randa. Dan untuk kesekian kalinya mereka berdua melakukan adegan mesra itu.
Pagi yang hening. Seperti biasa bel pintu rumah Bella berbunyi. Bella membuka pintu dan……
“Mbak, ini bunga mawarnya. Tapi hari ini ada yang beda mbak. Bunganya bukan mawar putih, tapi mawar merah.”kata bocah itu cengengesan.
“Oh ya. Makasi.”jawab Bella dengan ketus sambil mengambil bunga itu.
Bocah itu pun pergi. Bella pun menutup pintu kemudian membaca surat yang terselip di bunga itu.
“Bella, hari ini aku kasi kamu mawar merah. Kamu mau tau kenapa? Karena ini bunga terakhir dari aku Bel. Tapi kamu tenang aja, cintaku ama kamu gak akan pernah berakhir kok. Untuk ngebuktiinnya, aku tunngu kamu jam 6 sore di taman kota. Aku tunggu ya Bel.. I LOVE YOU..”
“Haaaa? Bunga terakhir? Syukurlah…. Akhirnya dia ngajak ketemuan juga. Mmmm…. Jadi tambah penasaran, sapa sih dia?”ujar Bella sendirian.
Liburan semester ini kegiatan Bella boleh dikatakan amat membosankan. Teman-temannya yang lain sedang asyik menikmati liburan di Bali, sedangkan dia hanya menghabiskan waktu dengan menonton televisi di rumah. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul 5.27 sore. Bella duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangnya. Dia kelihatan sangat cantik dengan sweater ungunya dan rok mini berwarna putih itu. Beberapa jepit lucu menghiasi kepalanya. Diapun menggunakan beberapa aksesoris lainnya seperti kalung, gelang dan jam tangan. Di bandingkan dengan anak gadis lain, penampilan Bella memang lebih sederhana namun tetap menarik. Dia tidak suka berpenampilan over atau lebay dalam bahasa gaulnya. Setelah menyemprotkan parfum di tubuh, Bella pun berangkat dengan mobil Jazz merah miliknya menuju ke taman kota.
Taman kota sore itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang menghabiskan waktu sorenya di sana. Mata Bella tertuju pada sebuah kolam yang terbentang di hadapannya. Puluhan bahkan mungkin ratusan bunga teratai tumbuh di kolam itu. Sungguh pemandangan yang indah.
“Hay Bella..”sapa seseorang dari belakang.
“Nahhhh… ini dia waktu yang aku tunggu-tunggu. Akhirnya aku bisa ngeliat orang yang ngirimin aku bunga tiep hari itu sekarang. Aduuuu… kok aku deg-degan ya..? Mmmm.. tarik nafas….lepassss.. tarik lagi…lepasss… huuuuhh… Aku hitung mundur ahhh…. 5, 4, 3, 2, 1….”ujar Bella dalam hati.
Bella menoleh. Alangkah terkejutnya Bella ketika melihat lelaki itu. Mata Bella terbelalak. Yang dilihatnya adalah seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda. Wajah lelaki itu pucat pasi, bibirnya kering dan pecah-pecah. Sesekali bibir itu dipaksa untuk mengulum senyum. Senyuman yang amat pahit di mata Bella. Rambut? Tidak ada. Tidak ada sehelai rambut pun yang tumbuh di kepalanya. Menyedihkan. Tubuh lelaki itu seakan lentur, lemah dan tak berdaya. Apa yang menimpanya?
“Riko….?!!”ujar Bella.
“Ya, ini aku Bel.”
“Kamu…. Kamu kenapa Rik??”
Bella melangkah perlahan mendekati lelaki itu. Dia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menampakkan garis kekecewaan di wajahnya.
“Aku gak apa-apa kok Bel. Cuma kurang sehat. Kamu apa kabar Bel..?”
“Mmmm..aku…aku baik-baik aja Rik.”
“Syukurlah kamu baik-baik aja. Aku bahagia ngedengernya.”
Bella berlutut di hadapan kursi roda Riko. Matanya tak henti-henti memperhetikan lelaki di hadapannya itu. Sedih. Itulah yang dirasakan oleh Bella saat itu.
“Kenapa Bel? Kok kamu ngeliatnya kayak gitu?”
“Gak. Aku cuma…cuma agak kaget.”
“Ooo…”
“Rik, aku boleh nanya sesuatu gak?”
“Tanya aja Bel…”
“Apa maksud kamu ngirimin aku bunga mawar tiep hari??”
“Mmmm..bukannya itu yang kamu mau Bel..??”
“Maksud kamu??”
“Inget gak waktu kita masih kecil? Waktu kita main di halaman rumah kamu..”
Pikiran Bella melayang ke masa lalu. Bella teringat saat ketika dia dan Riko masih berumur 9 tahun.
“Bel, kalok kamu udah besar nanti, kamu mau cari pacar yang gimana?”tanya Riko sambil memainkan robot-robotan di tangannya.
“Idiiihhh…pertanyaan kamu aneh deh Rik. Kita kan masih kecil, kok dah ngomongin pacar sih. Ntar mama marah lho.”
“Aduuuhh.. Bel, aku kan cuma iseng. Masak gak boleh? Emang kalok kamu dah besar, kamu gak mau punya pacar?”
“Pengen sih Rik. Mmmm… aku pengen punya pacar yang……..Mmmmm… yang kayak Ariel Peterpan. Hehehe…”
“Iiiihh Bella, aku serius nih..”
“Oooo.. Riko lagi serius ya?? Okelaaa kalok begitu. Mmmm.. aku pengen punya pacar yang macho, baik, setia, terussss….Mmmm.. bisa kasi aku bunga mawar tiep hari.”
“Haaaa..? tiep hari? Yang bener aja.. bisa-bisa populasi bunga mawar di Jakarta langka dong gara-gara kamu.”
“Bodo…”
Riko termenung seketika. Matanya melirik ke arah Bella yang sedang asyik memainkan boneka barbienya.
“Riko…”
“Ya Bel..”
“Kalok kamu mau punya pacar yang gimana?”
“Mmmm… gak ribet. Yang kayak kamu aja deh..hehe”
“Uuuu..dasarrr..!!”
“Biarin…. Weeeekkk…”
Mereka berlari berkejaran. Halaman rumah Bella yang sangat luas merupakan tempat bermain yang paling strategis untuk mereka.

Kenangan itu buram seketika. Bella kembali menatap mata Riko di hadapannya.
“Udah inget Bel??”
“Ya, tapi..tapi itukan dulu Rik. Kita masih anak-anak.”
“Dulu atau sekarang bagiku gak ada bedanya Bel. Aku tetep aja sayang ama kamu.”
“Tapi kenapa kamu ninggalin aku waktu itu Rik??”
Pikiran Bella kembali menerobos masa lalu, ketika dia dan Riko masih duduk dibangku kelas 3 SMP.
“Bel, aku mau pergi..” kata Riko yang kebetulan duduk di sebelah Bella.
Bella sedang asyik membaca novel kesayangan. Dia tetap membaca tanpa menoleh sedikitpun ke arah Riko.
“Mau ke mana?”tanya Bella singkat.
“Jauh. Aku gak tau nama tempatnya. Lupa.”
“Kenapa?”
“Soalnya aku benci ama kamu Bel..!!! bisa gak kamu tu perhatiin aku yang lagi ngomong..?!!”
Bella menutup novelnya. Dia menatap wajah sahabatnya itu dengan tajam.
“Trusss..?”kata Bella.
“Pokoknya aku benci ama kamu Bel…!!”
“Lho? Kok gitu? Emang salah aku apa? Masak cuma gara-gara aku gak merhatiin kamu ngomong?”
“Bukan. Bukan itu alesannya.”
“So…?”
“Gara-gara kamu pacaran ama Todi..!!”
“Emang salah ya kalok aku pacaran? Temen-temen kita yang lain juga dah pada pacaran kan??”
Bella menatap ke arah teman-teman sekelasnya yang sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Kemudian matanya kembali menatap Riko.
“Salah. Salah besar bel. Aku gak suka liat kamu pacaran, apalagi ama Todi. Aku gak sudi..!! pokoknya kamu gak boleh pacaran ama Todi jelek itu. Ngerti..?!”bentak Riko sambil mengacungkan tangannya di depan wajah Bella.
“Kok kamu malah marah-marahin aku sih Rik?? Apa hak kamu buat marah ama aku. Papa mama aku aja gak pernah bentak aku kayak gitu…”
Bella menangis tersedu-sedu. Dia tidak menyangka bahwa Riko tega membentaknya seperti itu. Riko menjadi panic.
“Aduuuh Bel… maafin aku ya.. aku cuma canda kok .. maaf ya..”
“Gak mau. Kamu dah keterlaluan Rik. Kamu jahat. Aku benci ama kamu. Benci..!!”
“Bel.. please.. aku minta maaf. Aku janji gak bakalan marah-marah kayak gitu lagi. Maafin aku ya. Lagipula, aku kan mau pergi Bel, masak kamu gak mau maafin aku?”
“Terserah. Pergi sana. Aku gak peduli. Mampus-mampus sana. Aku benci ama kamu. Pergii….!!!!!”
Bella mendorong tubuh Riko hingga terjatuh. Suasana kelas yang riuh menjadi hening. Semua memperhatikan kejadian itu dengan wajah terheran-heran.
“Bel, aku mohon. Jangan marah-marah kayak gitu dong ama aku. Aku khilaf bel. Maafin aku ya.
Riko mengusap darah yang tiba-tiba keluar dari hidungnya. Mungkin gara-gara terbentur di meja ketika dia terjatuh tadi.
“Gakkkkkkkkkkkk…!!!!!!! Pergi kamu…!!!”
Pandangan Riko tiba-tiba buram. Perlahan-lahan matanya tertutup. Gelap.
Bella tersadar dari lamunannya. Riko masih duduk terdiam di atas kursi rodanya.
“Maafin aku Rik….”kata Bella sambil menunduk menangis
“Jangan nangis Bel. Aku gak mau liat kamu nangis. Kamu gak salah apa-apa kok. Aku yang salah. Aku minta maaf ya Bel.”pinta Riko sambil mengusap air mata Bella.
“Aku yang harus minta maaf Rik, bukan kamu..”
“Kan aku udah bilang, kamu gak salah apa-apa Bel, aku yang salah. Seharusnya aku sadar, aku gak berhak buat marah-marahin kamu, bahkan sampe ngatur-ngatur kamu. Aku kan cuma sahabat kamu Bel. Kamu boleh pacaran ama sapa aja, yang penting kamu bahagia. Tapi jujur Bel, aku selalu menangis di atas kebahagiaan kamu ama Todi dulu, bahkan sampai sekarang, aku masih menangis di atas kebahagiaan kamu ama Randa. Aku bukan sahabat yang baik ya Bel..??!”
Air mata Riko bercucuran. Dengan cepat Riko mengusap air matanya. Dan sekali lagi, senyum palsu itu terukir di bibirnya.
“Kamu kenal Randa?”
“Ya, aku kenal Randa. Bahkan Marco selingkuhan kamu tu.”
“……..”Bella terdiam.
“Aku tau dari Bik Atik. Aku selalu tanya tentang kamu di Bik Atik. Hehe..lucu ya..?”
Riko tertawa pedih. Telinga Bella tak sanggup mendengar tawa sahabatnya itu. Bella kembali menangis.
“Sehari sebelum aku pergi, aku ke rumah kamu Bel. Aku nyariin kamu. Tapi Bik Atik bilang kalok kamu gak mau ketemu ama kau lagi. Padahal, aku udah bela-belain kabur dari rumah sakit cuma buat ketemu ama kamu Bel.”
“Maaf Rik….”kata Bella tersedu-sedu.
“Dokter memvonis aku mengidap kanker otak. Jadi waktu hidungku berdarah di sekolah itu bukan gara-gara kebentur meja, tapi emang aku udah penyakitan Bel..”
“Tuhan,,, katakan ini hanya mimpi. Mimpi buruk ya tuhan…”pinta Bella dalam hati.
“Oh ya, aku lupa cerita. Waktu Bik Atik gak ngizinin aku ketemu ama kamu tu aku langsung pingsan Bel. Pingsan lagi, pingsan lagi. Untung kamu gak ngeliat aku waktu itu, kalok gak kamu pasti ngejekin aku banci. Kamu kan paling hobi ngejekin aku banci gara-gara aku gak bias kecapek’an. He ..he.. Lucu ya Bel..?! seandainya aja kamu tau tentang penyakit aku ini dari dulu, kira-kira kamu bakalan tetep ngejekin aku banci gak ya???”kata riko sambil menahan tangis.
“Stop Rik.. aku mohon stop…!!”jerit Bella tak tahan.
“Kenapa Bel? Ceritaku kan belum selesai..”tanya Riko sambil menangis.
“Kenapa kamu baru cerita sekarang Rik? Kenapa kamu ngebohongin aku selama ini?? Kenapa??”
“………” Riko terdiam. Dia terus menangis.
“Jawab Rik…!”
“Karna aku sayang kamu Bel…”
“Apa??’
“Karna aku sayang kamu Bella….!! Aku mau bilang kalok aku sayang kamu sebelum aku pergi ke Amerika, tapi kamu dah terlanjur benci ama aku. Bahkan waktu itu kamu udah gak mau ketemu lagi ama aku..!! aku gak tau mau ngapain lagi Bel..”
“Kalok kamu sayang ama aku, kenapa kamu ninggalin aku ke Amerika??!!! Apa itu caranya buat nunjukin rasa sayang kamu ke aku..??!!”
“Karna aku pengen sembuh Bel. Karna aku pengen berobat ke Amerika, aku pengen sehat, aku pengen maen-maen lagi ama kamu, aku pengen ngedengerin curhatan kamu, aku pengen nemenin kamu shopping, aku pengen ngejagain kamu, aku pengen ngejahilin kamu, aku pengen ngelakuin apa pun buat kamu Bel…!!! Apapun..!!”
“………”Bella menangis terdiam.
“Sekarang, kamu udah tau semuanya. Kamu juga udah tau kalok aku sayang banget ama kamu. Aku gak butuh jawaban atau balasan apapun dari kamu Bel. Aku cuma pengen kamu tau perasaan aku, itu aja udah cukup buat aku. Tapi, ada satu hal yang aku minta dari kamu Bel…”
“Apa…?”
“Maafin aku…”
Darah mengalir dari hidung Riko. Bella terkejut dan ingin mengusap darah itu, namun Riko menahan tangannya.
“Udah biasa Bel. Jangan panic..”
“Tapi Rik…”
“Udaaahhh.. tenang aja, bentar lagi darahnya berenti kok. Gimana? Apa kamu mau maafin aku??”
“Ya Rik. Aku maafin kamu kok. Yang harusnya minta maaf kan aku. Aku yang salah banyak ama kamu Rik. Aku gak tau kalok kamu….”
Belum selesai Bella menghabiskan kata-katanya, tiba-tiba Riko memeluk tubuhnya dengan erat. Bella yang masih dalam posisi berlutut langsung terpaku seketika. Dia dapat merasakan betapa rapuhnya tubuh yang sedang memeluknya itu. Terdengar tangis Riko yang memilukan.
“Aku sayang kamu Bel..”
“Aku juga Rik.. aku sayang kamu.”
Mereka berdua menangis dalam pelukan. Sinar mentari perlahan-lahan tertutup oleh awan hitam yang datang berarakan. Burung-burung berkicau riuh di atas pepohonan. Dedaunan seakan menari-nari dengan angin yang berjalan. Bunga-bunga mekar pun menampakkan sinar cinta di setiap kelopaknya. Alangkah tenangnya hati kedua insan itu.
“Rik..Riko..?”
Bella melepaskankan pelukannya ketika merasakan suhu tubuh Riko semakin dingin. Mata Riko terpejam. Wajahnya tenang dan seakan tersenyum. Tapi kali ini senyuman Riko terlihat sangat manis dan tulus. Bella kembali memeluk jasad Riko dan menangis.
“Selamat jalan Riko. Selamat jalan sahabatku. Aku sayang kamu…”
Bella terus menangis sambil memeluk tubuh kaku itu. Dia pergi. Riko telah pergi menuju kehidupan yang abadi di sana. Awan hitam mengiringnya bertemu sang pencipta. Langit turut bersedih dan menjatuh tetes-tetes kesedihannya. Sungguh, tak ada yang abadi di dunia ini. Namun Bella yakin, rasa sayangnya ke Riko akan selalu abadi dan tak kan pernah mati.
SELAMAT JALAN RIKO
Lanjutkan=>
BUAT TEMAN-TEMAN SEMASA SMAKU, AKU MENCINTAI KALIAN.