Ormas Islam dan Fatwa
Dalam Al Qur’an, terdapat perintah
agar suatu masyarakat Islam mempunyai sekumpulan orang ahli dalam bidang
agama. Sekelompok orang ini difasilitasi oleh masyarakat tersebut untuk
menjadi kelompok cendekia. Tugas mereka setelah selesai belajar adalah
kembali ke masyarakat untuk mengajarkan agama kepada mereka.
Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS At Taubah [9]: 122)
Ayat ini setidaknya memberi ruang
bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk menyusun sendiri program
keagamaan mereka. Sehingga, hampir setiap organisasi masyarakat yang
berbasis agama Islam mempunyai semacam ‘majelis fatwa’. NU dan
Muhammadiyah misalnya masing-masing mempunyai majelis fatwa dan majelis
tarjih. Demikian juga dengan ormas Islam lainnya. Tujuan dari majelis
atau dewan fatwa ini adalah untuk merumuskan hukum atas suatu masalah
dengan metode istinbath (perumusan) hukum yang sesuai dengan faham
masing-masing.
Selain majelis fatwa, beberapa
organisasi dan pesantren juga mempunyai program rutin yang disebut
pembahasan masalah (bahtsul masa’il). Kegiatan ini biasanya terbuka
untuk umum dengan menghadirkan beberapa ahli sebagai narasumber. Topik
yang dibahas bermacam-macam. Baik persoalan yang baru muncul maupun
persoalan lama yang dianggap masih menyisakan perdebatan. Hasil dari
pembahasan ini ada yang di publikasikan ke luar institusi, ada pula yang
cukup hanya menjadi hasil kajian internal.
Hasil dari perumusan hukum yang
dihasilkan oleh majelis fatwa dan kesimpulan dari bahtsul masa’il oleh
institutsi Islam bukanlah fatwa secara mutlak. Sebab fatwa harus
dikeluarkan oleh institusi yang resmi dan mengikat secara menyeluruh
kepada umat Islam. Oleh karena itu, apapun yang dihasilkan, baik oleh
mejelis fatwa dari satu ormas Islam maupun hasil kajian dari sebuah
institusi keislaman seyogyanya dilimpahkan kepada Majelis Ulama
Indonesia, sebagai institusi resmi di Indoensia. MUI inilah yang
mempunyai kapasitas mengeluarkan fatwa.
Facebook dan Etika Islam
Facebook merupakan sebuah fitur
yang memungkinkan seseorang berkomunikasi dengan banyak orang secara
sangat mudah. Facebook menjadikan pertemanan semakin mudah dan dekat.
Seseorang di Jakarta dapat memperoleh teman atau kenalan di New York
dan berkomunikasi dengannya hampir di setiap saat dengan biaya sangat
murah. Facebook juga memungkinkan mereka saling bertukar foto dan profil
masing-masing sehingga lebih saling mengenal jauh lebih baik dari
sekedar berkomunikasi lewat telpon.
Bagaimana dengan etika dalam
komunikasi facebook? Sama halnya dengan komunikasi via telepon yang
sudah lebih dulu digunakan, komunikasi via facebook juga menuntut etika
tertentu. Meski secara teknis tidak ada pembatasan dalam hal berucap
atau penayangan profil –bisa saja seseorang berkata-kata tidak senonoh
atau menampilkan profil yang kurang bersusila- akan tetapi sanksi moral
yang diperoleh justru lebih berat dan lebih cepat. Sebab dalam
facebook, profil seseorang yang sudah menjadi “teman” dapat dilihat dan
diakses oleh temannya yang lain. Karena itu, seseorang akan berpikir
seribu kali jika dia ingin menampilkan sesuatu yang “jorok”. Itu sama
saja dengan bertelanjang di muka umum.
Dalam etika Islam, sangat tidak
disukai (baca: dilarang) seorang pria dan wanita yang bukan muhrim
berdua-duaan. Rasulullah saw. Bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang
di antara kalian bersunyi-sunyi dengan seorang perempuan lain kecuali
disertai muhrimnya”. HR Bukhari dan Muslim.
Hadis di atas mengisyaratkan suatu
prinsip dasar etika pergaulan dalam Islam berkaitan dengan hubungan
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Prinsip tersebut adalah
larangan pria dan wanita yang bukan muhrim untuk berduaan di tempat yang
sunyi. Kalau kasusnya ditarik kepada kasus facebook, maka pertanyaannya
adalah apakah berkomunikasi dalam facebook itu sama dengan atau sama
bahayanya dengan berduaan di tempat sunyi. Jika sama, tentu hukumnya
akan sama pula. Jika tidak, maka hukumnya tidak bisa dipersamakan. Dalam
metodologi hukum Islam, metode ini disebut analogi atau qiyas.
Prinsip etika Islam lainnya dalam
bergaul adalah larangan bergunjing, menhasut, berkata porno, serta
perintah untuk mengucapkan sapaan yang baik, menjawab salam dan
seterusnya. Prinsip-prinsip ini jika dapat diterapkan dalam pergaulan
dan komunikasi facebook tentu menjadi pergaulan yang baik.
Kesimpulan
Dari paparan di
atas, dapat difahami bahwa facebook sebagai alat dan media komunikasi
menempati posisi bebas nilai. Seperti halnya telepon, surat menyurat,
dan sebagainya, facebook tidak menempati posisi halal atau haram.
Tatacara berkomunikasi, isi komunikasi, serta profil yang ditampilkan,
itulah yang bisa dinilai. Apakah sesuai dengan norma dan etika Islam
atau tidak. Seorang muslim selayaknya memperhatikan nilai-nilai akhlak
Islam dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam menggunakan facebook.[]Sumber: http://kanal3.wordpress.com/2010/03/03/%E2%80%9Cbagaimana-facebook-dalam-pandangan-islam%E2%80%A6/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar