Minggu, 08 Mei 2011

SALAHKAH RASA

Angin siang itu mengibas-ngibas rambut panjangku. Mengebas debu yang bertebaran di jalanan kota Praya yang lengang. Dedaunan pun meliuk-liukkan tubuhnya ketika angin mengajaknya menari. Langit tampak memucat. Mungkin awan akan menangis sebentar lagi. Dengan mata berkilauan, kutatap semua yang mampu tertangkap oleh mata sipitku. Beberapa orang siswa SMAN 1 Praya tergopoh-gopoh meninggalkan sekolah karena takut bersua hujan. Sedangkan aku hanya duduk santai di post satpam sekolah bersama Stev. Keringat dingin mengucur di keningku. Setelah sekian lama aku haus akan cinta, kini aku dapat merasakan gejolak itu kembali. Stev masih betah memainkan tangan kananku. Raut wajahnya memancarkan sejuta kebahagiaan. Bagaimana tidak, beberapa menit yang lalu aku memutuskan untuk bersedia mengisi kekosongan hatinya, menambal lubang serta mengobati luka hatinya yang teramat parah. Awalnya aku sangat ragu. Aku sendiri belum mampu mengobati luka hatiku, bagaimana mungkin aku mengobati luka hatinya? Ahh... biarlah, toh dia memberiku waktu yang cukup lama untuk menyelami hatinya.
“Aku sayang kamu Melin..”kata Stev setengah berbisik di telingaku.
“Aku juga.”jawabku seadanya.
Beberapa guru yang kebetulan lewat di hadapanku dan Stev mendadak menghentikan langkah. Ekspresi wajah mereka beragam. Ada yang tertawa, sinis, terkejut, garang dan sebagainya. Aku mulai risih dengan semua itu.
“Kamu yakin dengan hubungan kita ini?”tanyaku memecah kesunyian.
“Iya, kenapa tidak? Kita kan saling mencintai.”jawabnya sambil menatap mataku tajam.
“Tapi......”
Belum selesai aku berkata-kata, Stev dengan sigap menutup mulutku dengan tangan kanannya. Mataku terbelalak kaget.
“Sssssttt... sudahlah. Terserah orang mau bilang apa. Yang penting kita saling cinta.”kata Stev meyakinkanku.
Tak ada kata yang mampu kuucapkan lagi. Hanya sebuah anggukan sebagai petanda bahwa aku menyetujuinya.
“Kita pulang yuk. Bentar lagi hujan ni. Aku anterin kamu ya.”ajak Stev sambil mengenakan tas ranselnya.
“Ayok....”jawabku singkat.
Stev menaiki sepeda motor kesayangan miliknya itu. Tanpa berpikir panjang aku pun mengikutinya. Dengan posisi duduk yang sangat dekat, aku memeluk tubuh Stev dari belakang. Terlihat sangat mesra. Apakah aku benar-benar mencintainya? Jujur, aku belum bisa melupakan masa laluku. Stev hanyalah pelampiasan sekaligus penghapus sepi dan rasa rinduku. Aku belum bisa mencintainya dan sangat sulit untuk mencintainya. Beberapa menit kemudian, kami tiba di rumahku yang terletak tidak terlalu jauh dari sekolah. Aku turun dari sepeda motor dan membelai pipi Stev sambil mengucapkan terima kasih yang mendalam.
“Terima kasih ya udah anter aku pulang.”
“Sama-sama sayang. Aku mau langsung pulang ni. Kamu masuk gih. Jangan lupa makan ya.”
“Siipppph sayang. Hati-hati di jalan ya.”
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, Stev bergegas meninggalkan rumahku. Sepertinya dia takut kehujanan. Warna langit semakin hitam pekat dan suhu di sekitar pun menjadi sejuk yang mencekam. Aku pun berlari memasuki rumah. Tampak kedua orang tuaku sudah menunggu di dalam. Entah mengapa ada yang berbeda hari ini. Ekspresi wajah mereka seperti memikul beban yang teramat berat. Ada sesuatu yang bergolak di dada kedua orang tuaku itu. Aku yakin.
