Fi masih termangu dengan sebuah rasa yang tetancap dalam palung jiwanya. Sebuah rasa yang akhir-akhir ini menemani setiap alunan langkahnya. Rasa itu semakin memberatkan langkahnya tuk melanjutkan fase kehidupan selanjutnya. Dia benar-benar ingin keluar dari sekat-sekat yang telah menghalangi pandangannya. Dia sandarkan kepalanya di kursi angkot yang ia tumpangi. Sesekali ia menutup wajahnya dengan telapak tangannya agar tehindar dari bias-bias mentari yang menembus kaca angkot. Kadang juga ia menunduk, tapi udara dalam angkot begitu panas dan sesak. Rasanya ia ingin muntahkan semua isi perut dan isi hatinya yang terus bergejolak. Tak ayal ia melongokkan kepalanya ke luar jendela angkot. Sang bayu lembut menyapa wajahnya yang mulai memucat. Ia mencoba menutup matanya dan menarik nafas dalam-dalam berharap angin lembut itu menyusup ke lorong-lorong jiwanya. Rasa itu tiba-tiba hadir kembali. Ia tersenyum kecut. Rasa itu membentuk sebuah bayangan yang bergelantungan di setiap bangunan yang ia lewat bak barang yang menunggu pembeli. Ia segera menyelamatkan wajahnya ketika pancaran matahari matahari menampar wajahnya. Ia mendesah. Ingin segera ia keluar dari angkot yang menyesakkan paru-parunya dan keluar dari perasaannya yang berceceran di setiap ruang hatinya.
Jalan-jalan lubang yang tak mampu dihindari sopir membuat tubuhnya bergoyang-goyang layaknya penari dangdut. Lubang-lubang itu semakin melubangi hatinya membentuk sumur duka. Betapa ingin ia hentikan perjalanan yang membosankan ini. Jiwanya memberontak. Rasa itu benar-benar telah merenggut keceriaannya. Hari-hari yang ia lewati terasa tak punya arti. Kini, ia tersesat dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia mencoba untuk kembali ke dunia nyata, tapi rasa itu telah berubah menjadi terali-terali besi yang menembus bumi.
“Mau?” tawar seseorang di samping Fi. Ia tersentak dan menoleh ke orang itu. Dia dapati sesosok ibu paruh baya yang tersenyum lembut sambil menyerahkan biskuit kepadanya. Fi diam mematung menatap tajam kepada ibu itu. Pandangan mereka bertemu dalam satu gelombang dan getaran yang tak terbaca. Fi terhenyuk menatap bola mata ibu itu yang sayu. Garis-garis yang membentuk keriput di wajah ibu itu menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang tegar dan tangguh.
“Mau?” tawar ibu itu lagi memecahkan kesunyian setelah sekian detik mereka beradu pandangan.
“Hah! Nggaak, Bu. Makasih,” ucap Fi malu-malu. Dia segera melemparkan pandangannya dari ibu itu. Pikirannya menerawang jauh dan membentuk sesosok wanita yang bisa ia panggil ibu. Matanya terasa hangat. Butiran-butirn bening mengalir di pipinya. Terasa perih dan menyengat tubuhnya yang kurus kering. Dirinya serasa tak bernyawa lagi walaupun masih jelas ia rasakan debar jantungnya.
Angkot yang Fi tumpangi berhenti mendadak di perempatan kota tempat ia mengais-mengais rezeki. Otaknya kembali pada satu titik bahwa ia harus bekerja di sini. Dia menenteng tas usangnya keluar angkot. Udara panas buatan gedung-gedung industri telah siap menyapa alat pernafasannya. Teman-temannya sudah berkeliaran di jalan-jalan besar itu. Fi berlari kecil menghampiri mereka. Terdengar suara mereka menjajakan koran beradu dengan deru mesin kendaraan yang memadati jalanan itu membentuk sebuah parade kehidupan yang misterius.
***
“Fi...! Fi...!” panggil Bapak Fi dari kamar. Suaranya begitu lemah. Bapak Fi berkali-kali memanggilnya akhirnya berhasil membangunkannya dari goresan-goresan mimpi yang sedang ia ukir. Dengan langkah sempoyongan dan mata yang terkatung-katung Fi menemui bapaknya.
“Ada apa sih, Pak? Malem-malem gini gangguin aku tidur aja,” ucapnya dengan rasa jengkel.
“Anterin bapak ke kamar mandi, Nak!” pinta bapak Fi dengan wajah memelas. Ada guratan letih yang terpancar dari wajah bapaknya.
“Bapak ini gimana sih. Mau ke kamar mandi aja pake dianter segala. Seharian aku kerja. Capek. Bapak ngertiin aku dong,” keluh Fi dengan mimik yang sangat menyakitkan. Bapaknya terdiam sejenak. Dengan tenaga seadanya Bapak Fi mendorong kursi roda yang telah menyatu dengan tubuhnya. Fi menyadari ada pemandangan kecewa di wajah bapaknya yang telah Fi lukis dengan kata-katanya sendiri. Tetapi rasa kantuknya telah membawa ia menjadi sosok yang tak peduli dan tak mengenal bapaknya. Ia kembali melanjutkan ritual tidurnya dan berharap bisa bertemu dengan sesosok yang terjebak dalam lilitan rasanya walau hanya di mimpi.
***
Panas matahari menyengat tubuhnya siang itu. Riuhnya bunyi kendaraan seperti celotehan jalanan di gendang telinganya. Kulitnya yang gelap semakin tak karuan warnanya. Sesekali ia menyeka keringatnya yang bercucuran. Dunia seakan memanggang hatinya menjadi arang. Ia segera menjauh dari hiruk pikuk yang penuh dengan kekalutan itu. Ia duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Pohon itu adalah satu-satunya yang ia temukan di jalanan gersang ini. Ia bersandar pasrah di batang pohon yang sudah tua itu. Ia menatap tumpukan koran yang masih belum terjual. Ya Allah, sampai kapan seperti ini terus? Bisiknya dalam hati. Ia melihat segerombolan anak-anak SMP pulang sekolah di persimpangan jalan. Getaran hebat terjadi di sungai matanya membentuk mutiara-mutiara berjatuhan di pipinya. Tubuhnya menggigil. Ia semakin erat memeluk koran-koran itu. Betapa Fi merindukan tempat yang ia biasa ia sebut madrasah. Ia merindukan seragam-seragam dan teman-temannya. Ia merindukan semuanya. Merindukan setiap sudut madrasahnya. Akan tetapi, masa lalu tetap menjadi masa lalu. Kenangan tetap menjadi kenangan. Madrasah, seragam, teman-teman Fi telah menjauh pergi dari atmosfer hidupnya.
Masih terekam jelas saat Fi menangis pilu meronta kepada bapaknya tuk melanjutkan sekolah, tapi sayang bapaknya tak mampu mewujudkan mimpinya itu. Kondisi keluarganya takmampu mengantarnya menjadi pelajar SMP. Terlebih lagi bapak Fi semakin renta dan sakit-sakitan. Kecelakaan lima belas yang lalu telah merenggut kedua kaki Bapak Fi. Kakinya terlindas truk seusai kerja. Sejak itu Bapak Fi di PHK. Bapak Fi frustasi. Saat itu Fi belum lahir dan Bapak Fi tak mau membicarakan tentang itu. Biarkan hanya Bapak Fi saja yang tau betapa inginnya ia mati saja waktu itu, tapi Allah masih memberikan Bapak Fi kesempatan untuk bertahan sampai sekarang walau satu sisi Bapak Fi sering menangis dalam sudut malam. Menangisi dirinya yang tak berguna untuk Fi. Bapak Fi tak tega menyaksikan Fi menikmati masa kanak-kanaknya di jalanan bertemankan ganasnya mentari. Mengingat itu Fi menangis dalam diamnya. Diam ikhlas atau tidak. Tetapi, ia menganggap bapaknya telah menukar madrasahnya dengan jalan itu.
Setiap pagi orang-orang sibuk ke madrasah, tapi ia malh sibuk di jalan. Akhirnya Fi putuskan menjadikan jalan itu sebagai madrasahnya. Madrasah kehidupan yang telah mendidiknya menjadi setangguh karang di tepi lautan. Jalan raya itu jalanyang sama di mana kudapatkan selang demi selang eretan angkutan dan orang berlalu lalang. Fi tak tahu tahun ke berapa ia menghuni jalan itu beratapkan kecemasan dan beralaskan rindu. Jalan bisu yang misteri bagi Fi.
