Minggu, 08 Mei 2011

CERPEN "FEBRY" KARYA NURZILLA

TENTANG FEBRY

Pagi itu seperti biasa aku bersama Septi berjalan beriringan menuju ke sekolah. Udara desa Janapria di pagi hari benar-benar membuat bibirku tak henti-hentinya mengukir senyuman. Sesekali kulirik Septi yang sedari tadi memonyongkan bibirnya. Sepertinya dia masih marah besar dengan keputusan Mamak untuk menjodohkannya dengan anak Kepala Desa yang playboy itu. Aku mencoba menggoda kakakku dengan mencubit bahu kirinya dengan harapan dia akan tersenyum. Ternyata dugaanku salah, dia malah melemparkan kerlingan tajam ke arahku. Aku mati gaya dan spontan membuang pandangan ke hamparan sawah yang terbentang di kiri dan kanan jalan. Tampak banyak tanaman palawija warga yang tumbuh dengan subur. Butuh waktu kurang-lebih 20 menit untuk sampai di sekolah, dan selama 20 menit itu juga aku dan Septi membisu seribu bahasa.
Namaku Baiq Febri Wulandari. Terlahir dari sebuah keluarga keturunan bangsawan Selaparang yang tinggal di desa Janapria. Almarhum mamiqku bernama Lalu Yudha Pratama, sedangkan mamakku bernama Lilis Muliati. Aku memiliki seorang kakak perempuan bernama Septi Arumi. Kami bersekolah di sekolah yang sama bahkan kelas yang sama. Opsss... jangan salah. Aku dan Septi bukanlah saudara kembar. Septi adalah kakak tiriku. Mamaknya yang kebetulan orang jawa dan bukan keturunan bangsawan Lombok telah bercerai dengan suaminya, kemudian menikah dengan mamiqku yang kebetulan sedang menduda. Mamak kandungku bernama Baiq Sekar Wulansari telah menghadap Sang Maha Kuasa semenjak aku duduk di bangku SD dulu. Bertahun-tahun mamiqku dibelenggu kesepian hingga akhirnya beliau berjumpa dengan sesosok wanita bernama Lilis Muliati dari Jawa Timur. Mereka pun memutuskan untuk menikah. Setelah membangun rumah tangga selama lima tahun, mamiqku meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas saat ingin mengambil rapotku dan Septi di sekolah.
Air mataku mengalir begitu saja tatkala mengingat kejadian dua tahun yang lalu itu. Kejadian ketika aku dan Septi masih sama-sama menduduki bangku kelas X SMA. Miq, Mak, tiang kangen. Tiang kepengen peluk Mamiq sama Mamak. Mamiq sama Mamak sedang apa di sana? rintihku dalam hati. Suasana hiruk pikuk dan suara sound yang berdentum keras dengan lagu Avenged Sevenfold tak sedikitpun membuatku bergeming dari rasa kerinduan dan kesepian. Kelas XII BAHASA 2, yaitu kelasku ini memang selalu seperti itu ketika ada guru yang tidak masuk mengajar. Sedangkan di pojok kelas, tampak Septi yang sedang mengecat kuku jari-jemarinya yang lentik sambil di temani dengan geng gosipnya.
“Febri...!”
Aku tersentak. Suara itu seketika membuyarkan lamunan akan kedua orang tuaku. Aku celingak-celinguk mencari sumber suara yang memanggil namaku tadi. Ternyata Roby, wakilku sebagai ketua osis di SMAN 4 Janapria.
“Eh, Bu ketua OSIS. Maksud kamu apa ngirim SMS kayak gitu tadi malem?” bentak Roby tiba-tiba.
Suasana kelas menjadi beku dan aku pun membatu. Tidak ada yang bersuara dan melakukan aktivitas lain selain menyaksikan aku dan Roby.
“SMS yang mana maksud kamu?”tanyaku dengan memasang wajah santai.
“Ini..!! aku bacain sekarang..!” kata Roby sambil mengeluarkan ponsel Blackberry mahalnya.
Aku pun kembali membatu. Tetapi mataku dengan lincah memperhatikan gerak-gerik lelaki tampan di hadapanku itu. Beberapa saat kemudian Roby pun bersuara.
“Kepada wakilku terhormat, harap untuk lebih disiplin dalam menjalankan tanggungjawab Anda sebagai wakil ketua OSIS. Karena jika tidak, saya mempunyai wewenang untuk melaporkan Anda ke pembina OSIS. Terima kasih”
Roby menutup ponselnya kemudian menatap mataku tajam seolah ingin menerkam. Lagi dan lagi aku memasang wajah santai walaupun sebenarnya aku sangat ketakutan. Roby maju tiga langkah sehingga wajahnya tinggal beberapa senti jaraknya dengan wajahku.
“Oh.. SMS itu maksud kamu. Ya, aku memang sengaja ngirim SMS itu ke kamu, sebagai teguran aja kok. Soalnya kalok aku perhati’in, kamu makin males buat ngerjain kewajiban-kewajiban kamu. Kenapa? Apa gara-gara kamu masih belum bisa nerima aku sebagai ketua OSIS sedangkan kamu jadi wakilnya? Aku rasa itu bukan suatu masalah yang harus selalu kamu permasalahin dan kamu perdebatin ama aku. Intinya kita kan ada dalam sebuah organisasi yang sama, mempunyai visi dan misi yang sama dan mempunyai tugas yang sama. Jadi, aku harap kita bisa bersama-sama untuk ngejalanin kewajiban dan tugas-tugas kita itu.”
“Enggak! Sampe kapan pun aku gak mau kerja sama ama kamu, apalagi jadi wakil kamu! Mau ditaruh di mana muka aku? Masak cewek yang jadi ketua sedangkan cowok jadi wakilnya? Gak kebalik tu?! Derajat cowok kan lebih tinggi daripada cewek...! Hahaha.. lagipula, emangnya kamu bisa apa dalam organisasi ini? Palingan juga ngabisin uang kas OSIS buat beli jajan terus jalan-jalan ke pasar malem, ya kan?! Aku akuin kamu pinter dan selalu dapet peringkat tiga besar di kelas, tapi aku juga akuin kalok kamu tu lebih pinter cari muka di depan para pembina OSIS dan temen-temen yang lain, sampe-sampe kamu yang kepilih jadi ketua OSIS, bukan aku!! Bravo..!! hebat non..!! hahaha...”
Suasana kelas yang semulanya hening menjadi agak riuh. Sepertinya ada pihak yang pro dan kontra terhadap kata-kata Roby itu. Sedangkan Septi tetap di posisi awalnya dan tak bergeming sedikit pun. Aku lemah melihat perlakuannya. Jujur, di saat-saat seperti ini aku benar-benar membutuhkan dia untuk membelaku. Tapi sayang, itu takkan mungkin terjadi. Aku menghela nafas panjang dan menghipnotis diriku sendiri untuk tidak gentar apalagi meneteskan air mata. Kukumpulkan kekuatan melalui doa yang kubaca dalam hati hingga akhirnya aku pun kembali bersuara.
“Oh... ternyata kamu benar-benar belum bisa menghargai aku sebagai ketuanya. Heran. Kok ada ya cowok yang seegois dan seangkuh kamu di dunia ini. Kamu kira mentang-mentang aku cewek lantas aku gak bisa berbuat apa-apa? Gak bisa bertanggungjawab? Gak bisa lebih baik dari kamu? Oh... jangan salah!! Maaf, aku gak bermaksud buat sombong, tapi kenyataannya aku memang lebih baik dari kamu yang cuma bisa ngabisin duit orang tua buat foya-foya ama koleksi cewek kamu! Kamu kaya, pinter, keren, tapi sayang kamu gak bisa memanfaatkan karunia tuhan itu dengan baik. Hati kamu terlalu keras buat menghargai orang-orang di sekitar kamu. Hati kamu terlalu keras sampe-sampe menyakiti diri kamu sendiri!”
Aku berbicara panjang lebar dengan intonasi yang tetap tenang. Kutatap Roby yang masih berdiri tegak di hadapanku. Dia tak terusik sedikit pun dengan kata-kataku tadi. Bibirnya malah mengukir sebuah senyuman sinis yang mengiris hatiku. Beberapa saat kemudian tawanya membelah keheningan kelas.
“Hahaha..... tau apa kamu dengan hidup aku? Jangan sok tau kamu jadi cewek! Walaupun kita udah bareng kelas selama kurang-lebih tiga tahun, aku gak pernah mau tau semua tentang kamu, hidup kamu!! Tapi aku gak nyangka, kamu bisa sok tau tentang masalah hidup aku! Hahaha..... cewek lembek kayak kamu jangan sok mau ikut campur urusan aku deh. Satu lagi, jangan coba-coba kamu nyuruh aku buat respect ama kamu! Gak bakalan..!!”
“Roby!! Kalok kamu emang gak bisa respect ama aku, fine..!! aku gak apa-apa. tapi kita udah disumpah buat ngelaksanain tanggung jawab kita dalam OSIS selama setahun ke depan!! Aku mohon banget ama kamu, please.... aku minta kerja sama kamu Roby..”
“Whatever......!!! hahahaha....”
Roby tertawa sendirian. Suaranya bagaikan panah panas yang menembus genderang telingaku. Seketika bulir air mataku jatuh juga. Hatiku sakit, bahkan teramat sakit untuk menghadapi sosok pria yang keras di hadapanku itu. Aku pun menyeka air mataku sebelum terlihat oleh Roby.
“Roby, kamu perlakuin aku seolah-olah kamu bukan terlahir dari rahim seorang perempuan. Seolah-olah kamu hidup di dunia ini bukan karena kasih-sayang seorang perempuan. Dulu kamu pernah bilang ke aku, perempuan itu sesuatu yang berharga dan harus dijaga. ‘Perempuan tercipta bukan dari ubun-ubun seorang laki-laki untuk dipuja dan dipuji, bukan pula dari telapak kaki untuk dihina dan dicaci maki, tetapi perempuan tercipta dari rusuk kiri yang dekat dengan tangan untuk dilindungi, dekat dengan hati untuk disayangi dan dicintai.’ Apa kamu udah lupa ama kata-kata kamu sendiri? Apa kamu perlakuin mamak kamu kayak gini juga?”
Roby berhenti tertawa. Dia memasang wajah garangnya lagi. Kali ini tatapannya semakin menakutkan. Aku mengenggam kedua tanganku dengan erat sebagai upaya menghilangkan rasa takut. Sedangkan mataku tetap tenang bak air sungai yang tak beriak. Kutatap mata Roby dalam-dalam, mencoba membaca semua rahasia jiwanya, menembus otak dan relung hatinya. Aku tau, Roby memiliki sisi lain yang tak pernah dia tampakkan akhir-akihi ini. Dan aku akan terus berusaha untuk mengeluarkan sisi aslinya itu. Beberapa saat kemudian, dahi Roby berkerut, tatapan matanya perlahan-lahan semakin melembut. Aku meraih tangannya. Dia tak melawan dan tetap membisu menatap mataku.
“Aku kenal kamu lebih dari tiga tahun. Kita saling kenal sejak kecil Roby. Hanya saja kita baru bareng kelas selama kurang-lebih tiga tahun terakhir ini. Aku tau, ini bukan Lalu Roby Kurniawan. Ini sisi Roby yang masih terguncang gara-gara ditinggalkan mamiqnya tiga tahun yang lalu. Kamu sulit buat percaya ama cewek, karena ibu kamu yang ngerusak kepercayaan almarhum mamiq kamu kan? Mamak kamu pasti punya alasan tersendiri Roby, aku yakin mamak kamu sangat nyesel sekarang. Kenapa kamu sulit banget buat maafin mamak kamu sendiri? Kenapa harus cewek-cewek lain yang jadi tempat pembalasan dendam kamu? Termasuk aku yang selalu care ama kamu? Mamiq kamu pasti sedih ngeliat kamu kayak gini sekarang.”
Dengan intonasi rendah aku mengatakan semua itu. Roby tetap tak bergeming menatap mataku yang sedari tadi sudah basah karena meneteskan air mata. Suasana kelas masih membeku. Tak ada suara kursi dan meja yang bergeser, tak ada suara sound yang berdentum keras, tak ada suara bisik-bisik pro dan kontra, dan tak ada aroma cat kuku yang menyengat. Cat kuku? Aku teringat akan Septi yang ternyata sudah tidak ada di dalam ruangan kelas. Mataku pun liar mencari-cari sosok kakak tiriku itu. Ke mana dia bersama geng gosipnya?
“Febry....!”
Suara Roby yang lembut membuatku melupakan Septi seketika. Aku kembali menatap matanya yang benar-benar beda. Lembut, benar-benar lembut. Pancaran kasih sayang yang hilang selama tiga tahun kembali aku rasakan dalam matanya. Aku sempat sesak nafas melihat sorot matanya.
“I..iya....?” kataku tersendat-sendat.
“Menurut kamu, apa Mamakku bener-bener nyesel dengan perbuatannya?”
“Iya, pasti. Tapi aku gak tau apa alasannya. Maka dari itu, lebih baik kamu nanya baik-baik ama Mamak kamu. Selesaikan secara kekeluargaan. Bagaimanapun juga, beliau kan mamak kamu.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Yakin.”
Sifat Roby yang keras kini perlahan-lahan mulai mencair. Dia menjadi lebih lembut sekarang. Mungkin kata-kataku telah berhasil mengetuk hatinya. Roby pun menunduk seketika. Entah apa yang dipikirkan. Beberapa saat kemudian, dia mengangkat kepala dan menatapku dengan tatapan yang memancarkan kehangatan.
“Makasi.”
“Buat?”
“Semuanya..”
“Semua apa?”
Bibir Roby mengukir senyuman yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kini tangannya yang memegang tanganku. Warna pipiku merah merona bak buah delima. Dan aku hanya mampu menatapnya dengan sedikit rasa malu.
“Febry....”
“I..iya Rob..?”
“Aku gak nyangka, kalok kamu satu-satunya orang yang bener-bener kenal aku selama ini. Tiga tahun waktu yang sangat lama untuk larut dalam benci dan dendam. Aku dah ngabisin waktu selama tiga tahun buat nyakitin orang lain bahkan nyakitin diri aku sendiri. Gak pernah ada satu orang pun yang bisa ngerti aku dan jalan pikiran aku selain kamu. Aku kira, kamu udah benci ama aku. Ternyata aku salah, kamu memang sahabat sekaligus bidadari dari surga yang dikarunia Tuhan buat aku. Maafin semua kesalahan aku selama ini
ya Feb.”
“Tanpa kamu minta maaf, aku udah maafin kok Roby. Gak usah berlebihan gitu kali, aku jadi malu.”
“Cewek memang hebat. Lembut banget..! tapi dengan kelembutannya bisa meruntuhkan kerasnya hati seorang cowok...”
“Makanya, jangan ngeremehin cewek dong!”
“Maaf deh, aku kan khilaf. Hehe...”
“Hmm.... terus, gimana ama mamak kamu? Masak tiga tahun mau marahan melulu? Aku yakin mamak kamu pasti nyesel udah khianatin mamiq kamu. Percaya deh ama aku. Maafin dia ya....”
“Iya..... ntar pulang sekolah aku langsung ngomong ama mamak. Tapi ama kamu ya. Hehe.. udah tiga tahun kita kan pernah main bareng. Ntar sekalian main-main di rumah aku ya. Oya, kalok masalah jabatan di OSIS, kayaknya aku memang harus mulai belajar buat respect ama kamu deh. Cewek emang gak bisa diremehin. Cewek adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan begitu indah. Mereka begitu peka dengan keadaan di sekitarnya, lembut, penuh kasih sayang, tegar dan.......... He..”
“Stop..!! gak usah ngelantur. Lebay ah....”
“Hahaha.. sorry deh.”
“Oke dah. Mulai sekarang kita akur ya. Kita majukan sekolah bersama-sama. Dan please, stop diskriminasi kaum hawa dengan kaum adam ya. Cowok ama cewek punya hak masing-masing di dunia ini. Inget tu....!”
“Enggih Bu Ketua!! Aduh, galak banget. Bu Megawati aja lewat. He...”
“Hahaha....”
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Suasana kelas pun mencair ketika bel pulang sekolah berbunyi. Para siswa berhamburan keluar kelas untuk meninggalkan sekolah. Aku dan Roby pun berkemas untuk segara pulang. Tiba-tiba........
“Febry... Febry...!!!”
Tina tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas sambil menjerit tak karuan memanggil namaku. Aku dan Roby terkejut bersamaan.
“Ada apa Tina?” tanyaku heran.
“Septi!! Septi Feb....!” kata Tina dengan nafas turun naik.
“Kenapa? Ada apa ama Septi?”
“Dia di rumah sakit sekarang. Tadi dia ama geng gosipnya berantem di Laboratorium Kimia, trus gak tau gimana matanya kena ama cairan HCL!!”
Seketika tubuhku bergetar. Cuaca siang itu sangat terik, tapi entah mengapa aku merasa seperti ada petir yang menyambar seluruh tubuhku. Jantungku terasa berhenti berdegup, darahku berhenti mengalir, dan nadiku berhenti berdenyut. Septi, kakak tiriku sedang terbaring lemah di rumah sakit. Bagaimana keadaannya? Tuhan, semoga dia baik-baik saja di sana. Tapi apakah mungkin? Ahh.... pandanganku mulai buram. Wajah Tina dan Roby semakin memudar di hadapanku. Ruangan kelas terasa berputar dan bumi seakan membenamku jauh ke dalam. Dan akhirnya gelap, hanya kegelapan.
Satu jam, dua jam, tiga jam, dan entah berapa jam aku tak sadarkan diri. Saat aku membuka mata, aku berusaha keras untuk melihat siapa saja yang ada di ruangan bercat putih itu. Di samping kiri ada Mamak dan Roby. Sedangkan di samping kanan tak ada siapa-siapa melainkan sebuah tempat tidur dan seseorang terbaring lemah di atasnya. Mmmm... siapa dia? Tiba-tiba, tampak seorang dokter dan suster yang terburu-buru masuk ke dalam kamar tempatku terbaring. Kedua orang insan berjasa yang memakai seragam putih bersih itu menatapku seraya memberikan sebuah senyuman. Aku membalasnya lemah.
“Sukurlah kamu sudah sadar. Bagaimana perasaan kamu Febry?” tanya dokter Azmi yang sudah kukenal sejak SMP itu.
“Alhamdulillah baik.”jawabku singkat.
“Febry...”
Suara lembut Roby mengalihkan tatapanku yang semula terpaku oleh keramahan senyum Dokter Azmi. Aku menatap Roby yang tampak sangat gusar. Bibirku mengukir senyum yang agak dipaksa.
“Kamu sakit apa Feb? Kenapa gak pernah cerita ama aku? Tadi waktu kamu pingsan,
hidung kamu ngeluarin darah banyak banget.”
“Kamu tenang aja Rob, aku cuma panas dalam kok. Bentar lagi juga sembuh. Maafin aku ya, aku gak pernah cerita ama kamu. Abisnya kita kan diem-dieman selama ini. he..”
Lagi-lagi kupaksa bibirku untuk tersenyum dan tertawa. Sebenarnya, aku menahan sakit yang teramat sangat di kepalaku. Sakit yang seolah-olah mengoyak-ngoyak benakku, membongkar isi otakku dan mengubrak-abrik pelajaran serta kenangan yang ku simpan di dalamnya. Tetapi senyum mamak di sampingku benar-benar obat yang mujarab. Walaupun beliau hanyalah mamak tiriku, tapi aku sangat mencintainya seperti aku mencintai mamak kandungku. Mamak tahu bahwa aku sangat kesakitan, dari itu dia tak henti-hentinya menggenggam tangan kiriku.
“Kamu yakin kalok kamu cuma panas dalam? Gak usah bohong Feb. Aku tau kamu nyembunyiin sesuatu. Mamak pasti tau apa penyakit kamu, tapi kenapa Mamak gak mau ngasi tau aku? Apa aku orang asing dalam hidup kamu Feb? Apa aku gak boleh tau penyakit sahabat yang udah kayak sodara aku sendiri?”
Roby menangis. Sudah lama aku tidak melihat air matanya. Terakhir kali dia menangis saat aku mengambil permen karetnya waktu SD dulu. Mamak yang semulanya tegar dan terus mengukir senyum kini ikut larut dalam tangis. Suara tangis Roby dan mamak bercampur bagaikan melodi kematian yang terus memanggil namaku. Hatiku benar-benar teriris. Di saat usiaku tinggal beberapa hari lagi, aku tidak mampu berbuat apa-apa yang bisa membuat orang-orang di sekitarku bahagia, melainkan menguras air mata orang-orang yang kucintai.
“Umurku tinggal beberapa hari lagi Rob. Aku mohon ama kamu. Jangan nangis kayak gitu di depan aku. Aku mau sebelum aku pergi semua orang berbahagia dan kalian ngelepas aku dengan senyuman. Mamak, tiang mohon Mak. Jangan nangis. Mamak sudah janji ama tiang, Mamak gak bakalan nangis kan..”
“Apa maksud kamu Feb? Kamu sakit apa? kamu mau pergi ke mana? Mak, Dokter, Suster, Febry sakit apa sebenarnya?”
Tangis Roby makin menjadi-jadi. Mamak dengan sulit mengatur nafasnya sambil menyeka air mata. Dia sudah berjanji untuk tidak menangis, dan dia harus menepati janjinya itu. Sedangkan Dokter Azmi menatapku sambil tersenyum dan mulai bersuara.
“Febry mengidap penyakit Leukimia atau lebih dikenal dengan penyakit kanker otak. Dia berada di stadium empat dan tidak bisa diselamatkan lagi. Penyakit ini sudah menggerogoti tubuhnya sejak SMP, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena dia tidak mau saya melakukan apa-apa. Sebenarnya, faktor ekonomilah yang membuat Febry pasrah pada nasibnya. Sekarang, Septi mengalami kebutaan akibat cairan HCL yang merusak saraf matanya. Febry, pasien yang tidur di samping kirimu itu adalah Septi. Dia sudah sadar tapi masih terpukul.”
Dokter Azmi menunjuk ke arah pasien yang terbaring di sebelahku. Jarak antara tempat tidurku dan dia hanya kurang-lebih satu meter saja. Aku tidak bisa mengenali wajahnya karena mata dan setengah hidungnya masih tertutup perban. Aku berusaha tegar untuk menatap kakak tiriku itu, tapi apalah daya, sungai kecil mengalir begitu saja. Isak tangisku semakin menjadi-jadi ketika melihat suster membuka perban mata Septi perlahan-lahan. Mamak pun berlari ke arah tempat tidur Septi dan kembali menangis di sana. Di saat itu aku merasakan tangan Roby yang lembut membelai rambutku. Dia masih menangis. Dan kami pun menangis. Aku mengisyaratkan Roby untuk mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Dia menurut.
“Roby, waktuku bukan beberapa hari lagi, melainkan beberapa menit lagi. Tolong panggilin Mamak ya.”
Roby bergegas mendekati mamak tiriku, dan saat itu juga perban mata Septi sudah selesai dibuka. Roby berbisik di telinga mamak, tetapi mamak tidak langsung mendekatiku melainkan berbisik ke arah Septi. Beberapa saat kemudian, suara tangis Septi terdengar. Pilu dan menyakitkan. Aku semakin tak terkendali. Menangis dan terus menangis.
“Febry....! Mak, tiang pengen pegang tangan Febry. Mana dia? Mak..!!!”
Jerit Septi mengagetkan seisi ruagan. Mamak pun meraih tangan kiri Septi dan mengaitkan dengan tangan kananku. Aku dan Septi pun berpegangan tangan sambil terus menangis menjadi-jadi. Robi dan mamak menundukkan wajahnya yang memerah akibat terus menangis. Sedangkan dokter Azmi dan susternya hanya menyaksikan dengan wajah penuh haru.
“Febry, kamu harus kuat, kamu harus hidup. Jangan tinggalin aku ama Mamak Feb. Walaupun aku buta, aku yakin kamu mau jadi mata aku. Ya kan Feb...?” kata Septi dengan suara terisak-isak.
“Iya Septi. Aku mau jadi mata kamu. Jangankan mata kamu, kaki, tangan, telinga, bahkan semuanya pun aku mau Sep. Tapi maafin aku, aku harus pergi. Ini sudah menjadi takdir aku Sep.”
“Gak! Kamu gak boleh pergi! Kalok kamu pergi, aku ama sapa? Sapa yang mau jadi mata aku? Lebih baik aku ikut kamu aja Feb. Gak ada gunanya aku hidup!”
“Kamu jangan ngomong gitu Septi! Masih ada Mamak, Roby dan semua teman-teman kamu. Perjalanan hidup kamu masih panjang, kamu masih punya masa depan. Kamu pintar Sep! Kamu punya cita-cita buat kuliah di Jakarta kan? Kejar cita-cita itu Sep! Walaupun ekonomi keluarga kita gak mampu, tapi aku yakin kamu bisa dapet beasiswa! Pokoknya kamu jangan nyerah Sep! Demi aku, Mamak dan semuanya!”
“Percuma Febry! Aku gak punya mata buat belajar! Buat ikut Ujian Nasional pun udah gak mungkin! Aku gak punya masa depan! Hidup aku sampe di sini Feb!”
“Gak! Kamu salah! Banyak orang cacat di luar sana yang bisa sukses! Gak peduli cewek atau cowok, cacat atau enggak, semua orang punya hak untuk jadi orang sukses dan hidup di dunia ini!! Jangan karena kamu cewek, kamu jadi lemah!! Tunjukin kalok kamu bisa tegar, kuat dan berguna bagi semua orang! Kamu harus tetep sekolah. Aku akan ngasi kedua mata aku buat kamu!”
“Apa?? kamu bejoraq kan Feb..?”
Tiba-tiba Mamak angkat bicara. Sepertinya beliau kaget dengan kata-kata yang terlontar dari bibirku tadi.
“Enggak! Tiang gak bejoraq Mak. Ambil saja mata Febry buat Septi. Tiang ikhlas demi masa depan Septi. Dia harus sekolah, dia harus menjadi orang sukses dan berguna buat semua orang.”
Semua orang di ruangan itu terkejut dengan kata-kataku. Ya, aku akan memberikan mataku untuk Septi. Walaupun aku mati, tapi ada organ tubuhku yang masih bisa hidup di tubuhnya. Aku bisa bersama Septi selamanya. Aku bisa melihat apa yang dilihatnya, menyukai apa yang disukainya, dan tidak menyukai apa yang tidak disukainya. Aku ikhlas, karena bagiku masa depan Septi masih bisa diselamatkan, sedangkan masa depanku sudah tidak ada harapan lagi.
“Mamak, jaga Septi baik-baik. Tiang mau dia tetep sekolah, bagaimanapun caranya. Didik dia jadi anak perempuan yang kuat, tegar dan pintar kayak Mamak. ”
Mamak terdiam mendengar kata-kataku itu. Dia memeluk tubuhku yang terbaring lemah. Aku masih dapat merasakan kehangatan cinta dan kasih sayangnya. Roby pun mendekatiku, meraih dan mencium tangan kiriku yang kian memucat. Ada cairan hangat yang menetes di tanganku. Air mata Roby kian tak tertahan.
“Roby, aku titip Septi, sayangi dia kayak kamu sayang ama aku. Jaga dia buat aku. Maaf ya Rob, aku gak bisa nemenin kamu buat ngomong ama Mamak kamu di rumah. Aku gak bisa maen-maen ke rumah kamu. Aku gak bisa bantu kamu memajukan sekolah kita melalui OSIS. Aku gak bisa jadi Ketua OSIS yang baik buat kamu. Maaf ya. Tapi kamu harus janji ama aku, ada atau gak adanya aku, kamu tetep harus ngomong ama Mamak kamu. Ada atau gak adanya aku kamu harus tetep aktif di OSIS. Lanjutin perjuangan kita ya.”
“Enggih, aku janji bakalan lanjutin perjuangan kita. Aku bakalan ikutin suara kata-kata kamu Sep. Tapi aku mohon, kamu jangan pergi......”
“Udah gak bisa Rob, aku harus pergi... maafin aku. Dokter, Suster, makasi ya buat semuanya. Kalian udah baik banget ama aku........... ukhukk.. uhukkk....”
“Iya, itu memang sudah menjadi kewajiban kami....”kata Dokter Azmi sambil tersenyum.
Cairan merah pekat mengalir dari hidungku. Sepertinya waktuku telah habis. Rasa sakit yang menyiksa kepalaku membuat aku sulit mengeluarkan kata-kata terakhir yang ingin sekali aku katakan. Seandainya bisa, aku ingin sekali memninta dispensasi kepada malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawaku. Tapi itu tidak mungkin. Di sisa nafasku, aku berhasil mengatakannya.
“Dok..ter, am.... ambiill.. ma...mat..mata..ku..!”
Aku melepaskan tanganku dari genggaman tangan Septi. Tanganku bergantung lemah, tak ada darah, saraf, maupun otot yang masih berfungsi. Semua orang di ruangan itu menatapku penuh haru. Mamak menggoncang-goncangkan tubuh kakuku, tapi sayang, tidak ada respons apapun. Roby masih memegang tanganku, air matanya pun masih mengalir dengan hangat. Sedangkan Septi terus menangis sambil menatap langit-langit rumah sakit. Pandangannya gelap, hatinya pun kalap. Ya, aku pergi, kecuali kedua belah mataku yang akan tetap hidup di tubuh Septi. Jiwaku telah terlepas dari ragaku. Aku pergi meninggalkan duniaku tercinta menuju ke kehidupan yang abadi. Kehidupan yang tidak akan ada matinya lagi. Memang berat, tapi inilah takdirku. Aku yakin, takdir Septi akan lebih baik daripada aku. Selamat tinggal Mamak, Septi, Roby, semuanya.............
Lanjutkan=>

PUISI METAMORFOSIS WAKTU BY NURZILA ^^

Ini ceritaku yang tertindas sepi,
Hingga tak kata dan tawa walau hanya dalam mimpi,
Memori itu terkatung-katung di udara,
Aku malas untuk mengenangnya.

Aku tau,
Yang lalu itu bermetamorfosis menjadi benalu,
Dan aku kini berkalung belenggu,
Berusaha menggeliat melepas beban yang membatu.

Masa lalu itu menyekat jalanku,
Rasa sakit waktu itu menampar-nampar kalbu,
Kepahitannya berleleran di benakku,
Dan aku terlalu rapuh untuk bergelut dengan semua itu.

Langkahmu sudah sangat jauh,
Dan kisah itu sudah sangat lusuh,
Tapi aku masih menjaganya dengah utuh,
Walau berkali-kali harus terjatuh.

Kau sudah pergi,
Namun cintamu tertinggal disini,
Menggerogoti hatiku hingga berlubang,
Menciptakan panas yang meradang.

Debu hanya diam melihatku merunduk,
Menangis dalam sepi yang menusuk,
Otakku bekerja keras melupakan masa lalu,
Namun hatiku melawan keras melakukan itu.

Aku harapkan kenangan itu terlucut dari ingatan,
Dan aku menarik nafas bebas sambil tertawa ringan,
Berlari ke segala ufuk mencari kebahagiaan,
Berharap bersua gerbang menuju masa depan.
Lanjutkan=>

PUISI LUKA SEMESTA

Aku kalut dipelukan kabut,
Tak terasa hangat mentari saga,
Tak terasa sejuk semilir angin,
Mati rasa aku diribaan pagi.
Kutatap ranting pepohonan merunduk,
Sang raja hijau kering tak bergoyang,
Gunung tetap bisu terpaku,
Memendam amarah kulit terkoyak.
Mata bergenang hati bergeming,
Pedih pilu menatap embun yang pergi,
Ketika sang langit runtuh bergemuruh,
Ketika mentari saga menyembunyikan raga.
Lengang sunyi suara tercekat,
Tak ada lagi kata yang membentuk suara,
Hanya diam menahan remuk redam,
Menatap semesta yang mulai meradang.
Sebelum hari ini,
Bias mega menghangatkan raga,
Sungai tenang tak beriak,
Ombak bergulung menyerak buih,
Semua apa adanya.
Hari ini,
Bias mega menghanguskan raga,
Sungai meluap menghanyutkan semesta,
Ombang bergulung naik menggunung,
Ada apa dengan semua ini??
Hanya menuai tanya tak ada jawabnya,
Hanya berpendapat namun tak bertindak,
Hanya melihat namun enggan mengerti,
Persetan masa depan yang penting hari ini.
Entah bagaimana semesta di hari depan,
Hari ini saja tampak begini,
Meletus sana-sini,
Menyeruak ganas tak berperi.
Manusia menengadah pada semesta,
Malah mengoyak perut bumi tak terperi,
Monggores luka di tubuh bumi bulat ini,
Jika kelak bersua bencana,
Terpontang-panting menyelamatkan diri.


karya : Nurzila ^^
Lanjutkan=>

SALAHKAH RASA

Angin siang itu mengibas-ngibas rambut panjangku. Mengebas debu yang bertebaran di jalanan kota Praya yang lengang. Dedaunan pun meliuk-liukkan tubuhnya ketika angin mengajaknya menari. Langit tampak memucat. Mungkin awan akan menangis sebentar lagi. Dengan mata berkilauan, kutatap semua yang mampu tertangkap oleh mata sipitku. Beberapa orang siswa SMAN 1 Praya tergopoh-gopoh meninggalkan sekolah karena takut bersua hujan. Sedangkan aku hanya duduk santai di post satpam sekolah bersama Stev. Keringat dingin mengucur di keningku. Setelah sekian lama aku haus akan cinta, kini aku dapat merasakan gejolak itu kembali. Stev masih betah memainkan tangan kananku. Raut wajahnya memancarkan sejuta kebahagiaan. Bagaimana tidak, beberapa menit yang lalu aku memutuskan untuk bersedia mengisi kekosongan hatinya, menambal lubang serta mengobati luka hatinya yang teramat parah. Awalnya aku sangat ragu. Aku sendiri belum mampu mengobati luka hatiku, bagaimana mungkin aku mengobati luka hatinya? Ahh... biarlah, toh dia memberiku waktu yang cukup lama untuk menyelami hatinya.
“Aku sayang kamu Melin..”kata Stev setengah berbisik di telingaku.
“Aku juga.”jawabku seadanya.
Beberapa guru yang kebetulan lewat di hadapanku dan Stev mendadak menghentikan langkah. Ekspresi wajah mereka beragam. Ada yang tertawa, sinis, terkejut, garang dan sebagainya. Aku mulai risih dengan semua itu.
“Kamu yakin dengan hubungan kita ini?”tanyaku memecah kesunyian.
“Iya, kenapa tidak? Kita kan saling mencintai.”jawabnya sambil menatap mataku tajam.
“Tapi......”
Belum selesai aku berkata-kata, Stev dengan sigap menutup mulutku dengan tangan kanannya. Mataku terbelalak kaget.
“Sssssttt... sudahlah. Terserah orang mau bilang apa. Yang penting kita saling cinta.”kata Stev meyakinkanku.
Tak ada kata yang mampu kuucapkan lagi. Hanya sebuah anggukan sebagai petanda bahwa aku menyetujuinya.
“Kita pulang yuk. Bentar lagi hujan ni. Aku anterin kamu ya.”ajak Stev sambil mengenakan tas ranselnya.
“Ayok....”jawabku singkat.
Stev menaiki sepeda motor kesayangan miliknya itu. Tanpa berpikir panjang aku pun mengikutinya. Dengan posisi duduk yang sangat dekat, aku memeluk tubuh Stev dari belakang. Terlihat sangat mesra. Apakah aku benar-benar mencintainya? Jujur, aku belum bisa melupakan masa laluku. Stev hanyalah pelampiasan sekaligus penghapus sepi dan rasa rinduku. Aku belum bisa mencintainya dan sangat sulit untuk mencintainya. Beberapa menit kemudian, kami tiba di rumahku yang terletak tidak terlalu jauh dari sekolah. Aku turun dari sepeda motor dan membelai pipi Stev sambil mengucapkan terima kasih yang mendalam.
“Terima kasih ya udah anter aku pulang.”
“Sama-sama sayang. Aku mau langsung pulang ni. Kamu masuk gih. Jangan lupa makan ya.”
“Siipppph sayang. Hati-hati di jalan ya.”
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, Stev bergegas meninggalkan rumahku. Sepertinya dia takut kehujanan. Warna langit semakin hitam pekat dan suhu di sekitar pun menjadi sejuk yang mencekam. Aku pun berlari memasuki rumah. Tampak kedua orang tuaku sudah menunggu di dalam. Entah mengapa ada yang berbeda hari ini. Ekspresi wajah mereka seperti memikul beban yang teramat berat. Ada sesuatu yang bergolak di dada kedua orang tuaku itu. Aku yakin.
“Assalamualaikum...”ucapku dengan lemah lembut.
“Waalaikumussalam... baru pulang?”tanya Ibuku dengan nada agak tinggi.
“Iya Buk. Maaf agak telat.”jawabku sambil menunduk lemah.
“Kenapa? Ada kegiatan ekstrakurikuler baru? Ekstakurikuler pacaran di post satpam? Tadi wali kelasmu yang menelpon Bapak. Ternyata begitu kelakuanmu di sekolah.”
Bapakku angkat bicara. Intonasinya agak membuat jantungku tersentak. Nafasku turun naik sekarang. Ingin sekali rasanya aku mengeluarkan sepatah kata untuk membantah. Namun suaraku tercekat di tenggorokan.
“Kenapa diam? Gak bisa jawab?”tanya Bapakku dengan nada seperti mengadili seorang pencopet.
“Aa... anuu.. Pak... aa...”
Spontan aku tak mampu menyusun kata demi kata untuk membentuk sebuah kalimat yang bisa dimengerti. Arrgghh..... kenapa begini? Padahal aku mengambil jurusan Bahasa di sekolah, tapi mengapa aku kaku dalam berkata-kata jika di hadapan Bapak?
“Bapak sama Ibuk gak mau mendengar alasan apa pun. Bapak sudah tau semuanya. Kamu mulai berani bertingkah diluar batas sekarang. Sudah berani pacaran! Pacaran dengan...... dengan..... hah.. sudahlah. Hati Bapak sakit membahas masalah ini...! Bapak gak nyangka, kamu jadi begini sekarang? Apa ada yang salah dengan cara mengasuh Bapak dan Ibuk selama ini? Kenapa nak? Kenapa kamu jadi begini?”
Bapak mengkhotbahiku panjang lebar. Genderang telingaku terasa memanas bak tersiram air timah panas. Aku sudah menduga, pasti Bapak dan Ibuk tidak akan merestui hubunganku dengan Stev. Padahal aku sedang berusaha mati-matian untuk mencintainya.
“Melin, apa kamu dengar kata-kata Bapakmu itu?”tanya Ibu tiba-tiba.
“Nggech Buk, tiang denger. Tapi kenapa? Kenapa Bapak sama Ibuk gak mau ngedengerin penjelasan tiang? Tiang mohon, izinkan tiang bicara.”
“Silahkan....”kata Bapak dengan sinis.
“Tiang cinta sama Stev Pak, Buk. Dia anaknya baik kok. Dia tulus mencintai tiang, terima tiang apa adanya, selalu ada buat tiang... bukannya Bapak dan Ibuk menginginkan tiang pacaran dengan orang seperti itu?”
“Bukan seperti dia Melin!! Bukan! Carilah laki-laki yang baik, jangan dia!”
Ibu membentakku dengan kasar. Sepertinya beliau benar-benar naik darah dengan kata-kataku tadi. Aku mendengus lemah di dalam hati. Ini benar-benar skenario hidup yang paling tak sukai. Bapak mendekatiku, benar-benar dekat. Bibirnya hanya beberapa senti dari daun telingaku. Beberapa saat kemudian, beliau mulai bersuara.
“Bapak tidak mau tau. Kamu harus menyudahi hubungan haram kamu dengan dia. Titik..!”
“Tapi Pak.....”
“Tak ada tapi-tapian...!! Ini sudah menjadi keputusan bulat Bapak dan ibuk..!! Mengerti?”