“Assalamualaikum...”ucapku dengan lemah lembut.
“Waalaikumussalam... baru pulang?”tanya Ibuku dengan nada agak tinggi.
“Iya Buk. Maaf agak telat.”jawabku sambil menunduk lemah.
“Kenapa? Ada kegiatan ekstrakurikuler baru? Ekstakurikuler pacaran di post satpam? Tadi wali kelasmu yang menelpon Bapak. Ternyata begitu kelakuanmu di sekolah.”
Bapakku angkat bicara. Intonasinya agak membuat jantungku tersentak. Nafasku turun naik sekarang. Ingin sekali rasanya aku mengeluarkan sepatah kata untuk membantah. Namun suaraku tercekat di tenggorokan.
“Kenapa diam? Gak bisa jawab?”tanya Bapakku dengan nada seperti mengadili seorang pencopet.
“Aa... anuu.. Pak... aa...”
Spontan aku tak mampu menyusun kata demi kata untuk membentuk sebuah kalimat yang bisa dimengerti. Arrgghh..... kenapa begini? Padahal aku mengambil jurusan Bahasa di sekolah, tapi mengapa aku kaku dalam berkata-kata jika di hadapan Bapak?
“Bapak sama Ibuk gak mau mendengar alasan apa pun. Bapak sudah tau semuanya. Kamu mulai berani bertingkah diluar batas sekarang. Sudah berani pacaran! Pacaran dengan...... dengan..... hah.. sudahlah. Hati Bapak sakit membahas masalah ini...! Bapak gak nyangka, kamu jadi begini sekarang? Apa ada yang salah dengan cara mengasuh Bapak dan Ibuk selama ini? Kenapa nak? Kenapa kamu jadi begini?”
Bapak mengkhotbahiku panjang lebar. Genderang telingaku terasa memanas bak tersiram air timah panas. Aku sudah menduga, pasti Bapak dan Ibuk tidak akan merestui hubunganku dengan Stev. Padahal aku sedang berusaha mati-matian untuk mencintainya.
“Melin, apa kamu dengar kata-kata Bapakmu itu?”tanya Ibu tiba-tiba.
“Nggech Buk, tiang denger. Tapi kenapa? Kenapa Bapak sama Ibuk gak mau ngedengerin penjelasan tiang? Tiang mohon, izinkan tiang bicara.”
“Silahkan....”kata Bapak dengan sinis.
“Tiang cinta sama Stev Pak, Buk. Dia anaknya baik kok. Dia tulus mencintai tiang, terima tiang apa adanya, selalu ada buat tiang... bukannya Bapak dan Ibuk menginginkan tiang pacaran dengan orang seperti itu?”
“Bukan seperti dia Melin!! Bukan! Carilah laki-laki yang baik, jangan dia!”
Ibu membentakku dengan kasar. Sepertinya beliau benar-benar naik darah dengan kata-kataku tadi. Aku mendengus lemah di dalam hati. Ini benar-benar skenario hidup yang paling tak sukai. Bapak mendekatiku, benar-benar dekat. Bibirnya hanya beberapa senti dari daun telingaku. Beberapa saat kemudian, beliau mulai bersuara.
“Bapak tidak mau tau. Kamu harus menyudahi hubungan haram kamu dengan dia. Titik..!”
“Tapi Pak.....”
“Tak ada tapi-tapian...!! Ini sudah menjadi keputusan bulat Bapak dan ibuk..!! Mengerti?”
Tak ada kata yang membentuk suara. Lidah terasa beku dan mati. Nafasku terasa menggantung di udara hampa. Hampa. Aku dan Stev baru memulai hubungan spesial ini beberapa jam yang lalu, tetapi orang tuaku telah mencekalnya dengan keras. Tolonglah Tuhan, aku sedang menanam pohon cinta di hati Stev yang gersang dan berlubang. Izinkanlah aku melihat pohon cinta yang tumbuh berkembang dan menghasilkan bunga-bunga cinta yang mempesona. Jangan biarkan pohon cintaku mati sebelum aku bisa mengecup tiap-tiap kelopak indahnya. Memetik kuntum-kuntum kasih sayang yang menyebarkan aroma semerbak yang mengghairahkan. Haruskah aku mencabut pohon cinta di hati Stev secepat ini? Aku tak mau menyisakan lubang yang lebih dalam lagi di hatinya. Aku juga tak mau menciptakan lubang-lubang kekecewaan di hati kedua orang tuaku. Lantas apa yang harus aku lakukan?
“Melin, Ibuk sama Bapak sangat menyanyangi kamu. Makanya kami melarang keras kamu dan Stev berpacaran. Ibuk tau, jauh di dalam lubuk hati kamu, kamu sebenarnya belum bisa melupakan Fery. Kamu masih terluka karna Fery meninggalkan kamu demi perempuan lain. Tapi Ibuk yakin, di luar sana masih banyak cowok yang lebih baik dari Fery. Percaya sama Ibuk.”
“Nggech Buk. Tiang tau. Tapi tiang sudah mulai cinta sama Stev.”
“Jangan bohong sama perasaan kamu sendiri Melin. Hapus rasa itu.”
“Tapi tiang kasian sama Stev Pak, Buk...”
“Tapi Bapak sama Ibuk juga kasian sama kamu sayang. Kamu mengerti kan maksud Bapak?”
“Nggech Pak, tiang ngerti.”
“Bapak mau, besok pagi kamu sudahi hubungan kamu dengan Stev. Berjanjilah untuk Bapak....”
Kalimat itu menusuk hatiku yang rapuh. Ku tatap mata Bapak yang berisi pancaran harapan dan terselip sedikit kekecewaan. Berbeda dengan mata Ibu, sepertinya beliau sudah terlanjur kecewa dengan perbuatanku. Matanya merah dan setetes air bening menggantung di ujung matanya. Dadaku sesak. Keriput di sekitar mata lembutnya membuatku semakin tak kuasa membendung cairan bening yang memaksa untuk keluar. Beberapa saat kemudian, hati dan otakku memberi pemerintah kepada organ tubuhku untuk merengkuh tubuh Ibu yang rapuh. Sungai kecilpun mengalir bebas di pipiku. Dapatku rasakan getar dalam dadanya, gejolak cintanya, denyut nadinya, dan desah nafasnya. Semuanya membuatku merasa menjadi anak paling durhaka sedunia.
“Maafin tiang Bu....”
“Iya.. Tanpa kamu minta maaf, Ibu sudah memaafkan...”
Kurasakan tangan kasar Bapak mengusap sungai kecil di pipiku. Tangan kasar milik bapak yang banting tulang untuk menghidupi aku dan Ibu. Mata Bapak sendu. Kutatap dalam-dalam mata itu. Kuharapkan tak ada lagi berkas kekecewaan di dalamnya. Bapak merengkuh tubuhku sekaligus tubuh Ibu. Terasa hangat dan penuh dengan balutan cinta dan kasih sayang. Sebagai anak tunggal, wajar saja apabila orang tuaku sangat over protektif kepadaku. Aku mengerti mengapa mereka seperti itu.
“Pak, Buk, tiang janji gak bakalan ngecewain Bapak dan Ibuk...”kataku dalam pelukan mereka.
“Ya sayang, Bapak percaya. Lakukan yang terbaik ya..”
“Nggech Pak...”
“Ibuk dan Bapak sayang kamu. Sekarang kamu ganti baju gih. Trus istirahat.”
“ Nggech, tiang istirahat dulu ya Pak, Buk...”
Aku berlari-lari kecil memasuki kamar. Kulempar tas ransel yang rasanya menyulitkan gerak tubuhku ke atas tempat tidur. Andai kubisa, ingin sekali rasanya kulempar juga rasa yang yang memporak-porandakan hatiku ini. Entah rasa apa, cinta? benci? kasihan? takut? atau apalah. Tiba-tiba handphone di dalam saku rok putih abuku bergetar. Sepertinya ada pesan singkat yang masuk. Aku segera membuka pesan itu.
Dari:
Yuli ^^
“Sumpah aku gag nyangka kamu pacaran ama Stev. Kamu udah gila? Apa kamu ga bisa dapetin pacar yang lebih baik selain dia? Please,, aku sebagai sahabat kamu gag mau ngeliat aku tersesat lebih jauh. Tolong,, sudahi hubungan kamu ama Stev...”
Aku merunduk memeluk lutut. Kali ini aku menangis sendiri meluapkan kesedihan dan kegalauan dalam sunyi. Pesan singkat dari sahabatku itu terasa menampar-nampar dinding hati yang masih belum sembuh dari luka lampau. Aku memaksa otak untuk berpikir lebih keras. Apa hubunganku dengan Stev benar-benar salah? Apakah salah jika aku belajar untuk mencintainya seperti dia yang sangat tulus mencintaiku? Dia tau aku bahagia tanpa aku harus tertawa, dia tau aku bersedih tanpa aku harus menangis, dan dia mengenal aku tanpa menuntutku untuk mengenalnya juga. Arrrgghhh..... dia begitu baik laksana insan pilihan dari Tuhan yang dihadiahkan untukku. Salahkah kami? Salahkah cinta suci anugerah dari Tuhan ini?
Lagu group band Vierra yang berjudul “Seandainya” tiba-tiba terlantun merdu dari handphoneku. Ada yang menelpon. Aku pun segera memencet tombol “Yes” untuk memulai pembicaraan dengan si penelpon.
“Hallo...”sapaku lembut.
“Hallo Melin, ini Fery.”
Aku tercengang seketika. Mimpi apa aku semalam? Fery, lelaki yang masih kucintai namun telah menjadi mantan kekasihku itu kini sedang menelponku. Aku agak sulit mengatur nafas, namun aku berusaha agar fery tidak mengetahuinya.
“I,,iyaa, ada apa Fer? Tumben...”
“Iya ni Mel, aku sengaja nelpon kamu karna aku khawatir ama kamu. Aku kaget denger kamu jadian ama Stev. Jujur Mel, aku gak ikhlas kamu jadian ama Stev. Kamu bisa dapetin yang lebih baik dari dia. Percaya dah ama aku.”
“Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Gak da yang lebih baik dari dia! Dia tu anugerah dari Tuhan buat aku...”
“Kamu salah! Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, cewek ama cowok.... sedangkan kamu........”
Aku langsung menutup telpon sebelum Fery sempat menghabiskan kata-katanya. Darahku terasa mendidih dan jantungku ingin meledak menghancurkan semua rasa. Sepertinya aku memang salah telah menerima Stev sebagai pengisi kekosongan hatiku. Ya, aku salah. Rasa ini salah. Manusia diciptakan berpasang-pasangan, lelaki dan perempuan.....!! Jodoh itu di tangan Tuhan. Tuhanlah sutradara yang terbaik dan tau cerita apa yang tepat untuk kita. Aku pun terlelap setelah pikiranku lelah terbang menerawang.

Ruangan kelas 12 Bahasa hari ini benar-benar berbeda. Tegang dan mencekam. Mataku lebih memilih untuk menatap lantai berlama-lama daripada harus melawan kerlingan tajam dari mata Stev yang duduk di sebelahku. Teman-teman kelasku yang lain sudah meninggalkan sekolah sedari tadi, sedangkan aku dan Stev masih tertahan disini. Pak Jun melarang kami untuk pulang karna ada sesuatu yang harus dibicarakan. Aku tau apa yang ingin dibicarakan oleh guru yang terkenal killer itu. Pasti tentang hubunganku dengan Stev.
“Stevani Amira Dewi dan Melinda Puteri, apa kalian tau mengapa Bapak menahan kalian disini?”kata Pak jun memulai pembicaraan.
“Rasanya saya tau Pak. Pasti Bapak ingin melarang hubungan kami. Bukan begitu?”jawab Stev dengan santai.
“Pinter. Lantas, apa kamu tau apa yang harus kamu lakukan?”
“Maaf, saya tidak bisa mengakihiri hubungan ini Pak, saya mencintai Melin.”
Aku tersentak mendengar jawaban yang keluar dengan entengnya dari bibir Stev itu. Ekspresi wajar pak Jun pun berubah menjadi garang.
“Kalian itu sesama jenis! Tidak mungkin kalian bisa terus berpacaran atau menikah suatu saat nanti. Apa kata dunia?! Allah pasti murka dengan tindakan kalian ini. Banyak teman-teman bahkan orang tua kalian kecewa dengan tindakan tidak masuk akal kalian ini. Bapak harap kalian mengerti..”
“Saya mengerti Pak. Dan saya memang sudah berniat untuk mengakhiri semua ini. Rasa ini memang salah. Ini bukan rasa cinta sebagai kekasih, tetapi sahabat. Saya terlalu nyaman berada di dekat Stev, makanya saya keliru dengan rasa di hati saya sendiri. Saya rasa Stev juga begitu. Di usia kami ini, kami masih sangat labil untuk mengerti lebih dalam tentang cinta yang sebenarnya. Saya mohon maaf Pak.”
Dengan segumpal keberanian aku berkata seperti itu. Stev memicingkan matanya menghadapku. Raut wajahnya memancarkan kekecewaan, sama seperti raut wajah kedua orang tuaku kemarin.
“Bapak tau kalian itu anak-anak yang baik dan pintar. Kalian hanya salah mengartikan rasa. Maklum, anak muda.”
“Melin, kamu mau kita pisah? Apa kamu gak mikirin perasaan aku? Hidup aku?”
Suara Stev terdengar lirih dan menusuk genderang telingaku. Aku meraih tangannya, menatap matanya, dan membiarkan senyum lembutku menyapa wajahnya.
“Kamu cinta ama aku sebagai sahabat, percayalah. Kita salah. Manusia itu sudah di tentukan jodohnya, yang cewek ama cowok, yang cowok ama cewek. Bukan cewek ama cewek, ataupun cowok ama cowok. Percaya ama aku, suatu saat akan ada cowok yang bisa menambal lubang di hati kamu, menanam pohon cinta yang lebih indah di hati kamu, merawatnya, memetiknya, dan gak bakalan ngebiarin hati kamu gersang ataupun terluka lagi. Aku akan selalu ada di samping kamu, karna kita sahabat.....”
Terlihat bulir air bening terjatuh dari kelopak indah matanya. Mengalir lembut menyusuri pipi lembutnya kemudian terjatuh di pangkuan. Dengan sigap aku menghapusnya, berharap kesedihannya akan ikut terhapus. Ku lihat dia mulai tersenyum. Pancaran matanya yang lembut meneduhkan tiap jiwa yang menatapnya. Senyumnya benar-benar menghanyutkan kesedihan yang menempel di dinding hati, menenggelamkan timbunan masalah yang melanda, membenamkan semua rasa gundah yang ada.
“Pak, saya minta maaf nggech. Saya mengerti sekarang, ternyata saya salah mengartikan rasa ini. Saya merasa malu Pak, saya bodoh!”kata Stev dengan menyesal.
“Ya Stev, Bapak mengerti. Yang penting sekarang kalian sudah sadar dan bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini. Bapak tidak mau ini terulang kembali.”
“Ya Pak, kami janji.”
Aku menjawab dengan nada meyakinkan. Akhirnya permasalahan salah rasa ini terselesaikan. Aku merasa seperti terlahir kembali, lahir sebagai perempuan normal, lahir sebagai sahabat untuk Stevani, bukan kekasihnya. Terima kasih Tuhan karena memberikan akhir yang menyejukkan. Sekarang tuntun aku dan Stevani untuk menemukan laki-laki pengisi hati yang gersang ini.
Kami ingin menanam bibit cinta di yang hati baru..!!


karya : Nurzila ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUAT TEMAN-TEMAN SEMASA SMAKU, AKU MENCINTAI KALIAN.