ISLAM memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin,
bahkan dituntunnya umat manusia untuk mengisi seluruh ‘ashr (waktu)-nya
dengan berbagai amal dengan mempergunakan semua daya yang dimilikinya.
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang hal ini, perlu digarisbawahi
bahwa sementara kita ada yang memahami bahwa waktu hendaknya diisi
dengan beribadah (dalam pengertian sempit). Mereka merujuk kepada firman
Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang menyatakan, dan memahaminya
dalam arti
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.
Pemahaman
dan penerjemahan ini menimbulkan kerancuan, karena memahami lam (li)
pada li ya’budun dalam arti “agar”. Dalam bahasa Al-Quran, lam tidak
selalu berarti demikian, melainkan juga dapat berarti kesudahannya atau
akibatnya. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 8 yang
menguraikan dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir’aun.
Maka
dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh
dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta
tentaranya adalah orang-orang yang bersalah (QS Al-Qashash [28]: 8).
Kalau
lam pada ayat di atas diterjemahkan “agar”, maka ayat tersebut akan
berarti, “Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keiuarga Fir’aun ‘agar’ ia
menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” Kalimat ini jelas tidak logis,
tetapi jika lam dipahami sebagai akibat atau kesudahan, maka terjemahan
di atas akan berbunyi, “Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga
Fir’aun, dan kesudahannya adalah ia menjadi musuh bagi mereka.”
Kembali
kepada ayat Adz-Dzariyat di atas, dapat ditegaskan bahwa Al-Quran
menuntut agar kesudahan?آ semua?آ pekerjaan hendaknya menjadi ibadah
kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Quran
memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan
ibadah ritual.
Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat),
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan selalu
ingatlah Allah supaya kamu beruntung (QS Al-Jum’ah [62]: 10).
Dari
sini ditemukan bahwa Al-Quran mengecam secara tegas orang-orang yang
mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan tertentu seperti
kanak-kanak. Atau melengahkan sesuatu yang lebih penting seperti
sebagian remaja, sekadar mengisinya dengan bersolek seperti sementara
wanita, atau menumpuk harta benda dan memperbanyak anak dengan tujuan
berbangga-bangga seperti halnya dilakukan banyak orangtua.
Ketahuilah
bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak beriman) hanyalah
permainan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara
kamu serta berbanggaan tentang banyaknya harta dan anak (QS 57: 20 dan
baca Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) .
Kerja atau amal
dalam bahasa Al-Quran, seringkali dikemukakan dalam?آ bentuk?آ
indefinitif?آ (nakirah).?آ Bentuk ini oleh pakar-pakar bahasa dipahami
sebagai memberi makna keumuman, sehingga amal yang dimaksudkan mencakup
segala macam dan jenis kerja. Perhatikan misalnya firman Allah dalam
surat Ali Imran ayat 195.
Aku (Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang di antara kamu baik lelaki maupun perempuan.
Al-Quran
tidak hanya memerintahkan orang-orang Muslim untuk bekerja, tetapi juga
kepada selainnya. Dalam surat Al-An’am ayat 135 dinyatakan.
Hai
kaumku (orang-orang kafir), berbuatlah sepenuh kemampuan (dan sesuai
kehendak). Aku pun akan berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui
siapakah di antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di
dunia/akhirat.
Bahkan Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal
bekerja saja, tetapi bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati.
Al-Quran tidak memberi peluang kepada seseorang untuk tidak melakukan
suatu aktivitas kerja sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan
dunia ini. Surat Al-’Ashr dan dua ayat terakhir dari surat?آ Alam
Nasyrah menguraikan secara gamblang mengenai tuntunan di atas.
Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu ditanaman optimisme kepada setiap Muslim dengan berpesan,
… karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan (QS 94: 5-6).
Maksudnya,
sesungguhnya bersama satu kesulitan yang sama terdapat dua kemudahan
yang berbeda. Maksud ini dipahami dari bentuk redaksi ayat di atas.