Tak ada kata yang membentuk suara. Lidah terasa beku dan mati. Nafasku terasa menggantung di udara hampa. Hampa. Aku dan Stev baru memulai hubungan spesial ini beberapa jam yang lalu, tetapi orang tuaku telah mencekalnya dengan keras. Tolonglah Tuhan, aku sedang menanam pohon cinta di hati Stev yang gersang dan berlubang. Izinkanlah aku melihat pohon cinta yang tumbuh berkembang dan menghasilkan bunga-bunga cinta yang mempesona. Jangan biarkan pohon cintaku mati sebelum aku bisa mengecup tiap-tiap kelopak indahnya. Memetik kuntum-kuntum kasih sayang yang menyebarkan aroma semerbak yang mengghairahkan. Haruskah aku mencabut pohon cinta di hati Stev secepat ini? Aku tak mau menyisakan lubang yang lebih dalam lagi di hatinya. Aku juga tak mau menciptakan lubang-lubang kekecewaan di hati kedua orang tuaku. Lantas apa yang harus aku lakukan?
“Melin, Ibuk sama Bapak sangat menyanyangi kamu. Makanya kami melarang keras kamu dan Stev berpacaran. Ibuk tau, jauh di dalam lubuk hati kamu, kamu sebenarnya belum bisa melupakan Fery. Kamu masih terluka karna Fery meninggalkan kamu demi perempuan lain. Tapi Ibuk yakin, di luar sana masih banyak cowok yang lebih baik dari Fery. Percaya sama Ibuk.”
“Nggech Buk. Tiang tau. Tapi tiang sudah mulai cinta sama Stev.”
“Jangan bohong sama perasaan kamu sendiri Melin. Hapus rasa itu.”
“Tapi tiang kasian sama Stev Pak, Buk...”
“Tapi Bapak sama Ibuk juga kasian sama kamu sayang. Kamu mengerti kan maksud Bapak?”
“Nggech Pak, tiang ngerti.”
“Bapak mau, besok pagi kamu sudahi hubungan kamu dengan Stev. Berjanjilah untuk Bapak....”
Kalimat itu menusuk hatiku yang rapuh. Ku tatap mata Bapak yang berisi pancaran harapan dan terselip sedikit kekecewaan. Berbeda dengan mata Ibu, sepertinya beliau sudah terlanjur kecewa dengan perbuatanku. Matanya merah dan setetes air bening menggantung di ujung matanya. Dadaku sesak. Keriput di sekitar mata lembutnya membuatku semakin tak kuasa membendung cairan bening yang memaksa untuk keluar. Beberapa saat kemudian, hati dan otakku memberi pemerintah kepada organ tubuhku untuk merengkuh tubuh Ibu yang rapuh. Sungai kecilpun mengalir bebas di pipiku. Dapatku rasakan getar dalam dadanya, gejolak cintanya, denyut nadinya, dan desah nafasnya. Semuanya membuatku merasa menjadi anak paling durhaka sedunia.
“Maafin tiang Bu....”
“Iya.. Tanpa kamu minta maaf, Ibu sudah memaafkan...”
Kurasakan tangan kasar Bapak mengusap sungai kecil di pipiku. Tangan kasar milik bapak yang banting tulang untuk menghidupi aku dan Ibu. Mata Bapak sendu. Kutatap dalam-dalam mata itu. Kuharapkan tak ada lagi berkas kekecewaan di dalamnya. Bapak merengkuh tubuhku sekaligus tubuh Ibu. Terasa hangat dan penuh dengan balutan cinta dan kasih sayang. Sebagai anak tunggal, wajar saja apabila orang tuaku sangat over protektif kepadaku. Aku mengerti mengapa mereka seperti itu.
“Pak, Buk, tiang janji gak bakalan ngecewain Bapak dan Ibuk...”kataku dalam pelukan mereka.
“Ya sayang, Bapak percaya. Lakukan yang terbaik ya..”
“Nggech Pak...”
“Ibuk dan Bapak sayang kamu. Sekarang kamu ganti baju gih. Trus istirahat.”
“ Nggech, tiang istirahat dulu ya Pak, Buk...”
Aku berlari-lari kecil memasuki kamar. Kulempar tas ransel yang rasanya menyulitkan gerak tubuhku ke atas tempat tidur. Andai kubisa, ingin sekali rasanya kulempar juga rasa yang yang memporak-porandakan hatiku ini. Entah rasa apa, cinta? benci? kasihan? takut? atau apalah. Tiba-tiba handphone di dalam saku rok putih abuku bergetar. Sepertinya ada pesan singkat yang masuk. Aku segera membuka pesan itu.
Dari:
Yuli ^^
“Sumpah aku gag nyangka kamu pacaran ama Stev. Kamu udah gila? Apa kamu ga bisa dapetin pacar yang lebih baik selain dia? Please,, aku sebagai sahabat kamu gag mau ngeliat aku tersesat lebih jauh. Tolong,, sudahi hubungan kamu ama Stev...”
Aku merunduk memeluk lutut. Kali ini aku menangis sendiri meluapkan kesedihan dan kegalauan dalam sunyi. Pesan singkat dari sahabatku itu terasa menampar-nampar dinding hati yang masih belum sembuh dari luka lampau. Aku memaksa otak untuk berpikir lebih keras. Apa hubunganku dengan Stev benar-benar salah? Apakah salah jika aku belajar untuk mencintainya seperti dia yang sangat tulus mencintaiku? Dia tau aku bahagia tanpa aku harus tertawa, dia tau aku bersedih tanpa aku harus menangis, dan dia mengenal aku tanpa menuntutku untuk mengenalnya juga. Arrrgghhh..... dia begitu baik laksana insan pilihan dari Tuhan yang dihadiahkan untukku. Salahkah kami? Salahkah cinta suci anugerah dari Tuhan ini?
Lagu group band Vierra yang berjudul “Seandainya” tiba-tiba terlantun merdu dari handphoneku. Ada yang menelpon. Aku pun segera memencet tombol “Yes” untuk memulai pembicaraan dengan si penelpon.
“Hallo...”sapaku lembut.
“Hallo Melin, ini Fery.”
Aku tercengang seketika. Mimpi apa aku semalam? Fery, lelaki yang masih kucintai namun telah menjadi mantan kekasihku itu kini sedang menelponku. Aku agak sulit mengatur nafas, namun aku berusaha agar fery tidak mengetahuinya.
“I,,iyaa, ada apa Fer? Tumben...”
“Iya ni Mel, aku sengaja nelpon kamu karna aku khawatir ama kamu. Aku kaget denger kamu jadian ama Stev. Jujur Mel, aku gak ikhlas kamu jadian ama Stev. Kamu bisa dapetin yang lebih baik dari dia. Percaya dah ama aku.”
“Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Gak da yang lebih baik dari dia! Dia tu anugerah dari Tuhan buat aku...”
“Kamu salah! Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, cewek ama cowok.... sedangkan kamu........”
Aku langsung menutup telpon sebelum Fery sempat menghabiskan kata-katanya. Darahku terasa mendidih dan jantungku ingin meledak menghancurkan semua rasa. Sepertinya aku memang salah telah menerima Stev sebagai pengisi kekosongan hatiku. Ya, aku salah. Rasa ini salah. Manusia diciptakan berpasang-pasangan, lelaki dan perempuan.....!! Jodoh itu di tangan Tuhan. Tuhanlah sutradara yang terbaik dan tau cerita apa yang tepat untuk kita. Aku pun terlelap setelah pikiranku lelah terbang menerawang.

Ruangan kelas 12 Bahasa hari ini benar-benar berbeda. Tegang dan mencekam. Mataku lebih memilih untuk menatap lantai berlama-lama daripada harus melawan kerlingan tajam dari mata Stev yang duduk di sebelahku. Teman-teman kelasku yang lain sudah meninggalkan sekolah sedari tadi, sedangkan aku dan Stev masih tertahan disini. Pak Jun melarang kami untuk pulang karna ada sesuatu yang harus dibicarakan. Aku tau apa yang ingin dibicarakan oleh guru yang terkenal killer itu. Pasti tentang hubunganku dengan Stev.
“Stevani Amira Dewi dan Melinda Puteri, apa kalian tau mengapa Bapak menahan kalian disini?”kata Pak jun memulai pembicaraan.
“Rasanya saya tau Pak. Pasti Bapak ingin melarang hubungan kami. Bukan begitu?”jawab Stev dengan santai.
“Pinter. Lantas, apa kamu tau apa yang harus kamu lakukan?”
“Maaf, saya tidak bisa mengakihiri hubungan ini Pak, saya mencintai Melin.”
Aku tersentak mendengar jawaban yang keluar dengan entengnya dari bibir Stev itu. Ekspresi wajar pak Jun pun berubah menjadi garang.
“Kalian itu sesama jenis! Tidak mungkin kalian bisa terus berpacaran atau menikah suatu saat nanti. Apa kata dunia?! Allah pasti murka dengan tindakan kalian ini. Banyak teman-teman bahkan orang tua kalian kecewa dengan tindakan tidak masuk akal kalian ini. Bapak harap kalian mengerti..”
“Saya mengerti Pak. Dan saya memang sudah berniat untuk mengakhiri semua ini. Rasa ini memang salah. Ini bukan rasa cinta sebagai kekasih, tetapi sahabat. Saya terlalu nyaman berada di dekat Stev, makanya saya keliru dengan rasa di hati saya sendiri. Saya rasa Stev juga begitu. Di usia kami ini, kami masih sangat labil untuk mengerti lebih dalam tentang cinta yang sebenarnya. Saya mohon maaf Pak.”
Dengan segumpal keberanian aku berkata seperti itu. Stev memicingkan matanya menghadapku. Raut wajahnya memancarkan kekecewaan, sama seperti raut wajah kedua orang tuaku kemarin.
“Bapak tau kalian itu anak-anak yang baik dan pintar. Kalian hanya salah mengartikan rasa. Maklum, anak muda.”
“Melin, kamu mau kita pisah? Apa kamu gak mikirin perasaan aku? Hidup aku?”
Suara Stev terdengar lirih dan menusuk genderang telingaku. Aku meraih tangannya, menatap matanya, dan membiarkan senyum lembutku menyapa wajahnya.
“Kamu cinta ama aku sebagai sahabat, percayalah. Kita salah. Manusia itu sudah di tentukan jodohnya, yang cewek ama cowok, yang cowok ama cewek. Bukan cewek ama cewek, ataupun cowok ama cowok. Percaya ama aku, suatu saat akan ada cowok yang bisa menambal lubang di hati kamu, menanam pohon cinta yang lebih indah di hati kamu, merawatnya, memetiknya, dan gak bakalan ngebiarin hati kamu gersang ataupun terluka lagi. Aku akan selalu ada di samping kamu, karna kita sahabat.....”
Terlihat bulir air bening terjatuh dari kelopak indah matanya. Mengalir lembut menyusuri pipi lembutnya kemudian terjatuh di pangkuan. Dengan sigap aku menghapusnya, berharap kesedihannya akan ikut terhapus. Ku lihat dia mulai tersenyum. Pancaran matanya yang lembut meneduhkan tiap jiwa yang menatapnya. Senyumnya benar-benar menghanyutkan kesedihan yang menempel di dinding hati, menenggelamkan timbunan masalah yang melanda, membenamkan semua rasa gundah yang ada.
“Pak, saya minta maaf nggech. Saya mengerti sekarang, ternyata saya salah mengartikan rasa ini. Saya merasa malu Pak, saya bodoh!”kata Stev dengan menyesal.
“Ya Stev, Bapak mengerti. Yang penting sekarang kalian sudah sadar dan bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini. Bapak tidak mau ini terulang kembali.”
“Ya Pak, kami janji.”
Aku menjawab dengan nada meyakinkan. Akhirnya permasalahan salah rasa ini terselesaikan. Aku merasa seperti terlahir kembali, lahir sebagai perempuan normal, lahir sebagai sahabat untuk Stevani, bukan kekasihnya. Terima kasih Tuhan karena memberikan akhir yang menyejukkan. Sekarang tuntun aku dan Stevani untuk menemukan laki-laki pengisi hati yang gersang ini.
Kami ingin menanam bibit cinta di yang hati baru..!!


karya : Nurzila ^^
Lanjutkan=>
BUAT TEMAN-TEMAN SEMASA SMAKU, AKU MENCINTAI KALIAN.