TUHAN….
KINI HARI-HARI BEGITU BERARTI UNTUKKU
SETIAP MENIT,DETIK,HARI-HARI,KU MEMOHON AMPUN-MU
KU BEGITU TAKUT SAAT SANG EKSEKUTOR
DATANG MENGEKSEKUSI JIWAKU
TUHAN….
SUNGGUH BERAT INGINKU TINGGALKAN RAGAKU
SUNGGUH BERAT INGINKU TINGGALKAN MENTARIKU
MENTARI YANG TUMBUHKAN JIWAKU
YANG SINARI HIDUPKU
TUHAN….
TAK SANGGUPKU LEPASKAN REMBULANKU
TAK SANGGUPKU MELIHAT AWAN HITAM SELIMUTINYA
DERAS HUJAN TEMANINYA
SAAT KU MENGHADAP-MU YA ROBBI
TUHAN….
BERIKU SEDIKIT WAKTU LAGI TUK BERSAMANYA
BERSAMA HANGAT SANG MENTARI
BERSAMA TERANG SANG REMBULAN
BERSAMA SANG BINTANG DI SEKELILINGKU
TUHAN….
KALI INI KU MOHON PADAMU
JIKA KU PERGI MENGHADAPMU NANTI
TEGARKAN SANG MENTARI
TABAHKAN SANG BULAN
TENANGKAN SANG BINTANG
KARENA KU TAK SANGGUP TINGGALKAN MEREKA
SAAT NYAWA YANG KAU TITIPKAN PADAKU INI
KAU AMBIL DARIKU.
Pagi ini aku merasa sepi...entah apa yang membuat aku merasa seperti itu. terasa menyedihkan tapi tidak sedih, terasa tegang tapi tidak tegang, dan terasa mati tapi tak mati. Aku berkata dalam hati “Apa yang terjadi dengan diriku?”
Ku menatap kedua telapak tanganku. Kurasakan kehangatan sinar matahari yang masuk melewati celah-celah pagar kamarku. Tak lama kemudian terdengar suara ibu memanggil, “Ika…ayo cepat bangun!”
Saya pun segera bergegas karena aku tak mau ibuku kecewa padaku. Aku sudah menanamkan dalam hati sejak masih berada di bangku SD untuk menjadi anak yang rajin. Aku tahu kalau ibu selalu bangun pagi sekali untuk menyiapkan dagangannya. Dia bekerja keras agar aku bisa bersekolah sampai aku bisa menikmati nikmatnya ilmu di bangku SMA sekarang. Akan tetapi ayah berbeda. Ayahku berpendapat kalau seorang perempuan tak perlu sekolah, sebab kelak dia akan punya suami yang akan menangggungnya. Sebenarnya itu bukan pendapat ayah, melainkan sebuah kepercayaan zaman purba yang mengatakan seorang perempuan tak pantas berdiri tegak setinggi laki-laki.
“tapi saya tidak mau mengalah begitu saja pada aturan yang tak jelas itu. lihat saja saya akan buktikan pada ayah dan kaum laki-laki di seluruh dunia ini bahwa seorang wanita juga bisa!” begitulah saya selalu menyemangati diriku untuk tetap bersemangat dalam menjalani kehidupan ini. Dengan dasar itulah aku mampu berprestasi di sekolah. Tak heran aku selalu unggul di sekolah dari sejak bangku SD sampai SMA sekarang.
Disekolah… waktu jam pelajaran matematika. Seperti biasa aku mendengarkan dengan penuh perhatian penjelasan ibu guru di depan kelas. Aku duduk di bangku paling depan agar aku bisa lebih mendengar guru menjelaskan. Jika aku duduk dibelakang, aku tidak akan pernah bisa berkonsentrasi karena teman-teman saya yang duduk paling belakang lebih senang ngerumpi daripada harus mendengarkan guru berceloteh di depan kelas.
Waktu keluar main tiba. Semua teman-teman memilih tempat favorit mereka untuk mengisi waktu istirahatnya yaitu, kantin.
“Ika…kekantin yuk!” ajak Almaidah teman dekat saya
“sory Al, saya disini saja baca buku” kataku karena saya memang lebih suka baca buku. Memang kerena tidak punya uang juga sich. Hehe
“ayolah… saya teraktir” lanjut almaidah
“ sungguh?” tanyaku meyakinkan
“ya…masak sama teman baik sendiri saya bohong”
“ya dech…ayolah kalo begitu”
Tepat jam 02.45 bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku pulang sekolah dengan jalan kaki karena jarak rumah dengan sekolah tak terlalu jauh, Cuma 2 km saja.
“ah, sekalian olah raga” kataku menyemangati diri ketika kaki ini sudah mulai merasa mulai lelah berjalan.
Berjalan,berjalan, dan terus berjalan, sampai akhirnya sampai juga rumahku. Untuk menghilangkan rasa pegal di kaki aku langsung kekamar dan merebahkan badan di tempat tidur.
“huft, capek juga” kataku sendiri sambil memandang langit-langit kamarku.
“kalau aku lulus SMA nanti, aku mau kuliah di UI saja jurusan sastra dan linguistic karena aku kan jurusan bahasa. Setelah aku diterima di UI nanti aku akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya aku bisa lulus sarjana S1. Hmmm…pasti aku akan sangat senang bila aku bisa melanjutkan sampai S2 dan S3 dan aku bisa bergelar doctor. Yasudahlah, aku tak usah berfikir terlalu jauh dulu, yang penting saya bisa kuliah saja lah dulu” begitulah lamunanku selama di kamar yang kurasa cukup sulit bahkan sangat sulit aku wujudkan karena untuk membayar SPP saja ibu harus kerja ekstra.
“ika…”suara ibu memanggil dari ruang tengah
“ya, bu”
“kesini sebentar!”
“ya, tunggu sebentar! Aku mau ganti baju dulu”
“ganti bajunya nanti saja!cepat kesini!” perintah ibu lebih menekan. Dari caranya itu, sepertinya ada hal penting yang ingin ibu sampaikan. Aku pun segera menuju ruang tengah. Disana kulihat ibu dan aya sedang duduk diatas kursi ruang tengah. Ibu terlihat sedih dengan mata memerah menahan air mata yang sangat berat untuk ditahan. Sedangkan ayah terlihat sedang menghisap rokoknya.
“duduk!!”perintah ayah dengan suara tegas
aku pun bertanya pelan“ada apa pak, buk?”
ayah menghisap rokok panjang dan “BRAK!!” kudengar suara meja terpukul dengan sangat kerasnya oleh sebuah tangan yang keras pula.tangan ayah. Tangan ayah sepertinya ingin menari di pipiku, akan tetapi, mungkin dia masih punya hati sehingga meja menjadi sasaran.
“dasar anak kurang ajar!!tidak tahu diri!!kami capek-capek bekerja untuk menyekolahkanmu, tapi apa?!begini caramu!”suara ayah meninggi
“maksud ayah apa?” heran dan ketakutan berbaur menjadi satu dalam pertanyaanku itu.
“kemarin datang surat dari sekolahmu yang berisi panggilan kepada kami sebagai orang tuamu”.ayah semakin keras dan “PLAK” satu tamparan mendarat di pipi sebelah kananku. Aku menangis sambil memegang pipi ku yang terasa sakit, perih, dan panas.
“kamu tahu apa yang membuat kami begitu sakit mendengar berita itu?”
Aku hanya terdiam terisak mendengar ayah yang sedang marah padaku tanpa tahu apa yang ayah maksdukan.
“kenapa kamu nak? Ibu lelah-lelah bangun pagi menyiapkan dagangan untuk mendapatkan sekeping koin untuk kamu sekolah. Jika kamu merasa kurang dengan apa yang ibu berikan selama ini, kamu boleh minta lagi nak, asal kamu jangan sampai berbuat yang tidak baik sampai-sampai berani mencuri uang temanmu Almaidah”. Serentak tubuhku terdiam mendengar apa yang dikatakan ibu barusan. Aku telah dituduh mencuri uang sahabatku sendiri.
“aku tak pernah melakukannya Bu…”
“diam!!jangan kamu coba membantah lagi. Sudah jelas-jelas kepala sekolahmu sendiri yang mengatakannya pada kami bahwa kamu sudah mencuri uang temanmu Almaida”.
“tapi ayah…sungguh! Saya tidak pernah melakukannya”.
“sudah nak, kamu ngaku saja biar semuanya bisa cepat selesai!”
“sungguh bu, aku tak pernah melakukan itu”.
“mulai besok, kamu tidak usah ke sekolah lagi!!titik.” kata ayah dipuncak marahnya.
Kesokan harinya ku terbangun dari tidurku dengan perasaan tak menentu. Hangatnya matahari yang menyusup melalui pagar kamarku tak sehangat hari-hari sebelumnya. Entah apa yang aku inginkan saat ini. Tapi aku tidak bisa mengatakannya. Dalam hatiku yang terdalam sebenarnya aku ingin sekolah.
Lama aku terdiam. Menangis, menagis, dan terus menangis layakya seorang perempuan lain yang sedang di rundung kesedihan dan dengan menangis mereka bisa lebih terhibur.
“tapi, aku tak mau seperti itu. aku harus pergi sekolah!”sebuah semboyan semangat berdosis tinggi telah ku suntikan dalam tubuhku.
Sampai di sekolah dengan diam-diam tanpa sepengetahuan ayahsetelah berjuang menerobos jendela dan pagar tetangga yang tingginya kira-kira 2,5 meter itu.
Disekolah semuanya tampak seperti biasanya. Tidak ada yang berubah mengigat apa yang dituduhkan kepadaku. Aku juga ingin memastikan siapa dalang di balik semua tuduhan itu. aku yakin sahabatku Almaidah tidak mungkin melakaukan perbuatan fitnah itu. pokoknya aku harus bertemu Almaidah.
Jam pelajaran pertama pun dimulai, aku masih melihat bangku yang diduduki Almaidah masih kosong. Aku mencoba melihat sesekali keluar kelas melalui jendela, mungkin Almaidah masih dalam perjalan kekelas. Namun, sampai guru datang untuk mengajar kekelas pun Almaidah tak kunjung datang. Lalu kutanyakan kepada Yosie yang merupakan teman duduk Almaidah.
“yosie, Almaidah kenapa tidak masuk?”
“katanya sih, dia sedang sakit tips dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit”.
“hah??!” responku kaget
“rencananya nanti saya sama Fany dan Ela akan menjenguknya. Kamu mau ikut??”
“oke, saya ikut” jawabku girang karena siapa tahu aku bias bertanya pada Almaidah disana.
Di rumah sakit, sebuah selang impus di pasang di pergelangan tangannya. Dia tampak tak sadarkan diri. Aku mengurungkan niatku lagi.
Bergegas dan berlari.
“aku harus cepat! Kalau ayah tahu aku tidak ada di rumah, aku bisa dihabisi suara ayah yang mengerikan atau lebih parah lagi, aku bisa di pukul nich”. Berkata dalam hati sambil beerlari.
Aku masuk dari belakang melewati jalur yang sama dengan yang kulewati untuk pergi tadi pagi. Pagar tetangga ku terjang. Pelan-pelan kubuka jendela kamarku yang sengaja tidak aku kunci tadi pagi agar aku bisa melewatinya saat pulang nanti. Tapi anehnya, jendela itu tidak bisa dibuka dan terpaksa aku lewat pintu depan yang merupakan pintu satu-satunya dari rumahku. Aku berdoa dalam hati
“ya Tuhan, ,mudahan saja ayah tidak ada dirumah”.
Kubuka pintu pelan-pelan supaya tidak ketahuan. Akan tetapi, aku tidak beruntung. Diruang tengah, ayah sedang duduk di atas kursi dengan memegang sebuah rotan berukuran kecil sambil menghisap rokok. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan mendatangi ku,, dan sebuah pukulan rotan kecil mendarat di pipi sebelah kananku dan aku pun terjatuh. Aku mendengar suara jeritan ibu sebelum kesadaranku memudar dan hilang.
Aku lihat ibu tersenyum bahagia di barengi tangisan gembira karena melihatku sudah menjadi sarjana linguistik. Aku mendekatinya dan dia berkata pelan padaku.
“anakku … sekarang kau adalah seorang sarjana. Kau sudah ada di atas cita-cnta yang kau damba. Tak sia-sia ibu membanting tulang untuk menyekolahkanmu selama ini. Rasa bahagian ini, tak bisa ibu katakan dengan kata-kata, tak bisa diungkapakan dengan pribahasa, dan ibu umapamakan dengan perumpamaan. Mulai sekarang kau harus menjalani hidupmu sendiri. Jadilah orang yang berguna bagi bangsa dan negaramu. Selamat tinggal anakku” mengilang bersama cahaya putih laksama matahari.
“ibu…ibu jangan pergi…”suara ku terasa tak bisa keluar.
Aku terbangun. Mimpi itu terasa begitu nyata. Apa sebenarnya maksud dari mimpi itu. Aku juga berharap ketika ayah memukulku juga adalah sebuah mimpi belaka, akan tetapi kuraba pipi sebelah kananku ternyata masih terasa sakit. Aku melihat jam weker yang ada di atas meja belajarku. Sudah jam sepuluh malam. Ternyata aku pingsan cukup lama.
Kembali aku meratapi nasibku yang malang ini. Rasanya aku sudah mulai tak sanggup menjalaninya lagi.
“aku tak ingin hidup lagi!”
Ku akhiri hidup ini. Kuambil sebuah silet dan kuputuskan urat tanganku. Darah mengalir. Dan aku pu tiada sadarkan diri. Mungkinkan aku sudah mati.
“aku ada dimana? Apa aku sudah mati” kubertanya pada diriku sendiri. Tapi kurasa belum, sebab kulihat ibu bersamaku dan menangis. Kucoba mengeluarkan suara walau agak sulit kurasa.
“ibu, maaf” entah apa yang mendorong saya untuk minta maaf pada ibu.
“sudahlah nak…ibu sudah tahu, kamu tidak salah surat itu seharusnya tidak dikirim ke kita”
“sungguh?” kataku mendengar cerita ibu yang agak lucu itu.
“hai Ika…cepat sembuh ya” sapa Almaidah yang sudah ada didekatku juga
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya. Ternyata Almaidah juga datang bersama teman sekelasku. Kehadiran mereka ternyata mampu membangkitkan semangat kita untuk terus hidup dan meraih cita-citaku….
Enam bulan telah berlalu di tahun ajaran ini. Ulangan semester ganjil telah dilaksanakan, begitu pula dengan hasilnya juga sudah diserahkan pada masing-masing siswa. Masing-masing siswa yang memegang raportnya pada saat itu, memperlihatkan senyum khasnya yang menandakan kepuasan mereka akan hasil yang telah mereka dapatkan. Ada yang saling menanyai peringkat,nilai, sampai saling membandingkan rata-rata nilai raportnya. Para wali siswa yang mengambilkan raport anaknya juga terlihat senyum yang penuh dengan kebanggan. Akan tetapi, ada seorang murid yang terlihat sibuk diberi nasehat oleh seorang guru,
“Randy…aku saungguh kecewa dengan apa yang telah kau dapatkan hari ini. Dulunya aku percaya bahwa kamu akan berubah dan mau belajar lebih giat lagi untuk memperbaiki nilai-nilaimu. Tapi itu semua kamu anggap angin lalu saja, kau tidak pernah mau menghiraukan apa yang aku katakana selama ini kepadamu. Sekarang terserah kamu saja, aku hanya bisa berdoa agar kamu bisa berubah di semester dua nanti” begitulah nasehat guru itu kepada Randy.
“eh lihat itu, anak yang terkenal pemalas itu sedang dimarahi pak guru” bisik salah seorang murid kepada temannya
“ya…dia itu memang pemalas, jadi wajarlah dia dapat nilai yang tidak memuaskan” tanggap temannya
Begitulah teman-teman Randy bersikap kepadanya. Sekarang dia terlihat termenung sendiri sambil melamun seperti dia sudah menyadari perbuatannya selama ini.
“Hai Randy,,kenapa disitu aja,,ayo kesini!” suara temannya menegur dari belakang
“ah ndak, aku sedang males” jawab Randy dengan suara agak rendah dan muka kecewa
Melihat temannya terlihat murung itu, Daus nama temannya langsung menghampirinya,
“kamu kenapa Ran?” Tanya Daus kepadanya
“ndak apa- apa kok Us” jawab Randy dengan nada tidak bergairah
“ndak kenapa-kenapa kok diam ja disini?” Daus bertanya kembali
“huuuh,,,nilaiku untuk tahun ini sungguh mengecewakan. Hampir seluruh mata pelajaran aku tidak tuntas, balum lagi aku ada di peringkat terakhir di kelas. Aku telah mengecewakan ibuku yang setiap pagi bangun untuk mempersiapkan dagangan dari mulai terbit fajar sampai pulangnya bercucuran keringat. Semua dilakukannya demi aku. Dan yang selalu aku ingat ketika dia mengatakan, lelah ini sama sekali tidak akan terasa ketika melihat anak ibu selalu berada di atas dalam pelajarannya. Begitulah dia mengatakan itu padaku” tutur Randy yang terlihat begitu sedih
“sudahlah Ran, hal ini sekarang telah berlalu. Sekarang kamu harus jadikan ini sebagai pelajaran untuk menempuh kehidupan kedepannya” hibur Daus sambil memegang bahu Randy
“ya…” jawab Randy sedkit merasa terhibur
“lagi pula, peringkat kita juga tidak beda jauh kok. Aku juara tiga yang terakhir” tutur Daus sambil ketawa untuk menghibur Randy, dan Randy pun merasa terhibur dengan hal itu.
“baiklah…sekarang aku akan belajar dengan giat. Lihat saja nanti aku akan juara satu di semester genap yang akan datang” kata Randy dengan penuh semangat yang baru saja kembali
“nah…begitu donk, sekarang ayo kita gabung dengan teman-teman yang lain” ajak Daus
Setelah kesedihannya agak berkurang, lantas dia ikut berkumpul bersama teman-temannya. Kira-kira satu jam meraka saling meluapkan perasaan mereka, baik itu sedih maupun senang, akhirnya mereka semua pulang ke rumah masing-masing setelah menerima pengumuman bahwa liburan akhir semester selama dua minggu.
Dua mnggu telah berlalu setelah pembagian raport itu. semua siswa kembali ke sekolah setelah liburan panjang. Di kelas Randy terlihat siswa siswi sedang sibuk saling bercerita tentang pengalaman saat liburan. Ada juga yang hanya terdiam karena memang liburannya hanya di rumah saja.
Bel pertama tanda pelajaran dimulaipun berbunyi, semua siswa masuk kekelas untuk memulai aktifitas seperti biasa setelah liburan semester. Ketua kelas pergi mengambil peralatan kelas dan guru mengabsen murid-murridnya. Setiap yang di sebut namanya langsung mengatakan hadir. Sampai di sebutlah nama
“Randy…”
“belum datang pak” sahut salah seorang siswa
“hadir” tiba-tiba terdengar suara dari bangku paling belakang tempat duduknya Randy
Semua siswa kaget melihat bahwa Randy telah telah duduk di bangkunya. Kapan ia datang tidak ada yang mengetahui. Semua siswa merasa heran, tapi tidak ada yang berani bertanya, karena takut akan mengganggu pak guru yang sedang mengabsen siswanya.
Setelah mendata semua siswa, bapak guru langsung bertanya kepada siswa siswa
“anak-anak sudah jadi tugas liburannya”
“sudah pak, tapi banyak yang sulit” jawab salah satu siswa yang termasuk siswa paling pintar di kelas tapi sayang dia itu orangnya sombong, Alex namanya
“yang mana yang sulit,Alex?” Tanya bapak guru
“yang nomor 40 sama 50 pak”
“anak-anak siapa yang bisa jawab nomor 40 dan 50?”kembali guru itu bertanya kepada siswa dan terlihatlah sebuah tangan yang terancung tinggi ke atas. Ternyata itu Randy yang ingin menjawab soal yang sulit tadi. Randy pun maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal itu dan semuanya dia selesaikan dengan sangat cepat dan benar. Hal itu membuat teman-teman yang lain kaget dan diam tanpa kata. Randy yang pada semester satu dulu selalu remidi bisa mengerjakan soal yang sangat sulit itu.
Enam bulan telah berlalu saat kejadian itu, dan semester genap pun semakin dekat. Banyak siswa yang masih merasa tidak percaya dan kagum kepada Randy yang begitu berubah drastis. Dulunya sosok yang selalu remidi dengan nilai yang sangat rendah, berubah dengan nilai yang begitu memuaskan. Bahkan dia juga pernah mengalahkan guru dalam pelajaran matematika. Sampai temannya Alex tidak suka kepadanya karena dia merasa tersaingi. Tapi satu yang tidak berubah dari Randy, yaitu sifatnya yang suka begaul dan senang di ajak ngobrol serta tidak sombong dan juga rajin menabung. Sifat-sifatnya itulah yang membuat dia disenangi oleh teman-temannya.
Akhirnya saat yang dinanti telah tiba, yaitu ulangan semester genap dimana kenaikan kelas ditentukan. Semua siswa sibuk belajar mempersiapkan segalanya, dari mental sampai pengetahuan yang telah di peroleh selama enam bulan terakhir. Tidak ada seorang siswa pun yang tidak belajar selama seminggu itu. seminggu yang penuh dengan kesibukan para pelajar untuk belajar tentunya, hingga sampailah pada saat mengetahui hasilnya
Di ruangan tempat pembagian raport itu, terlihat berbagai macam ekspresi wajah. Ada wajah penuh dengan kecemasan, ada wajah yang penuh dengan kekhawatiran, sampai wajah yang terlhat tenang-tenang saja karena sudah punya firasat akan dapat juara dengan nilai yang memuaskan. Terlihat dalam kelas itu, Daus dan juga dekatnya lagi ada Alex yang senantiasa memperlihatkan wajah sombongnya yang selalu merasa bahwa yang juara kali ini pasti dia seperti semester sebelumnya.
“baiklah anak-anak. Sekarang saya akan mengumumkan siapa yang mendapat peringkat pertama sampai peringkat sepuluh. Saya akan memulai dari peringkat ke sepuluh” begitulah pak Ali sebagai wali kelas menyampaikan pembukaan pidatonya. Setelah beberapa lama, sampailah penyebutan siapa yang berada pada peringkat ketiga…
“peringkat ke tiga diraih oleh…Daus” riuh tepuk tangan terdengar dan wajah si Daus yang penuh dengan kebanggaan.
“dan yang mendapat peringkat kedua adalah…Alex” riuh tepuk tangan terdengar pula akan tetapi wajah Alex terlihat kesal karena tidak berada pada peringkat pertama. Kalau bukan Alex, lalu siapakah yang dapat juara pertama? Hal itu masih menjadi mistery dalam benak setiap siswa saat itu, dan tidak lain yang menjadi juara kelas adalah Randy. Akan tetapi semua siswa di sana merasa heran, karena ketika dipanggil-panggil nama Randi tidak ada jawaban juga, dan ternyata Randi tidak masuk. Apakah sebabnya Randy tidak masuk pada saat yang penting itu. Pak Ali juga bertanya-tanya, kenapa Randy tidak masuk tanpa ada keterangan. Kemudian bapak guru menanyakan kepada Daus yang merupakan teman dekat Randi, akan tetapi jawabannya tidak juga di dapatkan. Akhirnya dia berkata kepada Daus
“daus, apa kamu besok punya waktu? Bapak mau mengajakmu ke rumahnya Randi, bapak khawatir kalau nanti Randi ada masalah sampai tidak masuk sekolah, sekalian juga kita mengucapkan selamat kepadanya atas keberhasilannya”
“oh tentu pak, lagi pula saya juga sudah lama tidak kerumahnya sejak semester satu, maklum pak, rumahnya kan jauh dari sekolah” begitulah jawab Daus kegirangan.
“baiklah, besok kita berangkat jam delapan pagi” kata Pak Ali
“ya pak…” jawab Daus
Keesokan harinya, tepatnya jam delapan Daus dan Pak Ali berangkat menuju ke rumah Randi dengan sepeda motor bermerek astrea Prima keluaran tahun 89 yang merupakan milik pak Ali. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 45 menit dengan melewati persawahan dan pedasaan, akhirnya mereka sampai di rumah Randi. Di sana mereka disambut oleh seorang wanita yang kira-kira berumur empat puluh tahunan, tidak lain adalah ibunya Randi. Ibu Randi melihat mereka agak kaget, akan tetapi apakah yang membuatnya kaget? Nanti kita akan tahu
“mari silakan masuk pak” sambut ibunya Randi kepada pak Ali dan Daus seperti sudah kenal dan memang ibu Randi mengenal mereka berdua karena mereka pernah datang kesana sebelumnya.
“ya trimakasih buk” jawab pak Ali sambil duduk di sebuah kursi yang terbuat dari bambu yang sudah terlihat tua tapi masih kuat menanggung satu orang dewasa
“tunggu sebentar pak, saya mau buatkan minum dulu” ibu Randi berkata
“tidak usah repot buk, kita langsung saja menyampaikan maksud kami.”
Lalu ibunya Randi pun mengikuti apa yang tamunya itu inginkan dan dia duduk kembali bersama tamunya itu
“begini bu, kami sangat senang dengan apa yang telah di raih oleh Randi. Peningkatannya dibanding dengan semester satu dulu, dia sudah jauh berubah, hal ini tentunya berkat kerja keras ibu sebagai orang tua juga. Di semester dua ini Randi mendapat peringkat pertama dan kami kesini ingin mengucapkan selamat kepada ibu dan Randi”
Akan tetapi ibu Randi hanya terdiam tanpa kata. Sesaat dia terdiam, kemudian terlihat kedua matanya dibanjiri air mata. Pak Ali dan Daus mengira kalau ibu Randi menangis karena senang, akan tetapi setelah diamati lebih dalam lagi, ternyata ibu Randi menangis karena bersedih. Dalam tangisannya itu, dia mengeluarkan sepatah kata
“pak Ali dan nak Daus, sebelumnya saya minta maaf karena saya tidak pernah mengabarkan tentang musibah yang Randi alami”
Sambil keheranan dan tidak mengerti pak Ali langsung bertanya kepada ibu Randi
“apakah yang ibu maksud sebenarnya, kami tidak mengerti?”
Lama pertanyaan itu dijawab ibu Randi, karena sangat sedihnya menahan air mata, kemudian di lanjutkanlah pembicaraannya
“dulu, saya sebagai ibu Randi sangat mengharapkan Randi menjadi anak yang rajin dan pandai dalam pelajarannya. Mingkin itulah yang membuatnya merasa punya kewajiban kepada ibu untuk suatu saat menjadi anak yang berprestasi. Akan tetapi semua itu kandas di tengah jalan” ibu Randi menghentikan pembicaraannya untuk menahan tangis.
Lalu Daus mencoba mengeluarkan suara dan berkata
“kenapa ibu bilang gitu, kan sekarang Randi sudah berhasil memenuhi keinginan ibu”
“Randi telah meninggal enam bulan yang lalu dalam sebuah kecelakaan” jawaban yang tiba-tiba dilontarkan oleh sang ibu yang berlinang air matanya kepada pak Ali dan Daus. Suasana saat itu menjadi hening seketika, pak Ali dan Daus yang mendengar berita itu tidak lain yang dikatakan,
“innalillahiwainnailaihirojiun”
Saking sayangnya kepada ibunya dan ingin memenuhi keinginannya, walaupun dunia berbeda tidak membuatnya menyerah untuk meraih cita-citanya. SEKIAN