Terlihat bahwa kata al-ushr terulang?آ dua?آ kali dan keduanya dalam
bentuk definitif (ma’rufah) yakni menggunakan alif dan lam (al),
sedangkan kata yusra juga terulang dua kali tetapi dalam bentuk
indefinitif, karena tidak menggunakan alif dan lam. Dalam kaidah
kebahasaan dikemukakan bahwa apabila dalam suatu susunan terdapat dua
kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka keduanya bermakna
sama sedangkan bila keduanya berbentuk indefinitif, maka ia berbeda.
Setelah
berpesan demikian, kembali surat ini memberi petunjuk kepada umat
manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan
walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lain, dengan menjadikan
harapan senantiasa hanya tertuju kepada Allah Swt.
Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (QS 94: 7).
Kata
faraghta terambil dan kata faragha yang ditemukan dalam Al-Quran?آ
sebanyak?آ enam?آ kali?آ dengan?آ berbagai?آ bentuk derivasinya.
Dari segi bahasa, kata tersebut berarti kosong setelah?آ sebelumnya?آ
penuh,?آ baik secara material maupun imaterial. Seperti gelas yang
tadinya dipenuhi, oleh air, kemudian diminum atau tumpah sehingga gelas
itu menjadi kosong. Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh
ketakutan dan kesedihan, kemudian plong, semua digambarkan dengan akar
kata ini. Perlu digarisbawahi bahwa kata?آ faragh?آ tidak digunakan?آ
selain?آ pada?آ kokosongan?آ yang didahului oleh kepenuhan, maupun
keluangan yang didahului oleh kesibukan.
Dari sini jelas bahwa
kekosongan yang dimaksud harus didahului oleh adanya sesuatu yang
mengisi “wadah” kosong itu. Seseorang yang telah memenuhi waktunya
dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka
jarak waktu antara selesai pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan
selanjutnya
dinamai faragh.
Jika Anda berada dalam keluangan
(faragh) sedangkan sebelumnya Anda telah memenuhi waktu dengan kerja
keras, maka itulah yang dimaksud dengan fan-shab. Kata fan-shab antara
lain berarti berat, atau letih. Kata ini pada mulanya berarti menegakkan
sesuatu sampai nyata dan mantap, seperti halnya gunung. Allah Swt.
berfirman,
Apakah mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan,
dan kepada langit bagaimana ditinggiikan, dan kepada gunung bagaimana
ditegakkan sehingga menjadi nyata (QS 88: 17-19).
Kalimat
terakhir pada terjemahan di atas dijelaskan oleh Al-Quran dengan kata
yang berakar sama dengan fan-shab yaitu nushibat dalam kalimat Wa ilal
jibali kaifa nushibat. Dari kata ini juga dibentuk kata nashib atau
“nasib” yang biasa dipahami sebagai “bagian tertentu yang diperoleh?آ
dari kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, jelas, dan
sulit dielakkan”.
Kini setelah arti kosakata diuraikan– dapatlah
kita melihat beberapa kemungkinan terjemahan ayat 7 dan 8 dari surat
Alam Nasyrah di atas.
Apabila engkau telah berada dalam keluangan
(setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja)
sampai engkau letih, atau tegakkanlah (suatu persoalan baru) sehingga
menjadi nyata.
Ayat ini seperti dikemukakan di atas– tidak
memberi peluang kepada Anda untuk menganggur sepanjang masih ada masa,
karena begitu Anda selesai dalam satu kesibukan, Anda dituntut melakukan
kesibukan 1ain yang meletihkan atau menghasilkan karya nyata, guna
mengukir nasib Anda.
Nabi Saw. menganjurkan umatnya agar
meneladani Allah dalam sifat?آ dan?آ sikap-Nya sesuai dengan
kemampuannya sebagai makhluk. Dan salah satu yang perlu dicontoh adalah
sikap Allah yang dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 29.
Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan.
—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
http://nadhirin.blogspot.com/2008/08/mengisi-waktu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar