TENTANG FEBRY
Pagi itu seperti biasa aku bersama Septi berjalan beriringan menuju ke sekolah. Udara desa Janapria di pagi hari benar-benar membuat bibirku tak henti-hentinya mengukir senyuman. Sesekali kulirik Septi yang sedari tadi memonyongkan bibirnya. Sepertinya dia masih marah besar dengan keputusan Mamak untuk menjodohkannya dengan anak Kepala Desa yang playboy itu. Aku mencoba menggoda kakakku dengan mencubit bahu kirinya dengan harapan dia akan tersenyum. Ternyata dugaanku salah, dia malah melemparkan kerlingan tajam ke arahku. Aku mati gaya dan spontan membuang pandangan ke hamparan sawah yang terbentang di kiri dan kanan jalan. Tampak banyak tanaman palawija warga yang tumbuh dengan subur. Butuh waktu kurang-lebih 20 menit untuk sampai di sekolah, dan selama 20 menit itu juga aku dan Septi membisu seribu bahasa.
Namaku Baiq Febri Wulandari. Terlahir dari sebuah keluarga keturunan bangsawan Selaparang yang tinggal di desa Janapria. Almarhum mamiqku bernama Lalu Yudha Pratama, sedangkan mamakku bernama Lilis Muliati. Aku memiliki seorang kakak perempuan bernama Septi Arumi. Kami bersekolah di sekolah yang sama bahkan kelas yang sama. Opsss... jangan salah. Aku dan Septi bukanlah saudara kembar. Septi adalah kakak tiriku. Mamaknya yang kebetulan orang jawa dan bukan keturunan bangsawan Lombok telah bercerai dengan suaminya, kemudian menikah dengan mamiqku yang kebetulan sedang menduda. Mamak kandungku bernama Baiq Sekar Wulansari telah menghadap Sang Maha Kuasa semenjak aku duduk di bangku SD dulu. Bertahun-tahun mamiqku dibelenggu kesepian hingga akhirnya beliau berjumpa dengan sesosok wanita bernama Lilis Muliati dari Jawa Timur. Mereka pun memutuskan untuk menikah. Setelah membangun rumah tangga selama lima tahun, mamiqku meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas saat ingin mengambil rapotku dan Septi di sekolah.
Air mataku mengalir begitu saja tatkala mengingat kejadian dua tahun yang lalu itu. Kejadian ketika aku dan Septi masih sama-sama menduduki bangku kelas X SMA. Miq, Mak, tiang kangen. Tiang kepengen peluk Mamiq sama Mamak. Mamiq sama Mamak sedang apa di sana? rintihku dalam hati. Suasana hiruk pikuk dan suara sound yang berdentum keras dengan lagu Avenged Sevenfold tak sedikitpun membuatku bergeming dari rasa kerinduan dan kesepian. Kelas XII BAHASA 2, yaitu kelasku ini memang selalu seperti itu ketika ada guru yang tidak masuk mengajar. Sedangkan di pojok kelas, tampak Septi yang sedang mengecat kuku jari-jemarinya yang lentik sambil di temani dengan geng gosipnya.
“Febri...!”
Aku tersentak. Suara itu seketika membuyarkan lamunan akan kedua orang tuaku. Aku celingak-celinguk mencari sumber suara yang memanggil namaku tadi. Ternyata Roby, wakilku sebagai ketua osis di SMAN 4 Janapria.
“Eh, Bu ketua OSIS. Maksud kamu apa ngirim SMS kayak gitu tadi malem?” bentak Roby tiba-tiba.
Suasana kelas menjadi beku dan aku pun membatu. Tidak ada yang bersuara dan melakukan aktivitas lain selain menyaksikan aku dan Roby.
“SMS yang mana maksud kamu?”tanyaku dengan memasang wajah santai.
“Ini..!! aku bacain sekarang..!” kata Roby sambil mengeluarkan ponsel Blackberry mahalnya.
Aku pun kembali membatu. Tetapi mataku dengan lincah memperhatikan gerak-gerik lelaki tampan di hadapanku itu. Beberapa saat kemudian Roby pun bersuara.
“Kepada wakilku terhormat, harap untuk lebih disiplin dalam menjalankan tanggungjawab Anda sebagai wakil ketua OSIS. Karena jika tidak, saya mempunyai wewenang untuk melaporkan Anda ke pembina OSIS. Terima kasih”
Roby menutup ponselnya kemudian menatap mataku tajam seolah ingin menerkam. Lagi dan lagi aku memasang wajah santai walaupun sebenarnya aku sangat ketakutan. Roby maju tiga langkah sehingga wajahnya tinggal beberapa senti jaraknya dengan wajahku.
“Oh.. SMS itu maksud kamu. Ya, aku memang sengaja ngirim SMS itu ke kamu, sebagai teguran aja kok. Soalnya kalok aku perhati’in, kamu makin males buat ngerjain kewajiban-kewajiban kamu. Kenapa? Apa gara-gara kamu masih belum bisa nerima aku sebagai ketua OSIS sedangkan kamu jadi wakilnya? Aku rasa itu bukan suatu masalah yang harus selalu kamu permasalahin dan kamu perdebatin ama aku. Intinya kita kan ada dalam sebuah organisasi yang sama, mempunyai visi dan misi yang sama dan mempunyai tugas yang sama. Jadi, aku harap kita bisa bersama-sama untuk ngejalanin kewajiban dan tugas-tugas kita itu.”
“Enggak! Sampe kapan pun aku gak mau kerja sama ama kamu, apalagi jadi wakil kamu! Mau ditaruh di mana muka aku? Masak cewek yang jadi ketua sedangkan cowok jadi wakilnya? Gak kebalik tu?! Derajat cowok kan lebih tinggi daripada cewek...! Hahaha.. lagipula, emangnya kamu bisa apa dalam organisasi ini? Palingan juga ngabisin uang kas OSIS buat beli jajan terus jalan-jalan ke pasar malem, ya kan?! Aku akuin kamu pinter dan selalu dapet peringkat tiga besar di kelas, tapi aku juga akuin kalok kamu tu lebih pinter cari muka di depan para pembina OSIS dan temen-temen yang lain, sampe-sampe kamu yang kepilih jadi ketua OSIS, bukan aku!! Bravo..!! hebat non..!! hahaha...”
Suasana kelas yang semulanya hening menjadi agak riuh. Sepertinya ada pihak yang pro dan kontra terhadap kata-kata Roby itu. Sedangkan Septi tetap di posisi awalnya dan tak bergeming sedikit pun. Aku lemah melihat perlakuannya. Jujur, di saat-saat seperti ini aku benar-benar membutuhkan dia untuk membelaku. Tapi sayang, itu takkan mungkin terjadi. Aku menghela nafas panjang dan menghipnotis diriku sendiri untuk tidak gentar apalagi meneteskan air mata. Kukumpulkan kekuatan melalui doa yang kubaca dalam hati hingga akhirnya aku pun kembali bersuara.
“Oh... ternyata kamu benar-benar belum bisa menghargai aku sebagai ketuanya. Heran. Kok ada ya cowok yang seegois dan seangkuh kamu di dunia ini. Kamu kira mentang-mentang aku cewek lantas aku gak bisa berbuat apa-apa? Gak bisa bertanggungjawab? Gak bisa lebih baik dari kamu? Oh... jangan salah!! Maaf, aku gak bermaksud buat sombong, tapi kenyataannya aku memang lebih baik dari kamu yang cuma bisa ngabisin duit orang tua buat foya-foya ama koleksi cewek kamu! Kamu kaya, pinter, keren, tapi sayang kamu gak bisa memanfaatkan karunia tuhan itu dengan baik. Hati kamu terlalu keras buat menghargai orang-orang di sekitar kamu. Hati kamu terlalu keras sampe-sampe menyakiti diri kamu sendiri!”
Aku berbicara panjang lebar dengan intonasi yang tetap tenang. Kutatap Roby yang masih berdiri tegak di hadapanku. Dia tak terusik sedikit pun dengan kata-kataku tadi. Bibirnya malah mengukir sebuah senyuman sinis yang mengiris hatiku. Beberapa saat kemudian tawanya membelah keheningan kelas.
“Hahaha..... tau apa kamu dengan hidup aku? Jangan sok tau kamu jadi cewek! Walaupun kita udah bareng kelas selama kurang-lebih tiga tahun, aku gak pernah mau tau semua tentang kamu, hidup kamu!! Tapi aku gak nyangka, kamu bisa sok tau tentang masalah hidup aku! Hahaha..... cewek lembek kayak kamu jangan sok mau ikut campur urusan aku deh. Satu lagi, jangan coba-coba kamu nyuruh aku buat respect ama kamu! Gak bakalan..!!”
“Roby!! Kalok kamu emang gak bisa respect ama aku, fine..!! aku gak apa-apa. tapi kita udah disumpah buat ngelaksanain tanggung jawab kita dalam OSIS selama setahun ke depan!! Aku mohon banget ama kamu, please.... aku minta kerja sama kamu Roby..”
“Whatever......!!! hahahaha....”
Roby tertawa sendirian. Suaranya bagaikan panah panas yang menembus genderang telingaku. Seketika bulir air mataku jatuh juga. Hatiku sakit, bahkan teramat sakit untuk menghadapi sosok pria yang keras di hadapanku itu. Aku pun menyeka air mataku sebelum terlihat oleh Roby.
“Roby, kamu perlakuin aku seolah-olah kamu bukan terlahir dari rahim seorang perempuan. Seolah-olah kamu hidup di dunia ini bukan karena kasih-sayang seorang perempuan. Dulu kamu pernah bilang ke aku, perempuan itu sesuatu yang berharga dan harus dijaga. ‘Perempuan tercipta bukan dari ubun-ubun seorang laki-laki untuk dipuja dan dipuji, bukan pula dari telapak kaki untuk dihina dan dicaci maki, tetapi perempuan tercipta dari rusuk kiri yang dekat dengan tangan untuk dilindungi, dekat dengan hati untuk disayangi dan dicintai.’ Apa kamu udah lupa ama kata-kata kamu sendiri? Apa kamu perlakuin mamak kamu kayak gini juga?”
Roby berhenti tertawa. Dia memasang wajah garangnya lagi. Kali ini tatapannya semakin menakutkan. Aku mengenggam kedua tanganku dengan erat sebagai upaya menghilangkan rasa takut. Sedangkan mataku tetap tenang bak air sungai yang tak beriak. Kutatap mata Roby dalam-dalam, mencoba membaca semua rahasia jiwanya, menembus otak dan relung hatinya. Aku tau, Roby memiliki sisi lain yang tak pernah dia tampakkan akhir-akihi ini. Dan aku akan terus berusaha untuk mengeluarkan sisi aslinya itu. Beberapa saat kemudian, dahi Roby berkerut, tatapan matanya perlahan-lahan semakin melembut. Aku meraih tangannya. Dia tak melawan dan tetap membisu menatap mataku.
“Aku kenal kamu lebih dari tiga tahun. Kita saling kenal sejak kecil Roby. Hanya saja kita baru bareng kelas selama kurang-lebih tiga tahun terakhir ini. Aku tau, ini bukan Lalu Roby Kurniawan. Ini sisi Roby yang masih terguncang gara-gara ditinggalkan mamiqnya tiga tahun yang lalu. Kamu sulit buat percaya ama cewek, karena ibu kamu yang ngerusak kepercayaan almarhum mamiq kamu kan? Mamak kamu pasti punya alasan tersendiri Roby, aku yakin mamak kamu sangat nyesel sekarang. Kenapa kamu sulit banget buat maafin mamak kamu sendiri? Kenapa harus cewek-cewek lain yang jadi tempat pembalasan dendam kamu? Termasuk aku yang selalu care ama kamu? Mamiq kamu pasti sedih ngeliat kamu kayak gini sekarang.”
Dengan intonasi rendah aku mengatakan semua itu. Roby tetap tak bergeming menatap mataku yang sedari tadi sudah basah karena meneteskan air mata. Suasana kelas masih membeku. Tak ada suara kursi dan meja yang bergeser, tak ada suara sound yang berdentum keras, tak ada suara bisik-bisik pro dan kontra, dan tak ada aroma cat kuku yang menyengat. Cat kuku? Aku teringat akan Septi yang ternyata sudah tidak ada di dalam ruangan kelas. Mataku pun liar mencari-cari sosok kakak tiriku itu. Ke mana dia bersama geng gosipnya?
“Febry....!”
Suara Roby yang lembut membuatku melupakan Septi seketika. Aku kembali menatap matanya yang benar-benar beda. Lembut, benar-benar lembut. Pancaran kasih sayang yang hilang selama tiga tahun kembali aku rasakan dalam matanya. Aku sempat sesak nafas melihat sorot matanya.
“I..iya....?” kataku tersendat-sendat.
“Menurut kamu, apa Mamakku bener-bener nyesel dengan perbuatannya?”
“Iya, pasti. Tapi aku gak tau apa alasannya. Maka dari itu, lebih baik kamu nanya baik-baik ama Mamak kamu. Selesaikan secara kekeluargaan. Bagaimanapun juga, beliau kan mamak kamu.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Yakin.”
Sifat Roby yang keras kini perlahan-lahan mulai mencair. Dia menjadi lebih lembut sekarang. Mungkin kata-kataku telah berhasil mengetuk hatinya. Roby pun menunduk seketika. Entah apa yang dipikirkan. Beberapa saat kemudian, dia mengangkat kepala dan menatapku dengan tatapan yang memancarkan kehangatan.
“Makasi.”
“Buat?”
“Semuanya..”
“Semua apa?”
Bibir Roby mengukir senyuman yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kini tangannya yang memegang tanganku. Warna pipiku merah merona bak buah delima. Dan aku hanya mampu menatapnya dengan sedikit rasa malu.
“Febry....”
“I..iya Rob..?”
“Aku gak nyangka, kalok kamu satu-satunya orang yang bener-bener kenal aku selama ini. Tiga tahun waktu yang sangat lama untuk larut dalam benci dan dendam. Aku dah ngabisin waktu selama tiga tahun buat nyakitin orang lain bahkan nyakitin diri aku sendiri. Gak pernah ada satu orang pun yang bisa ngerti aku dan jalan pikiran aku selain kamu. Aku kira, kamu udah benci ama aku. Ternyata aku salah, kamu memang sahabat sekaligus bidadari dari surga yang dikarunia Tuhan buat aku. Maafin semua kesalahan aku selama ini
ya Feb.”
“Tanpa kamu minta maaf, aku udah maafin kok Roby. Gak usah berlebihan gitu kali, aku jadi malu.”
“Cewek memang hebat. Lembut banget..! tapi dengan kelembutannya bisa meruntuhkan kerasnya hati seorang cowok...”
“Makanya, jangan ngeremehin cewek dong!”
“Maaf deh, aku kan khilaf. Hehe...”
“Hmm.... terus, gimana ama mamak kamu? Masak tiga tahun mau marahan melulu? Aku yakin mamak kamu pasti nyesel udah khianatin mamiq kamu. Percaya deh ama aku. Maafin dia ya....”
“Iya..... ntar pulang sekolah aku langsung ngomong ama mamak. Tapi ama kamu ya. Hehe.. udah tiga tahun kita kan pernah main bareng. Ntar sekalian main-main di rumah aku ya. Oya, kalok masalah jabatan di OSIS, kayaknya aku memang harus mulai belajar buat respect ama kamu deh. Cewek emang gak bisa diremehin. Cewek adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan begitu indah. Mereka begitu peka dengan keadaan di sekitarnya, lembut, penuh kasih sayang, tegar dan.......... He..”
“Stop..!! gak usah ngelantur. Lebay ah....”
“Hahaha.. sorry deh.”
“Oke dah. Mulai sekarang kita akur ya. Kita majukan sekolah bersama-sama. Dan please, stop diskriminasi kaum hawa dengan kaum adam ya. Cowok ama cewek punya hak masing-masing di dunia ini. Inget tu....!”
“Enggih Bu Ketua!! Aduh, galak banget. Bu Megawati aja lewat. He...”
“Hahaha....”
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Suasana kelas pun mencair ketika bel pulang sekolah berbunyi. Para siswa berhamburan keluar kelas untuk meninggalkan sekolah. Aku dan Roby pun berkemas untuk segara pulang. Tiba-tiba........
“Febry... Febry...!!!”
Tina tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas sambil menjerit tak karuan memanggil namaku. Aku dan Roby terkejut bersamaan.
“Ada apa Tina?” tanyaku heran.
“Septi!! Septi Feb....!” kata Tina dengan nafas turun naik.
“Kenapa? Ada apa ama Septi?”
“Dia di rumah sakit sekarang. Tadi dia ama geng gosipnya berantem di Laboratorium Kimia, trus gak tau gimana matanya kena ama cairan HCL!!”
Seketika tubuhku bergetar. Cuaca siang itu sangat terik, tapi entah mengapa aku merasa seperti ada petir yang menyambar seluruh tubuhku. Jantungku terasa berhenti berdegup, darahku berhenti mengalir, dan nadiku berhenti berdenyut. Septi, kakak tiriku sedang terbaring lemah di rumah sakit. Bagaimana keadaannya? Tuhan, semoga dia baik-baik saja di sana. Tapi apakah mungkin? Ahh.... pandanganku mulai buram. Wajah Tina dan Roby semakin memudar di hadapanku. Ruangan kelas terasa berputar dan bumi seakan membenamku jauh ke dalam. Dan akhirnya gelap, hanya kegelapan.
Satu jam, dua jam, tiga jam, dan entah berapa jam aku tak sadarkan diri. Saat aku membuka mata, aku berusaha keras untuk melihat siapa saja yang ada di ruangan bercat putih itu. Di samping kiri ada Mamak dan Roby. Sedangkan di samping kanan tak ada siapa-siapa melainkan sebuah tempat tidur dan seseorang terbaring lemah di atasnya. Mmmm... siapa dia? Tiba-tiba, tampak seorang dokter dan suster yang terburu-buru masuk ke dalam kamar tempatku terbaring. Kedua orang insan berjasa yang memakai seragam putih bersih itu menatapku seraya memberikan sebuah senyuman. Aku membalasnya lemah.
“Sukurlah kamu sudah sadar. Bagaimana perasaan kamu Febry?” tanya dokter Azmi yang sudah kukenal sejak SMP itu.
“Alhamdulillah baik.”jawabku singkat.
“Febry...”
Suara lembut Roby mengalihkan tatapanku yang semula terpaku oleh keramahan senyum Dokter Azmi. Aku menatap Roby yang tampak sangat gusar. Bibirku mengukir senyum yang agak dipaksa.
“Kamu sakit apa Feb? Kenapa gak pernah cerita ama aku? Tadi waktu kamu pingsan,
hidung kamu ngeluarin darah banyak banget.”
“Kamu tenang aja Rob, aku cuma panas dalam kok. Bentar lagi juga sembuh. Maafin aku ya, aku gak pernah cerita ama kamu. Abisnya kita kan diem-dieman selama ini. he..”
Lagi-lagi kupaksa bibirku untuk tersenyum dan tertawa. Sebenarnya, aku menahan sakit yang teramat sangat di kepalaku. Sakit yang seolah-olah mengoyak-ngoyak benakku, membongkar isi otakku dan mengubrak-abrik pelajaran serta kenangan yang ku simpan di dalamnya. Tetapi senyum mamak di sampingku benar-benar obat yang mujarab. Walaupun beliau hanyalah mamak tiriku, tapi aku sangat mencintainya seperti aku mencintai mamak kandungku. Mamak tahu bahwa aku sangat kesakitan, dari itu dia tak henti-hentinya menggenggam tangan kiriku.
“Kamu yakin kalok kamu cuma panas dalam? Gak usah bohong Feb. Aku tau kamu nyembunyiin sesuatu. Mamak pasti tau apa penyakit kamu, tapi kenapa Mamak gak mau ngasi tau aku? Apa aku orang asing dalam hidup kamu Feb? Apa aku gak boleh tau penyakit sahabat yang udah kayak sodara aku sendiri?”
Roby menangis. Sudah lama aku tidak melihat air matanya. Terakhir kali dia menangis saat aku mengambil permen karetnya waktu SD dulu. Mamak yang semulanya tegar dan terus mengukir senyum kini ikut larut dalam tangis. Suara tangis Roby dan mamak bercampur bagaikan melodi kematian yang terus memanggil namaku. Hatiku benar-benar teriris. Di saat usiaku tinggal beberapa hari lagi, aku tidak mampu berbuat apa-apa yang bisa membuat orang-orang di sekitarku bahagia, melainkan menguras air mata orang-orang yang kucintai.
“Umurku tinggal beberapa hari lagi Rob. Aku mohon ama kamu. Jangan nangis kayak gitu di depan aku. Aku mau sebelum aku pergi semua orang berbahagia dan kalian ngelepas aku dengan senyuman. Mamak, tiang mohon Mak. Jangan nangis. Mamak sudah janji ama tiang, Mamak gak bakalan nangis kan..”
“Apa maksud kamu Feb? Kamu sakit apa? kamu mau pergi ke mana? Mak, Dokter, Suster, Febry sakit apa sebenarnya?”
Tangis Roby makin menjadi-jadi. Mamak dengan sulit mengatur nafasnya sambil menyeka air mata. Dia sudah berjanji untuk tidak menangis, dan dia harus menepati janjinya itu. Sedangkan Dokter Azmi menatapku sambil tersenyum dan mulai bersuara.
“Febry mengidap penyakit Leukimia atau lebih dikenal dengan penyakit kanker otak. Dia berada di stadium empat dan tidak bisa diselamatkan lagi. Penyakit ini sudah menggerogoti tubuhnya sejak SMP, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena dia tidak mau saya melakukan apa-apa. Sebenarnya, faktor ekonomilah yang membuat Febry pasrah pada nasibnya. Sekarang, Septi mengalami kebutaan akibat cairan HCL yang merusak saraf matanya. Febry, pasien yang tidur di samping kirimu itu adalah Septi. Dia sudah sadar tapi masih terpukul.”
Dokter Azmi menunjuk ke arah pasien yang terbaring di sebelahku. Jarak antara tempat tidurku dan dia hanya kurang-lebih satu meter saja. Aku tidak bisa mengenali wajahnya karena mata dan setengah hidungnya masih tertutup perban. Aku berusaha tegar untuk menatap kakak tiriku itu, tapi apalah daya, sungai kecil mengalir begitu saja. Isak tangisku semakin menjadi-jadi ketika melihat suster membuka perban mata Septi perlahan-lahan. Mamak pun berlari ke arah tempat tidur Septi dan kembali menangis di sana. Di saat itu aku merasakan tangan Roby yang lembut membelai rambutku. Dia masih menangis. Dan kami pun menangis. Aku mengisyaratkan Roby untuk mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Dia menurut.
“Roby, waktuku bukan beberapa hari lagi, melainkan beberapa menit lagi. Tolong panggilin Mamak ya.”
Roby bergegas mendekati mamak tiriku, dan saat itu juga perban mata Septi sudah selesai dibuka. Roby berbisik di telinga mamak, tetapi mamak tidak langsung mendekatiku melainkan berbisik ke arah Septi. Beberapa saat kemudian, suara tangis Septi terdengar. Pilu dan menyakitkan. Aku semakin tak terkendali. Menangis dan terus menangis.
“Febry....! Mak, tiang pengen pegang tangan Febry. Mana dia? Mak..!!!”
Jerit Septi mengagetkan seisi ruagan. Mamak pun meraih tangan kiri Septi dan mengaitkan dengan tangan kananku. Aku dan Septi pun berpegangan tangan sambil terus menangis menjadi-jadi. Robi dan mamak menundukkan wajahnya yang memerah akibat terus menangis. Sedangkan dokter Azmi dan susternya hanya menyaksikan dengan wajah penuh haru.
“Febry, kamu harus kuat, kamu harus hidup. Jangan tinggalin aku ama Mamak Feb. Walaupun aku buta, aku yakin kamu mau jadi mata aku. Ya kan Feb...?” kata Septi dengan suara terisak-isak.
“Iya Septi. Aku mau jadi mata kamu. Jangankan mata kamu, kaki, tangan, telinga, bahkan semuanya pun aku mau Sep. Tapi maafin aku, aku harus pergi. Ini sudah menjadi takdir aku Sep.”
“Gak! Kamu gak boleh pergi! Kalok kamu pergi, aku ama sapa? Sapa yang mau jadi mata aku? Lebih baik aku ikut kamu aja Feb. Gak ada gunanya aku hidup!”
“Kamu jangan ngomong gitu Septi! Masih ada Mamak, Roby dan semua teman-teman kamu. Perjalanan hidup kamu masih panjang, kamu masih punya masa depan. Kamu pintar Sep! Kamu punya cita-cita buat kuliah di Jakarta kan? Kejar cita-cita itu Sep! Walaupun ekonomi keluarga kita gak mampu, tapi aku yakin kamu bisa dapet beasiswa! Pokoknya kamu jangan nyerah Sep! Demi aku, Mamak dan semuanya!”
“Percuma Febry! Aku gak punya mata buat belajar! Buat ikut Ujian Nasional pun udah gak mungkin! Aku gak punya masa depan! Hidup aku sampe di sini Feb!”
“Gak! Kamu salah! Banyak orang cacat di luar sana yang bisa sukses! Gak peduli cewek atau cowok, cacat atau enggak, semua orang punya hak untuk jadi orang sukses dan hidup di dunia ini!! Jangan karena kamu cewek, kamu jadi lemah!! Tunjukin kalok kamu bisa tegar, kuat dan berguna bagi semua orang! Kamu harus tetep sekolah. Aku akan ngasi kedua mata aku buat kamu!”
“Apa?? kamu bejoraq kan Feb..?”
Tiba-tiba Mamak angkat bicara. Sepertinya beliau kaget dengan kata-kata yang terlontar dari bibirku tadi.
“Enggak! Tiang gak bejoraq Mak. Ambil saja mata Febry buat Septi. Tiang ikhlas demi masa depan Septi. Dia harus sekolah, dia harus menjadi orang sukses dan berguna buat semua orang.”
Semua orang di ruangan itu terkejut dengan kata-kataku. Ya, aku akan memberikan mataku untuk Septi. Walaupun aku mati, tapi ada organ tubuhku yang masih bisa hidup di tubuhnya. Aku bisa bersama Septi selamanya. Aku bisa melihat apa yang dilihatnya, menyukai apa yang disukainya, dan tidak menyukai apa yang tidak disukainya. Aku ikhlas, karena bagiku masa depan Septi masih bisa diselamatkan, sedangkan masa depanku sudah tidak ada harapan lagi.
“Mamak, jaga Septi baik-baik. Tiang mau dia tetep sekolah, bagaimanapun caranya. Didik dia jadi anak perempuan yang kuat, tegar dan pintar kayak Mamak. ”
Mamak terdiam mendengar kata-kataku itu. Dia memeluk tubuhku yang terbaring lemah. Aku masih dapat merasakan kehangatan cinta dan kasih sayangnya. Roby pun mendekatiku, meraih dan mencium tangan kiriku yang kian memucat. Ada cairan hangat yang menetes di tanganku. Air mata Roby kian tak tertahan.
“Roby, aku titip Septi, sayangi dia kayak kamu sayang ama aku. Jaga dia buat aku. Maaf ya Rob, aku gak bisa nemenin kamu buat ngomong ama Mamak kamu di rumah. Aku gak bisa maen-maen ke rumah kamu. Aku gak bisa bantu kamu memajukan sekolah kita melalui OSIS. Aku gak bisa jadi Ketua OSIS yang baik buat kamu. Maaf ya. Tapi kamu harus janji ama aku, ada atau gak adanya aku, kamu tetep harus ngomong ama Mamak kamu. Ada atau gak adanya aku kamu harus tetep aktif di OSIS. Lanjutin perjuangan kita ya.”
“Enggih, aku janji bakalan lanjutin perjuangan kita. Aku bakalan ikutin suara kata-kata kamu Sep. Tapi aku mohon, kamu jangan pergi......”
“Udah gak bisa Rob, aku harus pergi... maafin aku. Dokter, Suster, makasi ya buat semuanya. Kalian udah baik banget ama aku........... ukhukk.. uhukkk....”
“Iya, itu memang sudah menjadi kewajiban kami....”kata Dokter Azmi sambil tersenyum.
Cairan merah pekat mengalir dari hidungku. Sepertinya waktuku telah habis. Rasa sakit yang menyiksa kepalaku membuat aku sulit mengeluarkan kata-kata terakhir yang ingin sekali aku katakan. Seandainya bisa, aku ingin sekali memninta dispensasi kepada malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawaku. Tapi itu tidak mungkin. Di sisa nafasku, aku berhasil mengatakannya.
“Dok..ter, am.... ambiill.. ma...mat..mata..ku..!”
Aku melepaskan tanganku dari genggaman tangan Septi. Tanganku bergantung lemah, tak ada darah, saraf, maupun otot yang masih berfungsi. Semua orang di ruangan itu menatapku penuh haru. Mamak menggoncang-goncangkan tubuh kakuku, tapi sayang, tidak ada respons apapun. Roby masih memegang tanganku, air matanya pun masih mengalir dengan hangat. Sedangkan Septi terus menangis sambil menatap langit-langit rumah sakit. Pandangannya gelap, hatinya pun kalap. Ya, aku pergi, kecuali kedua belah mataku yang akan tetap hidup di tubuh Septi. Jiwaku telah terlepas dari ragaku. Aku pergi meninggalkan duniaku tercinta menuju ke kehidupan yang abadi. Kehidupan yang tidak akan ada matinya lagi. Memang berat, tapi inilah takdirku. Aku yakin, takdir Septi akan lebih baik daripada aku. Selamat tinggal Mamak, Septi, Roby, semuanya.............
Lanjutkan=>
Pagi itu seperti biasa aku bersama Septi berjalan beriringan menuju ke sekolah. Udara desa Janapria di pagi hari benar-benar membuat bibirku tak henti-hentinya mengukir senyuman. Sesekali kulirik Septi yang sedari tadi memonyongkan bibirnya. Sepertinya dia masih marah besar dengan keputusan Mamak untuk menjodohkannya dengan anak Kepala Desa yang playboy itu. Aku mencoba menggoda kakakku dengan mencubit bahu kirinya dengan harapan dia akan tersenyum. Ternyata dugaanku salah, dia malah melemparkan kerlingan tajam ke arahku. Aku mati gaya dan spontan membuang pandangan ke hamparan sawah yang terbentang di kiri dan kanan jalan. Tampak banyak tanaman palawija warga yang tumbuh dengan subur. Butuh waktu kurang-lebih 20 menit untuk sampai di sekolah, dan selama 20 menit itu juga aku dan Septi membisu seribu bahasa.
Namaku Baiq Febri Wulandari. Terlahir dari sebuah keluarga keturunan bangsawan Selaparang yang tinggal di desa Janapria. Almarhum mamiqku bernama Lalu Yudha Pratama, sedangkan mamakku bernama Lilis Muliati. Aku memiliki seorang kakak perempuan bernama Septi Arumi. Kami bersekolah di sekolah yang sama bahkan kelas yang sama. Opsss... jangan salah. Aku dan Septi bukanlah saudara kembar. Septi adalah kakak tiriku. Mamaknya yang kebetulan orang jawa dan bukan keturunan bangsawan Lombok telah bercerai dengan suaminya, kemudian menikah dengan mamiqku yang kebetulan sedang menduda. Mamak kandungku bernama Baiq Sekar Wulansari telah menghadap Sang Maha Kuasa semenjak aku duduk di bangku SD dulu. Bertahun-tahun mamiqku dibelenggu kesepian hingga akhirnya beliau berjumpa dengan sesosok wanita bernama Lilis Muliati dari Jawa Timur. Mereka pun memutuskan untuk menikah. Setelah membangun rumah tangga selama lima tahun, mamiqku meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas saat ingin mengambil rapotku dan Septi di sekolah.
Air mataku mengalir begitu saja tatkala mengingat kejadian dua tahun yang lalu itu. Kejadian ketika aku dan Septi masih sama-sama menduduki bangku kelas X SMA. Miq, Mak, tiang kangen. Tiang kepengen peluk Mamiq sama Mamak. Mamiq sama Mamak sedang apa di sana? rintihku dalam hati. Suasana hiruk pikuk dan suara sound yang berdentum keras dengan lagu Avenged Sevenfold tak sedikitpun membuatku bergeming dari rasa kerinduan dan kesepian. Kelas XII BAHASA 2, yaitu kelasku ini memang selalu seperti itu ketika ada guru yang tidak masuk mengajar. Sedangkan di pojok kelas, tampak Septi yang sedang mengecat kuku jari-jemarinya yang lentik sambil di temani dengan geng gosipnya.
“Febri...!”
Aku tersentak. Suara itu seketika membuyarkan lamunan akan kedua orang tuaku. Aku celingak-celinguk mencari sumber suara yang memanggil namaku tadi. Ternyata Roby, wakilku sebagai ketua osis di SMAN 4 Janapria.
“Eh, Bu ketua OSIS. Maksud kamu apa ngirim SMS kayak gitu tadi malem?” bentak Roby tiba-tiba.
Suasana kelas menjadi beku dan aku pun membatu. Tidak ada yang bersuara dan melakukan aktivitas lain selain menyaksikan aku dan Roby.
“SMS yang mana maksud kamu?”tanyaku dengan memasang wajah santai.
“Ini..!! aku bacain sekarang..!” kata Roby sambil mengeluarkan ponsel Blackberry mahalnya.
Aku pun kembali membatu. Tetapi mataku dengan lincah memperhatikan gerak-gerik lelaki tampan di hadapanku itu. Beberapa saat kemudian Roby pun bersuara.
“Kepada wakilku terhormat, harap untuk lebih disiplin dalam menjalankan tanggungjawab Anda sebagai wakil ketua OSIS. Karena jika tidak, saya mempunyai wewenang untuk melaporkan Anda ke pembina OSIS. Terima kasih”
Roby menutup ponselnya kemudian menatap mataku tajam seolah ingin menerkam. Lagi dan lagi aku memasang wajah santai walaupun sebenarnya aku sangat ketakutan. Roby maju tiga langkah sehingga wajahnya tinggal beberapa senti jaraknya dengan wajahku.
“Oh.. SMS itu maksud kamu. Ya, aku memang sengaja ngirim SMS itu ke kamu, sebagai teguran aja kok. Soalnya kalok aku perhati’in, kamu makin males buat ngerjain kewajiban-kewajiban kamu. Kenapa? Apa gara-gara kamu masih belum bisa nerima aku sebagai ketua OSIS sedangkan kamu jadi wakilnya? Aku rasa itu bukan suatu masalah yang harus selalu kamu permasalahin dan kamu perdebatin ama aku. Intinya kita kan ada dalam sebuah organisasi yang sama, mempunyai visi dan misi yang sama dan mempunyai tugas yang sama. Jadi, aku harap kita bisa bersama-sama untuk ngejalanin kewajiban dan tugas-tugas kita itu.”
“Enggak! Sampe kapan pun aku gak mau kerja sama ama kamu, apalagi jadi wakil kamu! Mau ditaruh di mana muka aku? Masak cewek yang jadi ketua sedangkan cowok jadi wakilnya? Gak kebalik tu?! Derajat cowok kan lebih tinggi daripada cewek...! Hahaha.. lagipula, emangnya kamu bisa apa dalam organisasi ini? Palingan juga ngabisin uang kas OSIS buat beli jajan terus jalan-jalan ke pasar malem, ya kan?! Aku akuin kamu pinter dan selalu dapet peringkat tiga besar di kelas, tapi aku juga akuin kalok kamu tu lebih pinter cari muka di depan para pembina OSIS dan temen-temen yang lain, sampe-sampe kamu yang kepilih jadi ketua OSIS, bukan aku!! Bravo..!! hebat non..!! hahaha...”
Suasana kelas yang semulanya hening menjadi agak riuh. Sepertinya ada pihak yang pro dan kontra terhadap kata-kata Roby itu. Sedangkan Septi tetap di posisi awalnya dan tak bergeming sedikit pun. Aku lemah melihat perlakuannya. Jujur, di saat-saat seperti ini aku benar-benar membutuhkan dia untuk membelaku. Tapi sayang, itu takkan mungkin terjadi. Aku menghela nafas panjang dan menghipnotis diriku sendiri untuk tidak gentar apalagi meneteskan air mata. Kukumpulkan kekuatan melalui doa yang kubaca dalam hati hingga akhirnya aku pun kembali bersuara.
“Oh... ternyata kamu benar-benar belum bisa menghargai aku sebagai ketuanya. Heran. Kok ada ya cowok yang seegois dan seangkuh kamu di dunia ini. Kamu kira mentang-mentang aku cewek lantas aku gak bisa berbuat apa-apa? Gak bisa bertanggungjawab? Gak bisa lebih baik dari kamu? Oh... jangan salah!! Maaf, aku gak bermaksud buat sombong, tapi kenyataannya aku memang lebih baik dari kamu yang cuma bisa ngabisin duit orang tua buat foya-foya ama koleksi cewek kamu! Kamu kaya, pinter, keren, tapi sayang kamu gak bisa memanfaatkan karunia tuhan itu dengan baik. Hati kamu terlalu keras buat menghargai orang-orang di sekitar kamu. Hati kamu terlalu keras sampe-sampe menyakiti diri kamu sendiri!”
Aku berbicara panjang lebar dengan intonasi yang tetap tenang. Kutatap Roby yang masih berdiri tegak di hadapanku. Dia tak terusik sedikit pun dengan kata-kataku tadi. Bibirnya malah mengukir sebuah senyuman sinis yang mengiris hatiku. Beberapa saat kemudian tawanya membelah keheningan kelas.
“Hahaha..... tau apa kamu dengan hidup aku? Jangan sok tau kamu jadi cewek! Walaupun kita udah bareng kelas selama kurang-lebih tiga tahun, aku gak pernah mau tau semua tentang kamu, hidup kamu!! Tapi aku gak nyangka, kamu bisa sok tau tentang masalah hidup aku! Hahaha..... cewek lembek kayak kamu jangan sok mau ikut campur urusan aku deh. Satu lagi, jangan coba-coba kamu nyuruh aku buat respect ama kamu! Gak bakalan..!!”
“Roby!! Kalok kamu emang gak bisa respect ama aku, fine..!! aku gak apa-apa. tapi kita udah disumpah buat ngelaksanain tanggung jawab kita dalam OSIS selama setahun ke depan!! Aku mohon banget ama kamu, please.... aku minta kerja sama kamu Roby..”
“Whatever......!!! hahahaha....”
Roby tertawa sendirian. Suaranya bagaikan panah panas yang menembus genderang telingaku. Seketika bulir air mataku jatuh juga. Hatiku sakit, bahkan teramat sakit untuk menghadapi sosok pria yang keras di hadapanku itu. Aku pun menyeka air mataku sebelum terlihat oleh Roby.
“Roby, kamu perlakuin aku seolah-olah kamu bukan terlahir dari rahim seorang perempuan. Seolah-olah kamu hidup di dunia ini bukan karena kasih-sayang seorang perempuan. Dulu kamu pernah bilang ke aku, perempuan itu sesuatu yang berharga dan harus dijaga. ‘Perempuan tercipta bukan dari ubun-ubun seorang laki-laki untuk dipuja dan dipuji, bukan pula dari telapak kaki untuk dihina dan dicaci maki, tetapi perempuan tercipta dari rusuk kiri yang dekat dengan tangan untuk dilindungi, dekat dengan hati untuk disayangi dan dicintai.’ Apa kamu udah lupa ama kata-kata kamu sendiri? Apa kamu perlakuin mamak kamu kayak gini juga?”
Roby berhenti tertawa. Dia memasang wajah garangnya lagi. Kali ini tatapannya semakin menakutkan. Aku mengenggam kedua tanganku dengan erat sebagai upaya menghilangkan rasa takut. Sedangkan mataku tetap tenang bak air sungai yang tak beriak. Kutatap mata Roby dalam-dalam, mencoba membaca semua rahasia jiwanya, menembus otak dan relung hatinya. Aku tau, Roby memiliki sisi lain yang tak pernah dia tampakkan akhir-akihi ini. Dan aku akan terus berusaha untuk mengeluarkan sisi aslinya itu. Beberapa saat kemudian, dahi Roby berkerut, tatapan matanya perlahan-lahan semakin melembut. Aku meraih tangannya. Dia tak melawan dan tetap membisu menatap mataku.
“Aku kenal kamu lebih dari tiga tahun. Kita saling kenal sejak kecil Roby. Hanya saja kita baru bareng kelas selama kurang-lebih tiga tahun terakhir ini. Aku tau, ini bukan Lalu Roby Kurniawan. Ini sisi Roby yang masih terguncang gara-gara ditinggalkan mamiqnya tiga tahun yang lalu. Kamu sulit buat percaya ama cewek, karena ibu kamu yang ngerusak kepercayaan almarhum mamiq kamu kan? Mamak kamu pasti punya alasan tersendiri Roby, aku yakin mamak kamu sangat nyesel sekarang. Kenapa kamu sulit banget buat maafin mamak kamu sendiri? Kenapa harus cewek-cewek lain yang jadi tempat pembalasan dendam kamu? Termasuk aku yang selalu care ama kamu? Mamiq kamu pasti sedih ngeliat kamu kayak gini sekarang.”
Dengan intonasi rendah aku mengatakan semua itu. Roby tetap tak bergeming menatap mataku yang sedari tadi sudah basah karena meneteskan air mata. Suasana kelas masih membeku. Tak ada suara kursi dan meja yang bergeser, tak ada suara sound yang berdentum keras, tak ada suara bisik-bisik pro dan kontra, dan tak ada aroma cat kuku yang menyengat. Cat kuku? Aku teringat akan Septi yang ternyata sudah tidak ada di dalam ruangan kelas. Mataku pun liar mencari-cari sosok kakak tiriku itu. Ke mana dia bersama geng gosipnya?
“Febry....!”
Suara Roby yang lembut membuatku melupakan Septi seketika. Aku kembali menatap matanya yang benar-benar beda. Lembut, benar-benar lembut. Pancaran kasih sayang yang hilang selama tiga tahun kembali aku rasakan dalam matanya. Aku sempat sesak nafas melihat sorot matanya.
“I..iya....?” kataku tersendat-sendat.
“Menurut kamu, apa Mamakku bener-bener nyesel dengan perbuatannya?”
“Iya, pasti. Tapi aku gak tau apa alasannya. Maka dari itu, lebih baik kamu nanya baik-baik ama Mamak kamu. Selesaikan secara kekeluargaan. Bagaimanapun juga, beliau kan mamak kamu.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Yakin.”
Sifat Roby yang keras kini perlahan-lahan mulai mencair. Dia menjadi lebih lembut sekarang. Mungkin kata-kataku telah berhasil mengetuk hatinya. Roby pun menunduk seketika. Entah apa yang dipikirkan. Beberapa saat kemudian, dia mengangkat kepala dan menatapku dengan tatapan yang memancarkan kehangatan.
“Makasi.”
“Buat?”
“Semuanya..”
“Semua apa?”
Bibir Roby mengukir senyuman yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kini tangannya yang memegang tanganku. Warna pipiku merah merona bak buah delima. Dan aku hanya mampu menatapnya dengan sedikit rasa malu.
“Febry....”
“I..iya Rob..?”
“Aku gak nyangka, kalok kamu satu-satunya orang yang bener-bener kenal aku selama ini. Tiga tahun waktu yang sangat lama untuk larut dalam benci dan dendam. Aku dah ngabisin waktu selama tiga tahun buat nyakitin orang lain bahkan nyakitin diri aku sendiri. Gak pernah ada satu orang pun yang bisa ngerti aku dan jalan pikiran aku selain kamu. Aku kira, kamu udah benci ama aku. Ternyata aku salah, kamu memang sahabat sekaligus bidadari dari surga yang dikarunia Tuhan buat aku. Maafin semua kesalahan aku selama ini
ya Feb.”
“Tanpa kamu minta maaf, aku udah maafin kok Roby. Gak usah berlebihan gitu kali, aku jadi malu.”
“Cewek memang hebat. Lembut banget..! tapi dengan kelembutannya bisa meruntuhkan kerasnya hati seorang cowok...”
“Makanya, jangan ngeremehin cewek dong!”
“Maaf deh, aku kan khilaf. Hehe...”
“Hmm.... terus, gimana ama mamak kamu? Masak tiga tahun mau marahan melulu? Aku yakin mamak kamu pasti nyesel udah khianatin mamiq kamu. Percaya deh ama aku. Maafin dia ya....”
“Iya..... ntar pulang sekolah aku langsung ngomong ama mamak. Tapi ama kamu ya. Hehe.. udah tiga tahun kita kan pernah main bareng. Ntar sekalian main-main di rumah aku ya. Oya, kalok masalah jabatan di OSIS, kayaknya aku memang harus mulai belajar buat respect ama kamu deh. Cewek emang gak bisa diremehin. Cewek adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan begitu indah. Mereka begitu peka dengan keadaan di sekitarnya, lembut, penuh kasih sayang, tegar dan.......... He..”
“Stop..!! gak usah ngelantur. Lebay ah....”
“Hahaha.. sorry deh.”
“Oke dah. Mulai sekarang kita akur ya. Kita majukan sekolah bersama-sama. Dan please, stop diskriminasi kaum hawa dengan kaum adam ya. Cowok ama cewek punya hak masing-masing di dunia ini. Inget tu....!”
“Enggih Bu Ketua!! Aduh, galak banget. Bu Megawati aja lewat. He...”
“Hahaha....”
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Suasana kelas pun mencair ketika bel pulang sekolah berbunyi. Para siswa berhamburan keluar kelas untuk meninggalkan sekolah. Aku dan Roby pun berkemas untuk segara pulang. Tiba-tiba........
“Febry... Febry...!!!”
Tina tergopoh-gopoh masuk ke dalam kelas sambil menjerit tak karuan memanggil namaku. Aku dan Roby terkejut bersamaan.
“Ada apa Tina?” tanyaku heran.
“Septi!! Septi Feb....!” kata Tina dengan nafas turun naik.
“Kenapa? Ada apa ama Septi?”
“Dia di rumah sakit sekarang. Tadi dia ama geng gosipnya berantem di Laboratorium Kimia, trus gak tau gimana matanya kena ama cairan HCL!!”
Seketika tubuhku bergetar. Cuaca siang itu sangat terik, tapi entah mengapa aku merasa seperti ada petir yang menyambar seluruh tubuhku. Jantungku terasa berhenti berdegup, darahku berhenti mengalir, dan nadiku berhenti berdenyut. Septi, kakak tiriku sedang terbaring lemah di rumah sakit. Bagaimana keadaannya? Tuhan, semoga dia baik-baik saja di sana. Tapi apakah mungkin? Ahh.... pandanganku mulai buram. Wajah Tina dan Roby semakin memudar di hadapanku. Ruangan kelas terasa berputar dan bumi seakan membenamku jauh ke dalam. Dan akhirnya gelap, hanya kegelapan.
Satu jam, dua jam, tiga jam, dan entah berapa jam aku tak sadarkan diri. Saat aku membuka mata, aku berusaha keras untuk melihat siapa saja yang ada di ruangan bercat putih itu. Di samping kiri ada Mamak dan Roby. Sedangkan di samping kanan tak ada siapa-siapa melainkan sebuah tempat tidur dan seseorang terbaring lemah di atasnya. Mmmm... siapa dia? Tiba-tiba, tampak seorang dokter dan suster yang terburu-buru masuk ke dalam kamar tempatku terbaring. Kedua orang insan berjasa yang memakai seragam putih bersih itu menatapku seraya memberikan sebuah senyuman. Aku membalasnya lemah.
“Sukurlah kamu sudah sadar. Bagaimana perasaan kamu Febry?” tanya dokter Azmi yang sudah kukenal sejak SMP itu.
“Alhamdulillah baik.”jawabku singkat.
“Febry...”
Suara lembut Roby mengalihkan tatapanku yang semula terpaku oleh keramahan senyum Dokter Azmi. Aku menatap Roby yang tampak sangat gusar. Bibirku mengukir senyum yang agak dipaksa.
“Kamu sakit apa Feb? Kenapa gak pernah cerita ama aku? Tadi waktu kamu pingsan,
hidung kamu ngeluarin darah banyak banget.”
“Kamu tenang aja Rob, aku cuma panas dalam kok. Bentar lagi juga sembuh. Maafin aku ya, aku gak pernah cerita ama kamu. Abisnya kita kan diem-dieman selama ini. he..”
Lagi-lagi kupaksa bibirku untuk tersenyum dan tertawa. Sebenarnya, aku menahan sakit yang teramat sangat di kepalaku. Sakit yang seolah-olah mengoyak-ngoyak benakku, membongkar isi otakku dan mengubrak-abrik pelajaran serta kenangan yang ku simpan di dalamnya. Tetapi senyum mamak di sampingku benar-benar obat yang mujarab. Walaupun beliau hanyalah mamak tiriku, tapi aku sangat mencintainya seperti aku mencintai mamak kandungku. Mamak tahu bahwa aku sangat kesakitan, dari itu dia tak henti-hentinya menggenggam tangan kiriku.
“Kamu yakin kalok kamu cuma panas dalam? Gak usah bohong Feb. Aku tau kamu nyembunyiin sesuatu. Mamak pasti tau apa penyakit kamu, tapi kenapa Mamak gak mau ngasi tau aku? Apa aku orang asing dalam hidup kamu Feb? Apa aku gak boleh tau penyakit sahabat yang udah kayak sodara aku sendiri?”
Roby menangis. Sudah lama aku tidak melihat air matanya. Terakhir kali dia menangis saat aku mengambil permen karetnya waktu SD dulu. Mamak yang semulanya tegar dan terus mengukir senyum kini ikut larut dalam tangis. Suara tangis Roby dan mamak bercampur bagaikan melodi kematian yang terus memanggil namaku. Hatiku benar-benar teriris. Di saat usiaku tinggal beberapa hari lagi, aku tidak mampu berbuat apa-apa yang bisa membuat orang-orang di sekitarku bahagia, melainkan menguras air mata orang-orang yang kucintai.
“Umurku tinggal beberapa hari lagi Rob. Aku mohon ama kamu. Jangan nangis kayak gitu di depan aku. Aku mau sebelum aku pergi semua orang berbahagia dan kalian ngelepas aku dengan senyuman. Mamak, tiang mohon Mak. Jangan nangis. Mamak sudah janji ama tiang, Mamak gak bakalan nangis kan..”
“Apa maksud kamu Feb? Kamu sakit apa? kamu mau pergi ke mana? Mak, Dokter, Suster, Febry sakit apa sebenarnya?”
Tangis Roby makin menjadi-jadi. Mamak dengan sulit mengatur nafasnya sambil menyeka air mata. Dia sudah berjanji untuk tidak menangis, dan dia harus menepati janjinya itu. Sedangkan Dokter Azmi menatapku sambil tersenyum dan mulai bersuara.
“Febry mengidap penyakit Leukimia atau lebih dikenal dengan penyakit kanker otak. Dia berada di stadium empat dan tidak bisa diselamatkan lagi. Penyakit ini sudah menggerogoti tubuhnya sejak SMP, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena dia tidak mau saya melakukan apa-apa. Sebenarnya, faktor ekonomilah yang membuat Febry pasrah pada nasibnya. Sekarang, Septi mengalami kebutaan akibat cairan HCL yang merusak saraf matanya. Febry, pasien yang tidur di samping kirimu itu adalah Septi. Dia sudah sadar tapi masih terpukul.”
Dokter Azmi menunjuk ke arah pasien yang terbaring di sebelahku. Jarak antara tempat tidurku dan dia hanya kurang-lebih satu meter saja. Aku tidak bisa mengenali wajahnya karena mata dan setengah hidungnya masih tertutup perban. Aku berusaha tegar untuk menatap kakak tiriku itu, tapi apalah daya, sungai kecil mengalir begitu saja. Isak tangisku semakin menjadi-jadi ketika melihat suster membuka perban mata Septi perlahan-lahan. Mamak pun berlari ke arah tempat tidur Septi dan kembali menangis di sana. Di saat itu aku merasakan tangan Roby yang lembut membelai rambutku. Dia masih menangis. Dan kami pun menangis. Aku mengisyaratkan Roby untuk mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Dia menurut.
“Roby, waktuku bukan beberapa hari lagi, melainkan beberapa menit lagi. Tolong panggilin Mamak ya.”
Roby bergegas mendekati mamak tiriku, dan saat itu juga perban mata Septi sudah selesai dibuka. Roby berbisik di telinga mamak, tetapi mamak tidak langsung mendekatiku melainkan berbisik ke arah Septi. Beberapa saat kemudian, suara tangis Septi terdengar. Pilu dan menyakitkan. Aku semakin tak terkendali. Menangis dan terus menangis.
“Febry....! Mak, tiang pengen pegang tangan Febry. Mana dia? Mak..!!!”
Jerit Septi mengagetkan seisi ruagan. Mamak pun meraih tangan kiri Septi dan mengaitkan dengan tangan kananku. Aku dan Septi pun berpegangan tangan sambil terus menangis menjadi-jadi. Robi dan mamak menundukkan wajahnya yang memerah akibat terus menangis. Sedangkan dokter Azmi dan susternya hanya menyaksikan dengan wajah penuh haru.
“Febry, kamu harus kuat, kamu harus hidup. Jangan tinggalin aku ama Mamak Feb. Walaupun aku buta, aku yakin kamu mau jadi mata aku. Ya kan Feb...?” kata Septi dengan suara terisak-isak.
“Iya Septi. Aku mau jadi mata kamu. Jangankan mata kamu, kaki, tangan, telinga, bahkan semuanya pun aku mau Sep. Tapi maafin aku, aku harus pergi. Ini sudah menjadi takdir aku Sep.”
“Gak! Kamu gak boleh pergi! Kalok kamu pergi, aku ama sapa? Sapa yang mau jadi mata aku? Lebih baik aku ikut kamu aja Feb. Gak ada gunanya aku hidup!”
“Kamu jangan ngomong gitu Septi! Masih ada Mamak, Roby dan semua teman-teman kamu. Perjalanan hidup kamu masih panjang, kamu masih punya masa depan. Kamu pintar Sep! Kamu punya cita-cita buat kuliah di Jakarta kan? Kejar cita-cita itu Sep! Walaupun ekonomi keluarga kita gak mampu, tapi aku yakin kamu bisa dapet beasiswa! Pokoknya kamu jangan nyerah Sep! Demi aku, Mamak dan semuanya!”
“Percuma Febry! Aku gak punya mata buat belajar! Buat ikut Ujian Nasional pun udah gak mungkin! Aku gak punya masa depan! Hidup aku sampe di sini Feb!”
“Gak! Kamu salah! Banyak orang cacat di luar sana yang bisa sukses! Gak peduli cewek atau cowok, cacat atau enggak, semua orang punya hak untuk jadi orang sukses dan hidup di dunia ini!! Jangan karena kamu cewek, kamu jadi lemah!! Tunjukin kalok kamu bisa tegar, kuat dan berguna bagi semua orang! Kamu harus tetep sekolah. Aku akan ngasi kedua mata aku buat kamu!”
“Apa?? kamu bejoraq kan Feb..?”
Tiba-tiba Mamak angkat bicara. Sepertinya beliau kaget dengan kata-kata yang terlontar dari bibirku tadi.
“Enggak! Tiang gak bejoraq Mak. Ambil saja mata Febry buat Septi. Tiang ikhlas demi masa depan Septi. Dia harus sekolah, dia harus menjadi orang sukses dan berguna buat semua orang.”
Semua orang di ruangan itu terkejut dengan kata-kataku. Ya, aku akan memberikan mataku untuk Septi. Walaupun aku mati, tapi ada organ tubuhku yang masih bisa hidup di tubuhnya. Aku bisa bersama Septi selamanya. Aku bisa melihat apa yang dilihatnya, menyukai apa yang disukainya, dan tidak menyukai apa yang tidak disukainya. Aku ikhlas, karena bagiku masa depan Septi masih bisa diselamatkan, sedangkan masa depanku sudah tidak ada harapan lagi.
“Mamak, jaga Septi baik-baik. Tiang mau dia tetep sekolah, bagaimanapun caranya. Didik dia jadi anak perempuan yang kuat, tegar dan pintar kayak Mamak. ”
Mamak terdiam mendengar kata-kataku itu. Dia memeluk tubuhku yang terbaring lemah. Aku masih dapat merasakan kehangatan cinta dan kasih sayangnya. Roby pun mendekatiku, meraih dan mencium tangan kiriku yang kian memucat. Ada cairan hangat yang menetes di tanganku. Air mata Roby kian tak tertahan.
“Roby, aku titip Septi, sayangi dia kayak kamu sayang ama aku. Jaga dia buat aku. Maaf ya Rob, aku gak bisa nemenin kamu buat ngomong ama Mamak kamu di rumah. Aku gak bisa maen-maen ke rumah kamu. Aku gak bisa bantu kamu memajukan sekolah kita melalui OSIS. Aku gak bisa jadi Ketua OSIS yang baik buat kamu. Maaf ya. Tapi kamu harus janji ama aku, ada atau gak adanya aku, kamu tetep harus ngomong ama Mamak kamu. Ada atau gak adanya aku kamu harus tetep aktif di OSIS. Lanjutin perjuangan kita ya.”
“Enggih, aku janji bakalan lanjutin perjuangan kita. Aku bakalan ikutin suara kata-kata kamu Sep. Tapi aku mohon, kamu jangan pergi......”
“Udah gak bisa Rob, aku harus pergi... maafin aku. Dokter, Suster, makasi ya buat semuanya. Kalian udah baik banget ama aku........... ukhukk.. uhukkk....”
“Iya, itu memang sudah menjadi kewajiban kami....”kata Dokter Azmi sambil tersenyum.
Cairan merah pekat mengalir dari hidungku. Sepertinya waktuku telah habis. Rasa sakit yang menyiksa kepalaku membuat aku sulit mengeluarkan kata-kata terakhir yang ingin sekali aku katakan. Seandainya bisa, aku ingin sekali memninta dispensasi kepada malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawaku. Tapi itu tidak mungkin. Di sisa nafasku, aku berhasil mengatakannya.
“Dok..ter, am.... ambiill.. ma...mat..mata..ku..!”
Aku melepaskan tanganku dari genggaman tangan Septi. Tanganku bergantung lemah, tak ada darah, saraf, maupun otot yang masih berfungsi. Semua orang di ruangan itu menatapku penuh haru. Mamak menggoncang-goncangkan tubuh kakuku, tapi sayang, tidak ada respons apapun. Roby masih memegang tanganku, air matanya pun masih mengalir dengan hangat. Sedangkan Septi terus menangis sambil menatap langit-langit rumah sakit. Pandangannya gelap, hatinya pun kalap. Ya, aku pergi, kecuali kedua belah mataku yang akan tetap hidup di tubuh Septi. Jiwaku telah terlepas dari ragaku. Aku pergi meninggalkan duniaku tercinta menuju ke kehidupan yang abadi. Kehidupan yang tidak akan ada matinya lagi. Memang berat, tapi inilah takdirku. Aku yakin, takdir Septi akan lebih baik daripada aku. Selamat tinggal Mamak, Septi, Roby, semuanya.............