***
Wajahnya bersinar-sinar mengalahkan cahaya cakrawala pagi itu. Senyumannya merekah. Matanya berbinar-binar ketika pandangannya jatuh di halaman depan koran itu. “Sepuluh TKW akan dipulangkan ke Indonesia”. Berarti sosok yang Fi nanti akan kembali pulang. Ia tak sabar ingin memberi tahu bapaknya. Berita bahagia akan datangnya sosok yang sedang menuju dermaga hatinya.
“Bapak...! Bapak...!” teriak Fi girang dan menyelinap masuk ke kamar memeluk bapaknya.
“Lo ada apa ini? Kok ada acara pelukan segala?” tanyak Bapak Fi heran meski guratan-guratan wajahnya menunjukkan Bapak Fi bahagia melihat Fi seceria itu. Fi menyerahkan koran itu kepada bapaknya. Guratan-guratan bahagia di wajah Bapak Fi berubah kusam dan gelisah. “Berarti kita harus siap-siap dong,” ungkap Bapak Fi dengan ekspresi bahagia yang dibuat-buat.
“Ya dong. Kira-kira ibu sampe rumah kapan?”tanya Fi semangat.
“Biasanya sih dua minggu baru sampe. Kira-kira hari Senin,”ungkap Bapak Fi datar.
“Yo...yo...yo...! Sekarang aku punya ibu,” teriak Fi sambil melingkari tangannya di tubuh bapaknya. Bapak Fi semakin erat memeluk tubuh Fi yang semakin kurus dan terurus. Maafkan bapak, Fi,” jerit Bapak Fi dalam hati.
***
Pagi-pagi sekali Fi berangkat. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktunya. Ia harus mendapatkan uang minimal Rp 50 ribu untuk membelikan baju untuk ibunya. Tetapi, hari itu tak bersahbat dengan Fi. Hujan mengguyur jalan bisu itu. Ia bersandar di emperan toko memeluk kakinya sendiri dan membenamka kepalanya. Terdengar jelas jantungnya beretak lebih cepat. Ia merasakan desiran halus yang mengharu biru dalam lubuk hatinya. Semuanya membara dalm kedinginan yang terbungkus rindu.
Hujan belum juga jemu menangisi jalan ini. Fi masih terpekur di sudut toko itu. Ia teringat dengan sol sepatu di rumahnya. “Kenapa aku tak jadi tukang sol sepatu juga? Mungkin bisa menambah penghasilanku untuk beli baju buat ibu,” ungkap Fi pada dirinya sendiri. Fi memutuskan tuk pulang dan berharap mentari akan menyapanya besok pagi.
***
Hasil penjualan koran Fi hari ini lumayan banyak. Ia tak menyangka akan dapat uang Rp 40 ribu. “Alhamdulillah,” Fi mengucap syukur. Ia butuh uang tinggal sepuluh ribu lagi. Hari ini profesinya sebagai loper koran bermetarmorfosis menjadi tukang sol sepatu. Fi mendapatkan penghasilan lebih dari yang ia harapkan. Fi berhasil mengumpulkan uang Rp 80 ribu. Ia membelokkan langkahnya memasuki toko baju. Dia terpesona dengan gaun-gaun indah yang bergantungan pada setiap sudut toko itu. Fi berkhayal seandainya ia membeli semuanya untuk ibunya. Pasti sangat membahagiakan. Fi merapat ke bagian baju yang sesuai dengan uang yang ia punya. Fi bingung tak tau ukuran tubuh ibunya, karena Fi tak pernah meihat ibunya. Bapak Fi bilang kalau ibunya pergi Malaysia ketika Fi beumur satu tahun. Fi tak punya bayangan lekuk tubuh ibunya, wajah ibunya, tapi Bapak Fi bilang ia sangat mirip dengan ibunya. “Apa ukuran ibuku sama dengan ukuran ibu yang pernah menawarkanku biskuit di angkot dulu?” tanyanya penasaran. Pandangannya jatuh pada sebuah baju bermotig bunga. Sangat cantik dan modis. Warnanya biru cocok untuk kulit ibunya. Ia mengambil baju itu dan menyerahkannya ke kasir.
Sampai di rumah, Fi membungkus baju itu dalam bingkisan cantik. Bapak Fi tersenyum pahit menyaksikkan semangat Fi.
***
Seminggu lebih berlalu
Besok adalah hari bahagia untuk Fi. Ingin ia tukar malam ini dengan pagi yang berhiaskan mentari. Kini ia dirilis kerinduan hingga waktu terasa begitu lambatnya. Ia membuk jendela kamarnya. Ia sengaja membiarkan angin malam berhembus mengisi kamarnya yang kecil dan sederhana. Temboknya yang memucat dipenuhi kata ibu. Ia merapat ke daun jendela. Bias-bias cahaya rmbulan mengalahkan cahaya lampu kamarnya. Fi masih terdiam memendam kerinduan. Ia merasakn sang bayu membelai wajahnya. Ia terus mendekam dalam rindu seperti kesunyian menjadi sugesti sebuah pertemuan. Ukuran jarak terus menerawang mencari jalan. Hela nafas langkahnya tertahan. Hatinya merong-rong. Jiwanya yang hampa tak terdiam.
Malam semakin larut dalam kesunyian. Debarnya merobek jantung. Fi tak ingin meninggalkan malamnya. Ia biarkan semuanya terlelap dan tenggelam dalam mimpi indah mereka. Malam ini adalah miliknya. “I...bu! I...bu!” Fi mencoba menyebutkata ibu. Fi menertawakan dirinya sendiri. Esok akan ada sosok yang akan menemani dan mendengarkan keluh kesahnya. Esok akan ada sosok yang akan menjadi tempat merebahkan tubuhnya. Esok akan ada yang menemaninya menatap cakrawala. Sosok ibu yang tak pernah Fi lihat wajahnya. Fi tenggelam dalam rindunya yang terus bermekaran di taman hatinya.
***
Mentari pagi menyapa gubuk sederhana itu. Burung-burung bernyanyi meramaikan penghuni gubuk itu. Awan membentuk senyuman untuk anak adam yang menanti sosk bidadari. Fi sudah duduk di kursi tua sambil menatap bingkisan cantik untuk ibunya. Bapak Fi tak bergeming menyaksikkan Fi dalam penantian panjang yang tak pernah usai. Hari suah siang, tapi sosok yang Fi nanti-nanti tak kunjung datang. Fi resah.
“Pak, kita jemput ibu saja. Mungkin gak ada angkot buat ke sini,” ajak Fi semakin gelisah.
“Tidak, sayang. Di koran bilang mau dianter sama petugas,” bapak Fi mencoba menenangkan Fi.
“Atau mungkin ibu lupa jalan ke rumah. Ibu kan udah sepuluh tahun di sana,” Fi meyakinkan bapaknya. Bapak Fi tak membalas komentarnya. Bapak Fi menangis pilu di sana. Tak ada satu pun jalan keluar di otaknya untuk mengakhiri penantian Fi. Dua hari berlalu dari hari yang Fi nantikan. Penantian ini terasa melelahkan baginya. Jarak yang melelahkan perjalanan panjang dari makna asa yang terselimuti gelap pada dinginnya hawa pekat.
Lima hari berlalu dan menguap bersama harapan Fi. Wajahnya muram. Untuk menggerakkan bibirnya membentuk sunggingan senyum teras berat untuknya. Fi tak mau bicara. Ia hanay diam mematung i depan bingkisan yang semakin usang. Fi mendengar suara samar-samar di teras rumahnya. Ia mengintip dari balik tirai. Bapak Fi sedang berbicara dengan Pak RT. Wajah mereka pucat pasi. Mereka berbicara sangat pelan dan hati-hati.
“Kenapa Pak RT ke sini? Apa yang sedang mereka bicarakan?” tanyanya penasaran. Fi menempelkan daun telinganya di tembok. “Kenapa bapak setega ini sama Fi?” tanya Pak RT. Fi terkejut mendnegar Pak RT. “Memang apa yang bapak lakuin sama aku?” Fi galau setengah mati.
“Tak baik membohongi anak terus menerus. Fi sudahbesar. Dia berhak tau yang sebenarnya,”petuah Pak RT yang bijaksana.
“Saya gak tega, Pak. Saya sangat menyayangi Fi walaupun Fi bukan anak kandung saya. Memang dulu saya tak mau menerimanya. Saya gak tega melihatnya sedih,” Bapak Fi sesenggukan. Tubuh Fi bagaikan tersengat listrik. Tubuhnya gemetar. Wajahnya memucat. Ia tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia bukan anak kandung Bapak Fi. Amarah Fi memuncak. Ia mebuka pintu dengan kasar. Pak RT dan Bapak Fi kaget dengan kedatangan Fi.
“Apa maksu semua ini? Apa yang bapak sembunyikan dariku?” tanya Fi menangis. Bapak Fi tak bergeming. Ia tak kuasa mendengar rintihan Fi yang menusuk ulu hatinya.
“Pak, jawab!” berontak Fi.
“Baik bapak akan ceritakan. Tapi kamu harus kuat. Sebenarnya kamu bukan anak kandung bapak. Lima tahun ibumu meninggalkan bapak di sini sendiri. Sehari sebelum ibumupulang, bapak mengalami kecelakaan yang mengharuskan bapak harus duduk di kursi roda ini. Bapak tak percaya telah kehilangan dua kaki. Bapak frustasi waktu itu. Dan di tengah kefrustasian itu, ibumu pulang dari Malaysia dalam keadaan hamil besar hasil perselingkuhannya dengan majikannya di sana. Bapak bemar-benar kalut waktu itu. Serasa semua roda kehidupan ini berhenti. Semuanya terasa sesak dan menyakitkan. Dua hari setelah itu, ibumu melahirkan kamu dan saat itu juga ibumu meninggal dunia. Kamu tidak tahu betapa remuk redamnya jiwa bapak. Bayangkan berapa tahun bapak memendam rindu kepada ibumu, tapi ibumu malah membawa bingkisan nestapa untuk bapak. Saat itu bapak ingin mati saja. Serasa semuanya telah berakhir. Tidak ada lagi fase kehidupan yang telah menanti.Bapak benar-benar tak kuat. Bahkan bapak menyalahkan Tuhan kenapa beban ini harus diberikan kepada bapak. Tetapi Tuhan telah membuka hati bapak untuk menerima kamu apa adanya. Maafkan bapak baru sekrang memberi tahumu. Bapak benar-benar tak kuat. Maafkan bapak telah memasungmu dalam derita bapak...,” Bapak Fi tak melanjutkan kata-katanya. Suaranya tertelan oleh suara tangisnya yang menyayat hati.
Fi diam seribu bahasa. Tak ada satu patah kata pun yang ia ucapkan. Semuanya buntu. Pikirannya membatu. Betapa malunya ia setelah ia tahu siapa dia sebenarnya. Dia hanyalah insan yang tak pernah diharapkan di gubuk ini. Dia adalah penyebab Bapak Fi memilih mati. Ia telah menghancurkan hidup Bapak Fi. Dunia semakin menyempit dan menghimpit tubuhnya. Wajahnya memucat. Kebencian tiba-tiba menerobos masuk ke dalam hati Fi. Ia membenci ibunya. Penantian itu menguap terbang bersama angin membentuk awan tebal. Tidak ada sosok yang akan menemaninya, mendengar keluh kesahnya. Memang tidak akan pernah ada sosok yang akan ia panggil ibu. Selama ini ia hanya menanti bayangan-bayangan semu tak ada arti. Air matanya membungkam mulut.
Malam semakin larut. Bulan semakin memucat. Ia tak kuasa menahan rasa malu, bemci, dan kecewa yang bersarang di hatinya. Fi beranjak dari peraduannya dan berlari menembus malam.
“Fi...! Harfi!” teriak Bapak Fi kepadanya. Ia tak pedulikan panggilan Bapak Fi. Ia terus berlari membawa duka dan benci. Ia pergi sejauh-jauhnya sampai suara Bapak Fi hilang tertelan suara malam yang mencekam. Bayangan Fi lenyap di jalanan lengang nan pekat itu.
Lanjutkan=>